Penyair Wanita Ekuador Pimpin Sidang Umum PBB ke-73

María Fernanda Espinosa Garces jadi wanita pertama dari Amerika Latin dan Karibia yang pernah memimpin Sidang Majelis Umum PBB.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 25 Sep 2018, 07:01 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2018, 07:01 WIB
Menteri Luar Negeri Ekuador, María Fernanda Espinosa Garcés yang ditunjuk pada 5 Juni 2018 untuk memimpin Sidang Umum PBB ke-73. (AP)
Menteri Luar Negeri Ekuador, María Fernanda Espinosa Garcés yang ditunjuk pada 5 Juni 2018 untuk memimpin Sidang Umum PBB ke-73. (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Umum PBB telah menunjuk Menteri Luar Negeri Ekuador, María Fernanda Espinosa Garces, untuk memimpin Sidang Umum PBB ke-73 pada 5 Juni 2018. Menurut un.org yang dikutip Senin (24/9/2018), ia merupakan wanita keempat yang memegang posisi itu dalam sejarah dunia, dan yang pertama sejak 2006.

Espinosa memenangkan 128 suara dari 62 suara yang mendukung satu kandidat lainnya, Duta Besar PBB Mary Elizabeth Flores Flake dari Honduras. Terpilihnya ia tercatat sebagai wanita pertama dari Amerika Latin dan Karibia yang pernah memimpin Sidang Majelis Umum PBB.

Dalam salah satu ungakapannya di pidato penerimaannya sebagai pemimpin majelis, Espinosa mengatakan akan mempertahankan kebijakan pintu terbuka selama masa kepresidenannya dan bertindak sebagai fasilitator yang tidak memihak, objektif dan terbuka.

"Seperti yang Anda tahu, saya juga seorang penyair dan juga seorang politikus. Dengan demikian, saya sepenuhnya sadar bahwa tidak ada pandangan yang berguna jika kita tidak melihat, dan tidak ada kata yang bernilai, jika kita tidak mendengarkan. Saya akan siap untuk mendengarkan Anda semua dan bekerja untuk Anda," tutur Espinosa.

Dalam ucapan selamatnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperkenalkannya sebagai seorang diplomat dan politisi berpengalaman yang memahami "kebutuhan untuk bekerja sama ketika menangani tantangan global saat ini."

Espinosa pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Mobilitas Manusia, Menteri Pertahanan, dan Menteri Koordinator Warisan Budaya dan Alam. Dia adalah wanita pertama yang diberi jabatan Wakil Tetap Ekuador di New York, setelah menjabat sebagai Duta Besar di Jenewa.

"Pengetahuan langsung Anda tentang negosiasi antar pemerintah tentang hak asasi manusia, perempuan pribumi dan perubahan iklim akan membantu Majelis Umum memajukan agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Guterres.

Sebagai seorang penulis dan penyair, Espinosa telah menerbitkan lebih dari 30 artikel akademis tentang Sungai Amazon, budaya, warisan, pengembangan, perubahan iklim, kekayaan intelektual, kebijakan luar negeri, integrasi, pertahanan dan keamanan. Selain itu juga telah menerbitkan lima jilid puisi dan menerima penghargaan Ecuadorian National Poetry Prize atau Puisi Nasional Ekuador pada tahun 1990.

Presiden Majelis saat ini, Miroslav Lajčák, juga mengucapkan selamat kepada Espinosa pada pemilihannya, mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari empat wanita di antara 73 Presiden Majelis, adalah "bukan catatan untuk dibanggakan", seraya mendesak upaya terus menerus menuju paritas gender penuh.

Para pemimpin perempuan di Sidang Majelis Umum PBB sebelumnya adalah Vijaya Lakshmi Pandit dari India pada tahun 1953; Angie Elisabeth Brooks dari Liberia pada 1969 dan Sheikha Haya Rashed Al Khalifa dari Bahrain pada 2006.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

5 Isu Penting

Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat
Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AP)

Selasa 25 September 2018 akan menjadi tanggal dimulainya perhelatan Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) di New York tahun ini, di mana perwakilan tinggi dari hampir 200 negara berkumpul untuk membahas masalah politik dan kebijakan paling penting yang mempengaruhi dunia sekarang.

Seperti dikutip dari Al Jazeera 24 September 2018, setidak-tidaknya ada lima topik krusial yang akan dibahas oleh para pemimpin dan perwakilan negara dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB, yakni: isu seputar Rohingya, Suriah, Iran, Palestina, dan Korea Utara.

Berikut sedikit ulasan topik yang jadi pembahasannya:

1. Rohingya

Sidang UNGA tahun ini dilaksanakan hanya beberapa pekan setelah Tim Pencari Fakta badan HAM PBB menyatakan bahwa militer Myanmar bertanggungjawab penuh atas tindak genosida terhadap kelompok etnis muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

Laporan itu merekomendasikan bahwa kepemimpinan militer negara itu harus dituntut atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan di Negara Bagian Rakhine tahun lalu, di mana sekitar 700.000 orang Rohingya dipaksa meninggalkan rumah mereka.

2. Suriah

Beberapa bulan sebelum Sidang UNGA, dunia kembali menyaksikan eskalasi krisis kemanusiaan dan pertempuran akibat konflik menahun di Suriah.

PBB telah memperingatkan tentang meningkatnya fenomena pengungsi internal di Suriah ketika pasukan pemerintah maju untuk mengambil kembali petak-petak negara yang masih di bawah kendali kelompok-kelompok pemberontak.

Tentara Suriah, yang didukung oleh kekuatan udara Rusia, sedang melakukan operasi militer di provinsi utara Idlib --yang menampung tiga juta warga sipil-- saat UNGA 2018 berlangsung pekan ini.

PBB telah memperingatkan "bencana kemanusiaan terburuk" abad ini dapat terjadi. Para pejabat PBB telah meminta semua pihak untuk memastikan bahwa korban sipil dihindari, tetapi tidak ada tanda-tanda peringatan ini diperhatikan.

3. Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina

Sidang Majelis Umum PBB tahun ini juga terjadi beberapa bulan setelah Amerika Serikat menghentikan donasi untuk Badan PBB Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA), menyebabkan lembaga yang mengurus hampir 5 juta jiwa pengungsi Palestina itu mengalami defisit besar dana operasional.

UNRWA didirikan pada tahun 1949 setelah pengusiran orang-orang Palestina selama Nakba, dan telah menjadi lembaga tempat bagi jutaan orang-orang Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan negara-negara tetangga seperti Yordania dan Suriah, menggantungkan hidupnya.

AS secara historis telah menjadi donor utama, tetapi sejak pemerintahan Presiden Donald Trump, pendanaan yang datang dari Washington menurun drastis.

4. Iran

Presiden AS Donald Trump menggunakan pidato Majelis Umum pertamanya tahun lalu untuk menentang Iran, menyebut negara itu sebagai "kediktatoran yang korup" dan mengkritik Teheran karena memberikan dukungan bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Hezbollah.

Tampaknya tidak mungkin Trump akan menahan lidahnya tahun ini menyusul penarikan dramatisnya dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA 2015) pada bulan Mei. Retorika perseteruan terhadap Iran bisa membuat marah sekutu Eropa, yang bertekad untuk menyelamatkan perjanjian bersejarah itu.

Presiden Iran Hassan Rouhani akan muncul di New York, yang dengan sendirinya memprovokasi perdebatan di Iran. Kelompok garis keras di negara itu menyerukan agar Rouhani ikut menarik diri dari JCPOA sebagai protes terhadap langkah AS, namun di sisi lain, kelompok reformis mendesaknya untuk menyampaikan pesan perdamaian dan diplomasi.

5. Korea Utara

Korea Utara disebut-sebut masuk dalam daftar salah satu isu penting yang akan dibahas dalam Sidang Majelis Umum ke-73. Sebab begitu banyak terjadi perkembangan besar di Semenanjung Korea.

Termasuk di antaranya perjanjian perdamaian bersejarah antara Korea Utara dan Korea Selatan di Panmunjom pada bulan April 2018 dan pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura pada bulan Juni --di mana keduanya berjanji untuk bekerja menuju "denuklirisasi lengkap" Pyongyang. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya