Liputan6.com, Washington DC - Beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami menghantam Sulawesi Tengah, sekelompok ilmuwan meramalkan bahwa dampak tsunami akan kian memburuk karena kenaikan permukaan laut terkait dengan perubahan iklim.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut dapat secara signifikan meningkatkan bahaya tsunami, yang berarti bahwa gelombang lebih kecil di masa depan dapat memiliki dampak negatif yang sama seperti tsunami besar hari ini," ujar Robert Weiss, profesor di Departemen Geosains di Virginia Tech.
Weiss adalah salah satu dari beberapa penulis studi yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances bulan lalu, yang meneliti dampak tsunami terkait kecenderungan naiknya permukaan air laut, demikian sebagaimana dikutip dari DW.com pada Senin (8/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
Mengambil judul "Kenaikan permukaan laut setinggi 0,5 meter (1,5 kaki) akan menggandakan bahaya tsunami di Makau," studi ini juga ditulis bersama oleh Adam Switzer, profesor di Observatorium Bumi Singapura.
"Tsunami seperti yang terjadi di Palu pada hari Jumat (28/9/2018) adalah peristiwa alam yang memiliki dampak lebih besar dari kekuatan aslinya. Selama 50 tahun terakhir, hal tersebut menjadi lebih buruk karena daratan semakin rendah akibat peningkatan permukaan air laut," jelas Switzer.
Para ilmuwan telah lama berasumsi bahwa tsunami dan naiknya permukaan laut merupakan fenomena yang benar-benar terpisah.
Meskipun pemantauan bagaimana naiknya permukaan laut akan menyebabkan komunitas pesisir terendam dalam kondisi gelombang badai -- terutama di negara-negara pulau dataran rendah-- beberapa telah mencoba untuk memahami bagaimana gejala perubahan iklim dapat memperburuk cuaca ekstrem dan bencana alam.
"Kami benar-benar ingin melihat pada tingkatan ekstrem, pada skenario yang lebih buruk," lanjut Switzer.
Menggunakan model komputer mutakhir yang, menurut Weiss, tidak tersedia lima tahun lalu, penelitian terbaru ini melihat dampak tsunami pada gelombang tinggi dan kondisi ekstrem.
Dalam hal ini, kota-kota pesisir seperti Makau di China, yang saat ini dianggap sebagai lokasi "aman tsunami", tidak akan berada dalam predikat yang sama di masa depan, jika prediksi kenaikan permukaan laut terbukti nyata.
"Daerah yang dianggap aman tsunami dan membutuhkan tsunami setinggi 2 hingga 3 meter untuk sebabkan banjir, hanya akan membutuhkan tsunami 1,5 hingga 2 meter di masa depan untuk bisa menyapu segalanya," kata Switzer.
Simak video pilihan berikut:
Memprediksi Skenario Terburuk
Masalahnya akan semakin diperparah karena kenaikan permukaan laut sekarang diprediksi jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
"Apa yang kami pikir adalah kasus terburuk lima atau 10 tahun yang lalu, hanyalah prediksi setengah buruk pada saat ini," kata Weiss.
Peningkatan permukaan laut yang lebih besar berarti tsunami kecil, yang terjadi lebih sering, juga akan lebih merusak.
Menurut Weiss, gempa bumi dan tsunami yang lebih kecil jauh lebih sering daripada jenis peristiwa besar yang menyebabkan Tsunami Tohoku 2011 di Jepang.
Dengan demikian, tsunami yang dipicu oleh magnitudo berkekuatan 9,1 itu dapat diciptakan oleh getaran yang lebih kecil di area lautan yang permukaannya naik.
Dengan naiknya permukaan laut, kota-kota pesisir bisa semakin rentan terhadap tsunami yang berasal dari daerah yang jauh. Ini sebagian karena tsunami dapat melintas di wilayah yang luas.
Tohoku mega-tsunami 2011 melakukan perjalanan dari Jepang ke California hanya dalam waktu 10 jam, dengan kecepatan 700 kilometer per jam, menurut Weiss.
Peneliti yang berbasis di Virginia Tech, yang berasal dari Jerman, juga menggunakan pemodelan komputernya untuk melihat bagaimana tsunami masa depan dapat berdampak pada California setelah gempa bumi di Alaska, misalnya; atau bagaimana pantai Atlantik dapat dibanjiri akibat tsunami besar yang dilepaskan oleh lempeng tektonik Greenland.
Gelombang pasang dari delapan hingga 10 meter juga bisa menghantam pantai Prancis dalam skenario terburuk, menurut Weiss.
Advertisement