Jika Sampai Pecah pada 2019, Perang Dunia III Akan Bermula di 4 Lokasi Ini?

Berikut empat lokasi kemungkinan Perang Dunia III jika pertempuran global sampai pecah pada 2019.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Jan 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2019, 20:40 WIB
Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)
Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)

Liputan6.com, Jakarta - Komunitas internasional telah menghindari peperangan global pasca-Perang Dunia II berakhir pada 1945, membuat Perang Dunia III tampak hanya sebatas sebagai plot dalam film fiksi semata.

Sebab, semua orang sadar, jika pertempuran global kembali terjadi, bisa jadi itu adalah aksi bunuh diri kolektif. 

Bahkan ketika dua adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet nyaris bertukar konflik selama Perang Dingin --seperti krisis nuklir Kuba dan invasi Soviet ke Afghanistan-- namun Washington dan Moskow tetap 'dingin'.

Dan, dalam dua dekade pertama setelah jatuhnya Tembok Berlin yang menandai akhir dari Perang Dingin, maka tampak hampir tidak terbayangkan Perang Dunia III akan terjadi.

Tapi beberapa pengamat menilai bahwa titik nyala konflik dapat berubah sewaktu-waktu. Apalagi dewasa ini, dengan kekuatan China, serta perang proksi Rusia dan Iran di Timur Tengah yang meningkat, stabilitas tatanan internasional mungkin akan memburuk dan konflik global bisa saja kembali terjadi.

Menulis untuk outlet majalah AS The National Interest (18/1/2019), visiting professor di United States Army War College dan dosen senior di the Patterson School of Diplomacy and International Commerce, Robert Farley, memperkirakan empat lokasi kemungkinan Perang Dunia III jika pecah pada 2019. Berikut ulasannya:

 

Simak video pilihan berikut:

 

1. Laut China Selatan

(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)
(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)

Laut China Selatan telah menjadi bagian dari persengketaan antara Tiongkok dengan sejumlah negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, dengan beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, juga ikut tergabung dalam tensi di wilayah maritim kaya minyak dan salah satu jalur perlintasan kapal tersibuk di dunia.

Sampai sekarang, Amerika Serikat dan China belum menarik tensi yang begitu tinggi di Laut China Selatan.

"Namun, ketika hubungan kedua negara memburuk, satu atau dua hal disebabkan oleh perang dagang yang semakin keruh, kedua negara mungkin akan melakukan tindakan eskalasi yang melampaui koridor dolar, retorika atau hukum," kata Farley.

"Memang, jika China dan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa hubungan perdagangan mereka (yang telah memberikan landasan pertumbuhan ekonomi global selama dua dekade terakhir) berada pada risiko yang substansial, dan juga menyimpulkan bahwa konflik lebih lanjut tidak dapat dihindari, maka salah satu dari mereka mungkin memutuskan untuk mengambil langkah tegas di Laut China Selatan," lanjut Farley.

2. Ukraina

Selat Kerch, Laut Azov, Semenanjung Krimea (AP PHOTO)
Selat Kerch, Laut Azov, Semenanjung Krimea (AP PHOTO)

Akhir tahun 2018, dunia mengingat Ukraina menjadi lokasi sebuah insiden ketika kapal militer Rusia menembaki dua kapal AL dan satu kapal sipil Ukraina di Selt Kerch, Laut Azov, Krimea.

Tak jelas apakah insiden itu disebabkan oleh Rusia atau Ukraina (dan kedua pemerintah tampaknya telah memainkan bagian tertentu), namun, kejadian itu menyalakan kembali ketegangan dalam krisis yang telah membara selama beberapa tahun terakhir. Deklarasi darurat militer oleh pemerintah Ukraina menyarankan kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina.

Yang pasti, Rusia tampaknya kurang berminat mengganggu status quo menjelang pemilihan umum Ukraina, sementara pemerintah Ukraina terus kekurangan kapasitas untuk mengubah fakta di lapangan secara konsekuen.

"Tapi, pemilihan umum yang akan datang, meski mungkin tidak akan mengubah persamaan dasar, tetapi dapat menimbulkan ketidakpastian. Mengingat ketegangan yang terus-menerus antara Rusia dan Amerika Serikat, bahkan perubahan kecil dapat mengancam keseimbangan yang tidak nyaman yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, berpotensi membuat Eropa Timur dalam kekacauan," jelas Farley.

3. Teluk Persia

Kapal patroli AS saat berpapasan dengan kapal patroli Korps Garda Revolusi Iran di Teluk Persia (25/7/2017) (US Naval Institute)
Kapal patroli AS saat berpapasan dengan kapal patroli Korps Garda Revolusi Iran di Teluk Persia (25/7/2017) (US Naval Institute)

Krisis politik dan militer di Timur Tengah telah menjadi kebosanan yang tidak nyaman. Tekanan ekonomi terhadap Iran terus meningkat, karena Amerika Serikat mengambil langkah yang lebih agresif untuk membatasi perdagangan dengan menjatuhkan sanksi.

Intervensi Arab Saudi di Perang Yaman tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, dan sementara Perang Sipil Suriah telah mereda, baik Amerika Serikat dan Rusia tetap berkomitmen untuk mitra dan proksi mereka.

"Tetapi, konflik bisa menyalakan kembali. Gejolak politik di Iran dapat membuat kestabilan di kawasan itu, baik mendorong Iran ke perilaku agresif atau membuat Republik Islam menjadi target menggoda bagi musuh-musuhnya," kata Farley.

"Ketegangan antara Kurdi, Turki, Suriah, dan Irak bisa pecah menjadi konflik terbuka kapan saja. Israel dan Arab Saudi pun bisa saja ikut campur, mengingat pentingnya strategis kawasan ini, ketidakstabilan apa pun dapat menyebabkan konflik antara Amerika Serikat, Rusia atau bahkan China," tambahnya.

4. Semenanjung Korea

Tentara Korsel dan Korut
Tentara Korea Selatan (tengah bawah) berjabat tangan dengan tentara Korea Utara sebelum melintasi Garis Demarkasi Militer di Cheorwon, Rabu (12/12). Mereka mulai memeriksa pembongkaran pos-pos penjaga di Zona Demiliterisasi. (AP/Ahn Young-joon, Pool)

Tidak diragukan lagi bahwa ketegangan di Semenanjung Korea telah menurun banyak pada tahun lalu, ketika Kim Jong-un menahan uji coba rudal nuklir dan balistik, dan Presiden Donald Trump telah mengurangi retorika kerasnya terhadap Korea Utara. Dan memang, prospek perdamaian abadi jelas lebih cerah sekarang ketimbang beberapa tahun sebelumnya.

Namun jebakan serius tetap ada. Presiden telah mempertaruhkan prestise-nya pada perjanjian dengan Korea Utara.

Tapi, Pyongyang membalas dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan menangguhkan, atau bahkan memperlambat, produksi senjata nuklir dan rudal balistik.

Penasihat Presiden Trump mengetahui dan tidak senang tentang kontradiksi mendasar ini. Jika Trump memburuk pada Kim, jika unsur-unsur pemerintahan mencoba merusak perjanjian, atau jika Kim memburuk pada Trump, hubungan antara Washington dan Pyongyang bisa memburuk dengan sangat cepat.

"Terlebih lagi, baik China maupun Jepang tidak sepenuhnya setuju dengan rekonsiliasi antara Korea Selatan dan Korea Utara, apalagi ditambah jika Utara memiliki nuklir, meskipun alasan mereka untuk skeptisisme sangat berbeda. Semua mengatakan, situasi di Korea tetap jauh lebih berbahaya daripada perkiraan penilaian paling optimis," kata Farley.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya