Rodrigo Duterte: Saya Pernah Jadi Sasaran Kudeta oleh Oposisi dan Militer, tapi...

Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengklaim pernah menjadi sasaran kudeta oleh oposisi, pemberontak, dan militer.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 12 Sep 2018, 17:00 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 17:00 WIB
Rodrigo Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Ted Aljibe / AFP)

Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada hari Selasa 11 September 2018 mengklaim pernah menjadi sasaran kudeta oleh oposisi, pemberontak Maois dan sekelompok mantan perwira militer, yang berencana untuk menggulingkannya di masa lalu, namun, gagal.

Dalam percakapan dengan pengacaranya, ditampilkan di televisi nasional, Rodrigo Duterte mengatakan dia telah meminta militer untuk "mendeklasifikasi" informasi tentang plot kudeta tersebut, yang katanya dikumpulkan oleh negara asing yang tidak dia identifikasi.

"Kami memiliki bukti dan kami memiliki percakapan yang disediakan oleh negara asing yang bersimpati kepada kami," kata Duterte kepada Salvador Panelo, penasihat hukum presiden, dalam percakapan selama satu jam, seperti dilansir Channel News Asia, Rabu (12/9/2018).

Dia mengatakan, kaum Komunis, politisi yang menentang dia dan sekelompok mantan prajurit, termasuk seorang senator, "berada dalam komunikasi konstan," untuk merencanakan plot kudeta itu.

Duterte mengatakan "koneksi (komunikasi perencanaan plot kudeta itu) akan ditampilkan, mungkin beberapa hari dari sekarang".

Pekan lalu, Rodrigo Duterte menarik amnesti yang diberikan pada 2010 kepada kritikusnya yang paling vokal, Senator Antonio Trillanes, mantan perwira angkatan laut junior yang memimpin dua upaya kudeta yang gagal 15 tahun lalu. Usai menarik amnesti, Duterte memerintahkan penangkapan Trillanes.

Pasangan partai Trillanes, anggota Kongres Gary Alejano, yang juga diklaim oleh Duterte mengambil bagian dalam kudeta yang gagal, menyangkal tuduhan presiden bahwa mereka merencanakan penggulingan terhadapnya, mengatakan bahwa mereka "hanya melakukan pekerjaan sebagai anggota oposisi di bawah sistem checks and balances dari sebuah pemerintahan yang demokratis."

Alejano mengatakan presiden berusaha untuk "mengalihkan perhatian orang-orang dari kesengsaraan ekonomi saat ini yang mereka sendiri gagal atasi".

Duterte juga memperingatkan para tentara agar tidak "berkolusi" dengan kelompok Trillanes ketika rumor-rumor kudeta berputar di ibukota Selasa pagi setelah truk tentara dan kendaraan lapis baja terlihat menuruni jalan-jalan utama Manila.

Militer dengan cepat membantah ada "pergerakan besar pesawat militer atau kendaraan lapis baja".

"Tidak ada alasan untuk khawatir," kata juru bicara militer Kolonel Laut Edgard Arevalo kepada wartawan, menambahkan ini adalah "gerakan rutin yang terkoordinasi dengan baik".

 

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Inflasi di Filipina, Duterte Salahkan AS

Rodrigo Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. (AFP)

Ketika Presiden Filipina Rodrigo Duterte menghadapi terpaan kritik di dalam negeri karena krisis kenaikan harga barang, ia menyalahkan kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat sebagai biang keladi.

Inflasi di Filipina mencapai rekor tertinggi dalam sembilan tahun terakhir, dengan mencapai 6,4 persen pada Agustus 2018 dan mencapai 5,7 persen pada Juli 2018.

Itu menjadikan rerata nilai inflasi tahun 2018 di Filipina sudah mencapai 4,8 persen, di luar batas target inflasi yang dicanangkan pemerintah pada kisaran 2 hingga 4 persen, dan sedikit di bawah perkiraan inflasi setahun penuh bank sentral yang direvisi sebesar 4,9 persen.

Para pengamat ekonomi mengaitkan inflasi tinggi Agustus 2018 dengan harga listrik, gas, bahan bakar, ikan, beras, transportasi pribadi, sayuran, dan daging yang melonjak.

Duterte, bagaimanapun, percaya bahwa kebijakan yang diterapkan Presiden AS Donald Trump ada hubungannya dengan kenaikan harga komoditas di Filipina.

"Kebijakan (yang diterapkan) Trump menyebabkan inflasi, ketika ia (Trump) menaikkan tarif dan melarang sejumlah barang-barang lainnya masuk," kata Duterte seperti dikutip dari The Phil Star, Minggu 9 September 2018.

Duterte yakin bahwa hal itu ada hubungannya dengan Perang Dagang AS-China, menyusul AS memberlakukan tarif tinggi atas beberapa barang China, karena dugaan pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Di sisi lain, China merupakan mitra dagang utama Filipina, yang mana barang-barang Tiongkok cukup semarak di negara Asia Tenggara itu.

Istana Kepresidenan Malacanang sebelumnya mengatakan bahwa inflasi Agustus 2018 tidak mengkhawatirkan karena disebabkan oleh permintaan domestik yang kuat dan rerata pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) masyarakat yang tinggi berkat undang-undang Reformasi Pajak untuk Akselerasi dan Inklusi atau (TRAIN Act).

Undang-undang itu mencakup paket yang membuat perubahan dalam perpajakan mengenai pajak penghasilan pribadi, pajak properti, pajak donor, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak stempel dokumenter dan cukai produk minyak, mobil, minuman, kosmetik, batu bara, penambangan dan tembakau.

Ciri yang menonjol dari reformasi pajak itu adalah bahwa orang yang berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk penerima upah minimum, sedikit atau hingga dibebaskan dari membayar pajak penghasilan pribadi. Di sisi lain, mereka yang berpenghasilan menengah ke atas dikenai tarif pajak yang lebih tinggi.

Undang-undang itu adalah bagian dari Visi 2020 dan Visi 2040 yang digagas oleh Duterte tentang pengaruhnya terhadap ekonomi, pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Filipina.

Namun, perselisihan tentang pengesahan undang-undang ini telah ada sejak awal dan bagaimana itu berdampak sejak diratifikasi, telah menjadi isu kontroversial.

Pada kuartal pertama 2018, hasil positif dan negatif telah terjadi akibat TRAIN Act itu. Mulai dari peningkatan pendapatan pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan tambahan dalam PDB.

Di sisi lain, tingkat inflasi tinggi telah menjadi penyebab banyak keributan dan keberatan atas undang-undang itu. Di Filipina, telah muncul petisi untuk menangguhkan dan mengubah undang-undang tersebut, dengan harapan dapat melindungi sektor-sektor tertentu dari kenaikan harga dan inflasi.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya