Liputan6.com, Vatikan - Pemimpin Vatikan dan Gereja Katolik, Paus Fransiskus, dikabarkan ingin mengunjungi Korea Utara dalam beberapa bulan mendatang. Demikian informasi seorang politisi Korea Selatan pada Senin 15 Oktober 2018.
Hal itu, kata pejabat Korsel tersebut, mengindikasikan keterbukaan lebih lanjut pemerintahan Korea Utara terhadap komunitas internasional.
Kunjungan itu juga dinilai bersejarah dan signifikan, mengingat, Vatikan dan Korea Utara tak memiliki hubungan diplomatik. Dan jika terlaksana, kunjungan tersebut menandai lawatan pertama seorang paus ke negera tertutup itu, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (15/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
"Saya mendengar pembicaraan bahwa Paus Fransiskus ingin mengunjungi Korea Utara musim semi mendatang (kemungkinan awal tahun 2019)," kata Lee Hae-chan, ketua Partai Demokrat Korea Selatan, seperti dikutip oleh kantor berita Yonhap pada Senin 15 Oktober 2018.
Konstitusi Korea Utara menjamin kebebasan beragama selama tidak melemahkan negara, tetapi di luar segelintir tempat ibadah yang dikendalikan negara, tidak ada kegiatan keagamaan terbuka yang diizinkan oleh Pyongyang. Maka, rencana kunjungan Paus Fransiskus --petinggi Gereja Katolik dunia-- mengindikasikan langkah Korea Utara yang mungkin hendak mengizinkan kegiatan keagamaan di ranah publik.
Simak video pilihan berikut:
Presiden Moon Jae-in Sebut Korea Utara Sedang Bermasalah
Di lain kabar, dalam sebuah wawancara terbaru dengan surat kabar Prancis Le Figaro, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan bahwa Pyongyang tengah terlibat masalah baru, yang berkaitan dengan komitmennya terhadap denuklirisasi penuh.
Bukan tentang keengganan Korea Utara untuk meneguhkan komitmennya, melainkan menurut Presiden Moon, adalah soal kesulitan ekonomi negara itu akibat kebijakan politik tertutupnya, demikian sebagaimana dikutip dari Time.com pada Senin 15 Oktober.
Berbicara sebelum bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris, Sabtu 13 Oktober, Moon Jae-in memastikan bahwa rekannya di Korea Utara, Kim Jong-un, akan terus berkomitmen dengan semangat denuklirisasi.
"Perekonomian Korea Utara mengalami kesulitan besar karena sanksi internasional," kata Presiden Moon. "Jika melanggar perjanjian, mereka tidak akan mampu membayar sanksi dari AS dan komunitas internasional."
Sementara ekonomi Korea Utara dinilai miskin selama beberapa dekade, masyarakat internasional penasaran tentang berita terkait dampak dari putaran sanksi dari PBB. Tahun lalu, negara komunis itu diperkirakan telah mengalami kemerosotan ekonomi terbesar sejak 1997.
AS ingin menjaga sanksi terhadap Korea Utara di tempatnya sampai Kim Jong-un benar-benar membuka program nuklirnya. Sementara di lain pihak, Rusia dan China menentang pendekatan garis keras ini.
Korea Selatan mengatakan akan mempertimbangkan untuk meringankan sanksi mereka terhadap tetangganya itu, guna membangun kolaborasi di jalur kereta api dan jalan raya.
Meski begitu, Presiden Moon menegaskan bahwa pihaknya tidak melemahkan upaya global untuk menekan pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
Advertisement