Liputan6.com, Wellington - Sebuah desa kecil di pantai selatan Selandia Baru berencana menerapkan rencana radikal untuk melindungi satwa liar aslinya, yakni melarang semua kehadiran kucing.
Inisiatif yang diusulkan oleh Environment Southland itu meminta pemilik kucing di kota Omaui bersikap netral, berkenan memasangkan microchip dan mendaftarkan peliharaan mereka kepada otoritas lokal.
Setelah hewan peliharaan mereka mati, sebagaimana dikutip dari BBC pada Kamis (30/8/2018), pecinta kucing di sana tidak akan lagi diizinkan untuk memeliharanya kembali.
Advertisement
Baca Juga
"Kedengarannya ekstrem, tetapi mungkin ada sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh komunitas, yakni bagaimanapun juga, kucing bertanggung jawab atas kematian miliaran burung dan mamalia setiap tahun, dan menurut beberapa orang, itu semua adalah kesalahan kita," jelas Dr. Peter Marra, kepala Smithsonian Migratory Bird Centre, yang telah beberapa kali menulis jurnal dan buku tentang masalah ini.
"Kucing adalah hewan peliharaan yang mengagumkan, mereka hewan peliharaan yang spektakuler! Tetapi mereka seharusnya tidak diperbolehkan berkeliaran di luar, ini adalah solusi yang sangat jelas (terhadap kelangsungan ekosistem alami)," lanjutnya membela diri.
Di Omaui, para pejabat mengatakan tindakan itu dibenarkan karena kamera telah menunjukkan kucing berkeliaran memangsa burung, serangga dan reptil di daerah tersebut.
"Jadi (melalui aturan ini), kucing Anda tetap bisa menjalani kehidupan alaminya di Omaui, dengan senang hati melakukan apa yang disukainya. Tetapi kemudian ketika ia mati, Anda tidak akan dapat menggantinya," kata Ali Meade, manajer operasi keamanan bio setempat.
Berdasarkan rencana tersebut, siapa pun yang tidak mematuhi syarat akan diberikan peringatan berkala, hingga kemudian pada opsi terakhir --yang terpaksa, tapi mutlak-- adalah penyitaan sepihak kucing yang mereka pelihara.
Inisiatif ini adalah bagian dari rencana pengelolaan hama regional yang diusulkan pemerintah setempat, yang dikomunikasikan melalui konsultasi publik pada Selasa 29 Agustus.
John Collins, ketua dari Omaui Landcare Charitable Trust, memperjuangkan larangan untuk melindungi cagar alam "bernilai tinggi" di sana. "Kami bukan pembenci kucing, tetapi kami ingin lingkungan kita menjadi kaya akan margasatwa."
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Seberapa besar masalah kucing?
Perdebatan tentang populasi kucing dan ekosistem lokal bukanlah hal baru bagi masyarakat di Omaui.
Para ilmuwan konservasi telah lama memperingatkan tentang dampak kucing liar pada sistem lingkungan global, di mana "hewan mengeong" ini telah menempati peringkat di antara 100 spesies invasif non-pribumi terburuk di dunia.
Dr Marra mengatakan 63 spesies kepunahan di seluruh dunia sekarang terkait dengan populasi kucing yang terus meningkat. Masalahnya ini menjadi sangat krusial ketika berkaitan dengan ekosistem yang sangat sensitif, seperti di Selandia Baru.
"Kedengarannya ekstrem. Tapi situasinya sudah di luar kendali," kata Dr Marra.
Menurut Dr Marra, para pecinta kucing di seluruh dunia harus merangkul "pola pikir yang berbeda" terhadap kucing, mulai dari tindakan diadopsi jika memungkinkan, kemudian dikebiri dan dipelihara di dalam rumah, atau dalam lingkungan yang terkendali.
"Kesulitan ini bukan kesalahan kucing, kesalahan manusia," ujar Dr Marra bersikeras.
Karena popularitas kucing di media sosial dan jagat maya, populasi hewan peliharaan global ini tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Di lain pihak, perkiraan yang akurat sulit untuk dipastikan, tetapi sebagai contoh, di AS ada sekitar 86 juta kucing peliharaan, atau kira-kira satu dari setiap tiga rumah tangga.
Diperkirakan sebanyak empat miliar burung dan 22 miliar mamalia dibunuh oleh kucing di AS setiap tahun.
Advertisement