Liputan6.com, Jakarta - Akhir pekan lalu, tepatnya pada 28 Juli 2018, telah terjadi gerhana Bulan, sebuah fenomena alam ketika Bumi berada di antara Matahari dan Bulan pada satu garis lurus yang sama, sehingga sinar Matahari tidak dapat mencapai Bulan karena terhalangi oleh Bumi.
Selain menjadi salah satu yang terlama, gerhana Bulan 28 Juli terlihat jauh lebih kecil dari biasanya, sebab Bulan sedang berada di posisi terjauhnya dari Bumi. Selain itu, pada saat gerhana berlangsung, Bulan menampilkan warna merah darah.
Advertisement
Baca Juga
Untuk itulah fenomena akhir Juli 2018 ini dikenal sebagai micro Blood Moon atau "Bulan Darah" berukuran mikro.
Micro blood Moon terjadi ketika Bulan berada pada titik orbit terjauh dari Bumi, atau apogee --berbeda dengan Supermoon yang terjadi ketikan Bulan berada pada titik orbit terdekat dengan Bumi, atau perigee.
Jadi, selain ukurannya yang 15 persen lebih kecil dari Supermoon, cahaya yang dipantulkan oleh micro Blood Moon juga jauh lebih sedikit, yakni hanya sekitar 30 persen, sehingga akan terlihat suram.
Gerhana dan Kesejajaran Benda Antariksa Menyebabkan Gempa?
Sementara para pengamat dan khalayak menikmati micro Blood Moon yang mempesona, seorang prakirawan seismik mengklaim bahwa gerhana Bulan itu mampu memicu gempa Bumi.
Frak Hoogerbeets (49) dalam situs web pemantau gempanya, Ditranium.org, pada 24 Juli 2018 lalu meramal, kesejajaran benda antariksa --seperti pada gerhana micro Blood Moon dan yang lainnya-- akan berdampak pada peningkatan aktivitas seismik dan tektonik di Planet Biru kita ini.
Hoogerbeets menggunakan cara yang tidak diakui luas oleh komunitas ilmiah, yakni memprediksi gempa Bumi dengan keterkaitannya pada kesejajaran antar benda antariksa.
"Setiap kali tiga benda antariksa di Tata Surya kita mengalami kesejajaran, akan ada gempa yang signifikan terjadi pada satu dua hari sebelum atau sesudahnya," klaimnya.
Selain soal gerhana, Hoogerbeets menyajikan contoh soal kesejajaran Bumi dengan planet lain di Tata Surya yang menurutnya, mampu memicu gempa.
"Bumi telah berada di antara Mars dan Merkurius selama beberapa pekan terakhir dan sedikit tarikan gravitasi dari kedua belah pihak dapat mengganggu lempeng tektonik Bumi," Hoogerbeets memprediksi, seperti dikutip dari Daily Express, Minggu (29/7/2018).
"Pada tanggal 15 Juli 2018, Bulan mulai menghadapi resonansi elektromagnetik dari planet Merkurius dan Mars. Dan (resonansi elektromagnetik itu) akan berlangsung hingga tanggal 27 Juli."
Dan kondisi itu, menurut 'ramalan' Hoogerbeets, dapat memicu gempa.
Ia juga mendasari ramalan tersebut atas kondisi serupa pada beberapa tahun sebelumnya.
"Geometri benda langit itu pada tahun ini mirip seperti pada akhir April 2016 ketika gempa bumi berkekuatan 7 SR terjadi di Vanuatu dan berkekuatan 6,6 SR di sepanjang Kenaikan Timur Laut Pasifik."
Mengingat kondisi kesejajaran benda langit tahun ini sama seperti pada tahun 2016, maka Hoogerbeets memperkirakan bahwa resonansi magnetik itu: "Akan memicu terjadinya peningkatan aktivitas seismik tektonik pada 23-26 Juli 2018 dengan kemungkinan terjadi gempa berkekuatan rendah hingga maksimal 6 SR."
"Sedangkan pada tanggal 27-30 Juli merupakan titik kritis, dengan potensi terjadi gempa berkekuatan 6-7 SR," tanpa menyebut lokasi di mana gempa itu mungkin terjadi.
Kata Ilmuwan LIPI
Lima hari usai Frank Hoogerbeets merilis prediksi tersebut pada situs web pemantau gempanya Ditranium.org, gempa berkekuatan 6,4 SR terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia pada 29 Juli 2018.
Meski tampak menunjukkan bahwa 'ramalan' Hoogerbeets tepat, namun, beberapa ilmuwan berpendapat lain.
"Kalo disangkut-pautkan dengan gempa di Lombok, saya kira tidak ada hubungannya,"Â kata Danny Hilman Natawidjaja dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat dihubungi Liputan6.com, Minggu 29 Juli 2018.
"Pertama, gempa-nya (di Lombok) sendiri terjadi sehari setelah gerhana Bulan. Kedua, agar suatu gerhana bisa menyebabkan gempa Bumi, maka span (rentang) waktu terjadinya gerhana itu harus berlangsung sangat lama sekali."
"Selain itu, butuh daya tarik gravitasi yang besar juga dalam sebuah kesejajaran antar benda antariksa, agar hal itu mampu menghasilkan gempa di Bumi. Sementara gerhana yang kemarin itu, daya tarik gravitasi-nya kecil sekali dan sangat kecil pula memicu gempa."
Terkait apakah kesejajaran benda antariksa dan gerhana Bulan dapat dijadikan sebagai faktor untuk memprediksi gempa, Danny mengatakan, "Bisa saja sebetulnya ... dan masih masuk ranah sains. Tapi ya tadi, kecil sekali kemungkinannya."
Â
Kata Ilmuwan Lain
Mengomentari hal yang sama --terkait hubungan antara kesejajaran benda antariksa sebagai pemicu gempa-- ahli geofisika dari badan geologi Amerika Serikat John Bellini mengatakan:
"Kita tidak bisa memprediksi gempa Bumi dengan hal itu," ujar Bellini, seperti dikutip dari Daily Express, Minggu 29 Juli 2018.
"Terkadang, sebelum gempa besar terjadi, kita kerap merasakan satu atau dua getaran pra-gempa (foreshock). Tapi, kita tak tahu kalau itu foreshock sampai gempa yang sebenarnya benar-benar terjadi," tambahnya.
Astronom AS peraih gelar doktor dari University of Virginia, Phil Plait juga berpendapat senada soal kesejajaran benda antariksa sebagai faktor untuk memprediksi gempa Bumi.
"Saya tegaskan: Tidak, itu tidak akan terjadi," jelas Plait seperti dikutip dari Daily Star, Minggu 29 Juli 2018.
"Tak ada penjelasan yang bisa membuktikan bahwa kesejajaran antar benda antariksa dapat menyebabkan gempa Bumi. Itu benar-benar mustahil."
Frank Hoogerbeets sebelumnya telah meramalkan sejumlah gempa bumi besar di seluruh dunia. Tetapi, analisisnya kerap didiskreditkan oleh para ilmuwan arus utama yang berargumen bahwa posisi kesejajaran planet tidak berdampak pada aktivitas seismik.
Di sisi lain, 'prediksi' Hoogerbeets terkadang cukup tepat. Namun, pada beberapa kesempatan, perkiraannya tak akurat.
Pada Desember 2015 misalnya, Hoogerbeets diejek oleh komunitas ilmuwan setelah predikinya tentang gempa 8 SR "yang bia mengubah dunia selamanya" gagal terwujud.
Advertisement