Perdagangan Rambut Palsu Menjamur di Myanmar, Negara Untung Jutaan Dolar

Rambut palsu di Myanmar sedang menjadi perbincangan hangat, apa penyebabnya?

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Nov 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2018, 10:00 WIB
Ilustrasi rambut
Ilustrasi rambut. Sumber foto: pixabay.com/kaleido-dp.

Liputan6.com, Naypyidaw - Rambut dapat membantu untuk membayar uang sewa bagi Za Za Lin. Air matanya berderai, saat rambutnya disisir dan dipotong di salah satu kios di pinggir jalan di Yangon, Myanmar.

"Hanya sakit sedikit," kata perempuan yang berusia 15 tahun itu saat pembeli rambutnya, Zin Mar, menyerahkan uang sekitar US$13 (Rp 196 ribu -- US$ 1 = Rp 15.100) untuk rambut sepanjang 51 cm, kurang lebih setara upah mingguan di Myanmar.

"Waktunya membayar sewa rumah," katanya sembari menyunggingkan senyum lebar, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (2/11/2018).

Di sisi lain dunia, rambut tersebut diproses dan dikemas sebagai "rambut Burma mentah", laku dijual seharga ratusan dolar kepada pelanggan yang menginginkan wig dan rambut sambungan dari bahan yang populer.

Rambut panjang identik dengan keindahan dan mempunyai makna relijius yang mendalam pada agama Buddha, sebagai agama mayoritas di Myanmar, di mana biksu dan biksuni memotong habis rambutnya sebagai tanda kerendahan hati.

"Orang-orang dari seluruh dunia menginginkan rambut yang berasal dari Myanmar, karena saat diberi sampo dan kondisioner, rambut tersebut bersinar seperti mutiara," kata Win Ko, pembeli berusia 23 tahun yang membeli dari individu dan pamasok seperti toko di Myanmar.

Negara yang dulunya dikenal dengan nama Burma ini, sekarang menjadi pusat industri jutaan dolar.

Sejak 2010, mereka meningkatkan pengiriman rambut empat kali lipat setiap tahunnya dan menjadi eksportir terbesar dunia ke-4.

Pada 2017, Myanmar mendapatkan penghasilan sebesar US$6,2 juta (Rp 93,6 miliar) dari ekspor rambut, dengan berat setara 1.160 mobil ukuran sedang.

Perdagangan rambut ini telah menjadi daya tarik bagi banyak orang yang mencari, memproses, dan mengekspor rambut, entah itu dari orang-orang yang membutuhkan uang seperti Za Za Lin atau membeli secara kiloan dalam bentuk gulungan rambut yang berdebu.

Setelah terkumpul, rambut dikirim dari vendor ke pabrik untuk diuraikan, disisir, dicuci, dan dikemas ulang sebelum dikirimkan menuju China untuk dijadikan rambut sambungan dan rambut palsu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Kasus Rohingya

Tawa Ceria Anak Rohingya Bermain di Kamp Pengungsian
Anak-anak pengungsi Rohingya bermain ayunan di taman bermain di kamp pengungsi Thangkhali, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (9/8). (Ed JONES/AFP)

Di sisi lain, terlepas dari suksesnya bisnis rambut palsu, Myanmar masih didera konflik kemanusiaan terkait Rohingya --minoritas yang tinggal di Rakhine.

Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi, (UNHCR) mengatakan, keadaan di negara bagian Rakhine di Myanmar belum memadai untuk dihuni kembali.

Hal ini dinilai setelah Bangladesh dan Myanmar setuju untuk memulai memulangkan ratusan ribu warga muslim Rohingya pertengahan November.

"Sangat penting bahwa pemulangan itu tidak terburu-buru atau prematur," kata juru bicara UNHCR, Andrej Mahecic dan bahwa pemulangan itu juga harus bersifat sukarela.

"Kami menyarankan untuk tidak memaksakan waktunya atau jumlah orang yang dipulangkan," tambahnya.

Para pejabat PBB juga pernah melaporkan muslim Rohingya hidup dalam ketakutan dan tidak bisa bebas bergerak di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Badan urusan pengungsi PBB dan program pembangunan PBB baru-baru ini melakukan penilaian pertama atas kondisi di bagian utara negara bagian Rakhine sejak eksodus massal pengungsi Rohingya ke Bangladesh lebih dari setahun lalu.

Tim dari dua badan PBB, UNHCR dan UNDP, mengunjungi lebih dari 26 desa di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Mereka mengatakan, tim bisa pergi ke mana saja dan bertemu siapa saja yang mereka inginkan.

Juru bicara UNHCR Andrej Mahecic mengatakan, fokus pertemuan mereka adalah mengetahui kondisi tempat tinggal orang-orang Rohingya dan kesulitan yang mereka hadapi.

"Penilaian ini dilakukan terkait krisis yang terjadi tahun lalu. Jadi, jelas ada juga dampak pada bagaimana orang hidup dan semua orang yang ditemui tim menghadapi situasi yang sangat sulit, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup," katanya.

Mahecic mengatakan, orang-orang di Rakhine mengungkapkan ketidakmampuan mereka mencari nafkah dan mendapatkan layanan dasar karena ruang gerak mereka dibatasi secara ketat.

Ia mengatakan, perasaan tidak percaya, takut terhadap komunitas tetangga, dan rasa tidak aman banyak dijumpai di banyak daerah.

"Perasaan takut dan perasaan tidak percaya berdampak pada akses ke pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lain. Perasaan-perasaan itu juga membatasi interaksi antarkomunitas, menghambat prospek untuk membangun rasa percaya dan kohesi sosial," kata Mahecic.

"Komunitas-komunitas yang kami kunjungi sering mengungkapkan tentang kesulitan mendapat layanan kesehatan serta pembatasan populasi muslim dalam mengakses pendidikan," dia menambahkan.

UNHCR dan UNDP menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) atau Nota Kesepahaman, dengan Myanmar awal Juni lalu. MOU itu hendak menciptakan kondisi yang kondusif agar pengungsi Rohingya kembali dari Bangladesh secara sukarela, dengan aman, bermartabat dan berkelanjutan, serta kembali berbaur dengan masyarakat di negara bagian Rakhine.

Atas dasar penilaian awal itu, Mahecic mengatakan, jelas bahwa tidak ada satu pun dari syarat-syarat itu yang dipenuhi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya