7-4-1832: Kisah Nyata Pria yang Menjual Istrinya

Kebiasaan aneh berlangsung pada akhir Abad ke-18 dan pertengahan Abad ke-19 di Inggris: penjualan istri (wife-selling).

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 07 Apr 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2019, 06:00 WIB
Olok-olok publik Prancis atas praktik penjualan istri di Inggris (YALE UNIVERSITY GALLERY/PUBLIC DOMAIN)
Olok-olok publik Prancis atas praktik penjualan istri di Inggris (YALE UNIVERSITY GALLERY/PUBLIC DOMAIN)

Liputan6.com, London - Kebiasaan aneh berlangsung pada akhir Abad ke-18 dan pertengahan Abad ke-19 di Inggris: penjualan istri (wife-selling).

Sejumlah pria membawa pasangannya -- tak jarang dengan tali kekang di leher atau pinggang -- ke pasar, kedai minuman, atau pasar malam untuk dijual.

Kala itu, praktik yang kini kontroversial tersebut dianggap tontonan menarik, bahkan ramai diberitakan di surat kabar. Antara tahun 1780 hingga 1850, setidaknya ada 300 istri yang 'dijual'.

Seperti yang terjadi pada Sabtu 7 April 1832. Seorang petani bernama Joseph Thompson menawarkan istri yang baru dinikahinya selama tiga tahun.

Perempuan itu berpenampilan rapi, bersemangat, dan berperawakan sehat. Usianya masih muda, kurang dari 22 tahun.

Seperti dikabarkan surat kabar lawas Inggris, Lancaster Herald, yang dikutip dari situs onthisday.com, pasangan itu belum punya anak. Sejumlah perselisihan keluarga membuat keduanya bersepakat pisah.

Seorang pelayan kemudian dikirim untuk berkeliling, menyampaikan pengumuman bahwa penjualan istri akan dimulai pada pukul 12.00. Ribuan orang datang ke lokasi yang disebut.

Perempuan yang dijadikan objek itu muncul di tengah kerumunan. Ia berdiri di atas kursi kayu ek, dengan tali berbahan jerami yang melingkar di lehernya. Wajahnya dirias, bajunya bergaya country yang dianggap modis kala itu.

Suaminya kemudian bicara. "Tuan-tuan, aku ingin mengajak Anda melihat istriku, Mary Ann Thompson. Aku berniat menjualnya ke penawar tertinggi. Itu adalah keinginannya, juga keinginanku," kata Joseph Thompson.

Di depan kerumunan orang, Joseph Thompson kemudian merendahkan sang istri, membeberkan apa yang ia sebut sebagai sisi gelap perempuan tersebut, menyamakannya dengan 'wabah'. Olok-olok itu disambut tawa mereka yang mendengarnya.

"Tapi, ia juga punya sisi terang dan baik," kata Joseph Thompson. "Ia bisa membaca novel dan memerah sapi...."

Pria itu menambahkan, istrinya juga bisa bisa membuat mentega, memarahi pelayan, menyanyi, membuat racikan minuman rum, gin, atau wiski. "Maka dari itu, aku menawarkan dia, dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, untuk 50 shilling."

Tawar-menawar kemudian berlangsung selama satu atau dua jam. Pemenang lelang adalah Henry Mears, seorang pensiunan, yang membayar dengan 20 shilling dan anjing jenis Newfoundland miliknya.

Mary Ann Thompson dan pasangan barunya itu kemudian segera meninggalkan kota bersama-sama, ditengah sorak-sorai banyak orang. Keduanya tampak senang.

Joseph Thompson kemudian memasang tali yang telah dilepas dari leher istrinya ke anjing Newfoundland yang baru di dapatkannya. Ia kemudian menghabiskan sisa hari itu dengan minum-minum di bar terdekat.

Ada alasan di balik kebiasaan aneh tersebut. Yakni, biaya perceraian yang sangat mahal. Praktik wife-selling dijadikan alternatif berpisah bagi warga kelas bawah di Inggris.

 

Di Balik Praktik Menjual Istri

Ilustrasi praktik penjualan istri di Inggris pada Abad ke-18
Ilustrasi praktik penjualan istri di Inggris pada Abad ke-18 (Wikimedia/Public Domain)

Para sejarawan belum sepakat soal kapan atau bagaimana praktik 'penjualan istri' bermula.

Seperti dikutip dari situs history.com, pada tahun 1750-an, pasangan yang tak lagi merasa cocok harus mendapatkan restu dari parlemen atau Act of Parliament untuk bercerai.

Proses pegat tak hanya mahal, tapi juga panjang dan melelahkan. Itu mengapa, praktik wife-selling marak dilakukan.

Meski perceraian dengan cara itu tak legal, namun karena dilakukan di depan publik, perpisahan tersebut sah di mata banyak orang.

Sebenarnya, bisa saja istri atau suami saling mengabaikan satu sama lain. Namun, seorang perempuan, yang secara legal masih terikat perkawinan, berisiko jika menjalin hubungan dengan pria lain.

Mantan suaminya bisa saja merecoki, dengan niat mendapatkan uang banyak dari kekasih barunya. Kala itu, seorang pria bisa memperkarakan pasangannya ke pengadilan atas tuduhan zina. Tapi tidak sebaliknya.

Itu mengapa, sejumlah pasangan menganggap, praktik menjual istri sebagai cara menjauhi risiko itu -- meski pihak perempuan kerap dipermalukan dalam lelang.

"Lewat penjualan semacam itu, suami pertama mendapat semacam suap dari kekasih baru sang istri, sebagai imbalan karena mengabaikan haknya untuk memperkarakannya secara hukum," tulis ahli hukum Julie C. Suk.

Anehnya, praktik tersebut dibuat mirip dengan pelelangan ternak, dengan tali kekang di leher dan pinggang. Ditambah olok-olok, konon diyakini itu adalah cara untuk meredakan kegetiran pria yang melepas istrinya. 

Setelah dibeli pria lain, perkawinan pasangan yang menggelar lelang dianggap batal. Si pembeli bertanggung jawab secara finansial pada istri barunya itu.

Biasanya, praktik penjualan istri hanya simbolis belaka. Hanya ada satu pria yang secara nyata menawar: kekasih baru perempuan itu.

Tapi bisa saja, lelang sesungguhnya terjadi, yang tak jarak berujung adu jotos. Seorang pria dapat mengumumkan penjualan istri tanpa memberi tahu pasangannya. Perempuan tersebut bisa saja dijual ke orang asing. Namun, ia mutlak harus setuju.

Wajarnya, praktik penjualan istri tak berakhir dengan permusuhan. Mantan suami-istri, dan pemenang lelang bisa saja duduk bersama di bar, menenggak bir, dan saling melontarkan candaan.

Namun, secara teknis, penjualan istri tidak membatalkan status pernikahan sebelumnya.  Polisi pun akhirnya bertindak dengan membubarkan lelang. 

Praktik penjualan istri mulai berakhir pada 1857, ketika perceraian menjadi lebih mudah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya