4 Warisan Mengerikan dari Bencana Nuklir Fukushima

Hampir tujuh tahun berlalu, bencana reaktor nuklir Fukushima masih menyisakan 'warisan' bencana dengan dampak yang sangat mengkhawatirkan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Okt 2018, 19:40 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2018, 19:40 WIB
Reaktor Nuklir Fukushima (Kyodo News/AP PHOTO via Boston Herald)
Reaktor Nuklir Fukushima (Kyodo News/AP PHOTO via Boston Herald)

Liputan6.com, Fukushima - Tragedi bocornya reaktor nuklir di Fukushima, Jepang disebabkan oleh gempa yang terjadi pada Senin 5 Desember 2011. Gempa menyebabkan kebocoran, akibatnya, air radioaktif dari reaktor mengalir ke laut. Hal itu memicu krisis kontaminasi nuklir.

Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator dari reaktor tersebut menyatakan bahwa sekitar 45 ton air yang terkontaminasi dengan zat radioaktif cesium dan yodium, mengalir ke laut dari sistem selokan yang juga terkontaminasi dari unit kondensasi.

Air yang bocor tersebut mengandung radioaktif caesium 134 sekitar 16.000 becquerels per liter dan cesium 137 sekitar 29.000 becquerels, yang melebihi batas keselamatan oleh pemerintah.

Media lokal melaporkan, air yang terkontaminasi juga mungkin mengandung zat-zat radioaktif lain seperti strontium, diketahui dapat menyebabkan kanker tulang pada manusia.

Air yang terkontaminasi itu bocor dari unit desalinasi melalui celah di dinding beton ke selokan.

Selokan itu menghubungkan pipa saluran air yang mengalir bebas ke Samudera Pasifik. Air kemudian terkontaminasi radiasi nuklir dari sisa bocoran unit desalinasi hasil pompaan dari bangunan.

Kantong-kantong pasir digunakan sebagai opsi darurat untuk mencegah kebocoran lebih lanjut dari unit tersebut. Tak ada korban jiwa dalam kebocoran tersebut namun ratusan ribu warga dievakuasi.

Hampir tujuh tahun berlalu, bencana nuklir Fukushima masih menyisakan 'warisan' dengan dampak yang sangat mengkhawatirkan, berikut empat di antaranya, seperti Liputan6.com kutip dari TopTenz.net dan berbagai sumber, Minggu (28/10/2018).

 

Simak video pilihan berikut:

1. Kematian Pertama Akibat Paparan Radiasi Nuklir

Robot Bawah Laut Temukan Lelehan Bahan Bakar Nuklir di Jepang
Robot bawah air menunjukkan benjolan mirip lava di pabrik nuklir Fukushima, Jepang (21/7). Benda tersebut ditemukan akibat gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada 2011 lalu. (International Research Institute for Nuclear Decommissioning via AP

Untuk pertama kalinya, Jepang mengumumkan bahwa seorang pekerja di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima meninggal dunia akibat terpapar radiasi pada 6 September 2018.

Mengutip BBC, 6 September 2018, pekerja di PLTN Fukushima itu diidentifikasi sebagai pria berusia 50 tahunan. Dia meninggal karena kanker paru-paru yang didiagnosis pada 2016.

Pemerintah Jepang sebelumnya telah sepakat bahwa radiasi menyebabkan penyakit pada empat pekerja, tetapi kasus kematian ini adalah yang pertama mereka akui.

Karyawan yang meninggal telah bekerja di pembangkit listrik tenaga atom itu sejak 1980. Ia bertugas mengukur radiasi di PLTN Fukushima No 1 tak lama setelah rusak.

"Dia bekerja di sana setidaknya dua kali setelah rusak, mengenakan masker wajah dan pakaian pelindung," kata Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang.

Setelah mendengar pendapat dari panel ahli radiologi dan ahli lainnya, pihak kementerian memutuskan bahwa keluarga pria itu harus menerima ganti rugi.

Kasus kematian pertama akibat keterpaparan radiasi nuklir Fukushima menimbulkan kekhawatiran bahwa akan ada korban jiwa lain di kemudian hari akibat gejala yang sama.

2. Butuh 40 Dekade untuk Bersih dari Kontaminisasi Radiasi Nuklir

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima (AP)

Banyak orang khawatir bahwa proses pembersihan terhadap area yang terpapar radiasi nuklir bisa memakan waktu bertahun-tahun. Tetapi, para ahli telah memperingatkan bahwa itu bisa menjadi lebih buruk daripada yang bisa dibayangkan.

Perkiraan saat ini, area itu bisa bersih selama sekitar empat dekade, dan itu jika kita tidak melihat komplikasi baru dari dampak sampingan yang akan terjadi, demikian seperti dikutip dari The Guardian.

Itu menciptakan masalah besar bagi Jepang, karena hal tersebut adalah pengurasan jangka panjang pada perekonomian mereka, menciptakan rasa ketidakpercayaan yang konstan, dan menyulitkan orang untuk percaya pada kekuatan nuklir.

Pemerintah berharap untuk bisa segera mengirim orang kembali, tetapi dengan upaya pemulihan yang diperkirakan akan memakan waktu puluhan tahun, muncul momok yang mungkin menyebabkan lebih banyak evakuasi warga di masa depan akibat keterpaparan nuklir.

Namun, Jepang adalah sebuah pulau kecil dengan populasi besar dan mereka ingin dapat menggunakan area itu agar dapat dihuni orang-orang sesegera mungkin.

3. Air Terkontaminasi Nuklir Fukushima Mencapai ke Amerika Utara?

Robot Bawah Laut Temukan Lelehan Bahan Bakar Nuklir di Jepang
Robot bawah laut menunjukkan lelehan bahan bakar nuklir yang ditemukan di dasar penahanan utama inti reaktor nuklir Fukushima di kota Okuma, timur laut Jepang, (19/7). (International Research Institute for Nuclear Decommissioning via AP)

Tak lama setelah bencana Fukushima terjadi, sebuah grafik mulai beredar mengklaim bahwa awan radiasi dari bencana menyebar ke seluruh dunia dan akan segera mencapai Amerika Utara, di mana itu akan mencemari semuanya.

Sekarang, terbukti bahwa tidak ada awan raksasa atau gelombang radiasi, dan bahwa kekhawatiran itu tidak terjadi.

Namun, sekelompok peneliti dan kelompok warga sipil berhasil melacak radiasi di Amerika utara setelah menghabiskan dua tahun mengumpulkan sampel air dan terus-menerus menguji radiasi.

Itu menunjukkan bahwa butuh beberapa tahun setelah materi nuklir mencapai ke Amerika utara.

Meskipun beberapa orang mungkin menganggap ini sebagai alasan untuk benar-benar khawatir, namun, jumlahnya jauh di bawah apa yang dianggap berbahaya oleh para ilmuwan.

Sekarang, meskipun itu bukan alasan untuk kekhawatiran segera, itu memang menunjukkan bahwa bencana tersebut dapat memiliki efek global, dan bahwa jika air limbah nuklir Jepang akan membuat jalannya lebih cepat dan tidak terawat ke laut, mungkin kita akan mulai melihat lebih banyak efek hingga bahkan masalah nyata yang berdampak pada manusia di tempat jauh.

4. Limbah yang Belum Ditanggulangi Efektif

Robot Bawah Laut Temukan Lelehan Bahan Bakar Nuklir di Jepang
Robot bawah laut menunjukkan platform yang rusak di pabrik nuklir Fukushima, Jepang, (19/7). Batuan padat seperti lava dan benjolan di lapisan terlihat di bawah unit tiga reaktor . (International Research Institute for Nuclear Decommissioning via AP)

Pejabat Pemerintah Jepang belum mengetahui apa yang harus dilakukan dengan lebih dari 1 juta ton air radioaktif yang berada di lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang kini lumpuh.

Beberapa hari setelah peringatan tujuh tahun bencana nuklir Fukushima, perusahaan listrik Tokyo Electric Power Company (TEPCO) mengungkap bahwa pihaknya berhasil memperlambat laju air yang terkontaminasi yang mencapai fasilitas reaktor.

Namun, jumlahnya terus meningkat.

"Beberapa tahun lalu, air radioaktif meningkat 400 ton per hari, namun kenaikan per hari kini telah turun menjadi sekitar 100 ton per hari," kata Naohiro Masuda dari TEPCO seperti dikutip dari Australiaplus 3 Maret 2018.

"Beberapa tahun lalu kami harus membuat satu tangki baru setiap dua atau tiga hari tapi sekarang kami perlu menambah satu tangki baru setiap tujuh sampai 10 hari, jadi dalam artian itu, kami pikir ini adalah kemajuan, sampai tingkat tertentu, dalam arti ini adalah situasi yang lebih stabil," sebutnya.

Ada lebih dari 1.000 tangki air yang terkontaminasi sekarang di lokasi Fukushima dan pihak pemerintah masih belum memutuskan apa yang harus dilakukan dengan air itu.

TEPCO juga mengungkap bahwa dinding tanah yang dibekukan di bawah tanah -- yang diharapkan menjadi pertahanan utama terhadap kontaminasi air tanah -- hanya memiliki kapasitas terbatas.

Dinding penghalang sepanjang 1,5 kilometer dirancang agar air tanah tak mengalir ke bangunan reaktor yang rusak akibat bencana.

Dinding tersebut menghabiskan biaya lebih dari US$ 300 juta (atau setara Rp 3 triliun) untuk pembangunannya dan menghabiskan biaya US$ 10 juta (atau setara Rp 100 miliar) untuk beroperasi.

Masuda mengatakan penting untuk dicatat bahwa kombinasi langkah-langkah perusahaan untuk mencegah kontaminasi berarti situasinya kurang stabil secara keseluruhan.

Jadi, sementara tingkat air yang terkontaminasi masih meningkat -- meski pada tingkat yang lebih lambat -- Pemerintah Jepang belum menyetujui apa yang harus dilakukan terkait masalah itu.

Salah satu pilihan kontroversial termasuk dekontaminasi air sebanyak mungkin dan kemudian secara bertahap melepaskannya ke laut.

Para ahli yang menasihati Pemerintah Jepang telah mendesak pembuangan air secara bertahap ke Samudera Pasifik terdekat.

Penanganan itu bisa menghilangkan semua unsur radioaktif kecuali tritium, yang menurut mereka aman dalam jumlah kecil.

Tapi nelayan lokal menolak gagasan tersebut, karena khawatir akan berdampak buruk terhadap reputasi produk mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya