Liputan6.com, Tripoli - Pertempuran hebat meletus di selatan Tripoli pada Sabtu 20 April 2019 waktu lokal, setelah pemerintah Libya yang didukung PBB mengumumkan serangan balasan terhadap pasukan pemberontak.
Rincian tentang pertempuran terbaru tidak segera jelas, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (21/4/2019). Belum diketahui juga jumlah korban dan detail kerusakan pascapertempuran hari itu.
Pertempuran terjadi setelah berhari-hari kampanye militer sporadis dari kedua sisi yang bertikai, yang telah menewaskan 220 orang.
Advertisement
Tentara yang setia kepada Jenderal Khalifa Haftar melancarkan serangan awal bulan ini dengan tujuan mengambil alih Tripoli dari pemerintah yang didukung PBB.
Baca Juga
Perdana Menteri Libya, Fayez al-Serra mengutuk "kebisuan" sekutu internasionalnya di tengah pertempuran.
Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) PM Serra mengatakan, pihaknya telah melakukan tujuh serangan udara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpian Jenderal Haftar.
Kelompok itu telah melakukan kampanye militer di kota dari berbagai arah, dan mengatakan telah mengambil bandara internasional Tripoli.
Pemerintah yang didukung PBB mengatakan telah meluncurkan serangan balasan terhadap pasukan Jenderal Haftar.
Jenderal Haftar, seorang mantan perwira angkatan darat, diangkat sebagai kepala LNA pada tahun 2015 di bawah pemerintahan sebelumnya yang diakui secara internasional yang berbasis di Tobruk.
Dia mendapat dukungan dari Mesir, Rusia dan Uni Emirat Arab.
Gedung Putih mengatakan Presiden Trump telah berbicara dengan Jenderal Haftar, mengisyaratkan AS juga dapat mendukung pemerintah baru di bawah komandonya.
Baik Amerika dan Rusia telah menolak untuk mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB yang dirancang Inggris yang menyerukan gencatan senjata.
Seorang juru bicara LNA mengatakan kepada kantor berita AFP: "Kami telah memenangkan pertempuran politik dan kami telah meyakinkan dunia bahwa angkatan bersenjata memerangi terorisme."
Jenderal Haftar mendapat dukungan dari beberapa kekuatan asing, yang melihatnya sebagai kekuatan yang berpotensi menstabilkan dalam kekacauan pasca-revolusi Libya, BBCÂ melaporkan.
Beberapa orang Libya merasakan hal yang sama, tetapi yang lain melihatnya sebagai panglima perang lain yang bertekad memenangkan kekuasaan secara paksa.
Libya telah dihancurkan oleh kekerasan dan ketidakstabilan politik sejak penguasa lama Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh pada tahun 2011.
Donald Trump Puji Militer Oposisi Libya
Sebuah informasi dari Gedung Putih yang diterbitkan Jumat, 19 April 2019 melaporkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump memuji peran penting Jenderal Libya Khalifa Haftar dalam memerangi terorisme dan mengamankan sumber daya minyak Libya.
Keduanya juga diketahui telah membahas visi bersama untuk transisi politik Libya ke sistem politik yang "stabil dan demokratis" mengutip CNN pada Minggu (21/4/2019).
Dialog antara Trump dengan Haftar berlangsung pada Senin, 15 April 2019.
Dalam pernyataan itu tidak disebutkan serangan ofensif Haftar di Tripoli, Ibu Kota Libya. Adapun pujian dari sang presiden nyentrik menandakan perubahan sikap Negeri Paman Sam yang sebelumnya mengutuk operasi militer Haftar.
Advertisement
Sikap Trump Bertentangan dengan Menteri-Menterinya?
Sebagaimana diketahui, awal bulan ini sebetulnya Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo sempat mengutuk tindakan jenderal Libya itu.
"Kami telah menjelaskan bahwa kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak penghentian segera operasi militer terhadap ibu kota Libya," kata Pompeo kala itu.
Menlu AS saat itu berpendapat bahwa kampanye militer melawan Tripoli membahayakan warga sipil dan merusak masa depan Libya.
Sementara itu, meskipun Trump seolah menjadi dekat dengan Haftar, Penjabat Menteri Pertahanan AS, Pat Shanahan mengatakan pada Jumat bahwa Kementerian Pertahanan (Pentagon) dan "badan eksekutif tetap selaras dengan pemerintah Libya". Shanahan juga menuturkan bahwa "solusi militer sama sekali tidak dibutuhkan Libya".
"Jadi apa yang kami katakan sebelumnya dan apa yang saya dukung adalah dukungan Field Marshal Haftar (hanya) dalam upaya kontraterorisme. Kita membutuhkan dukungan Field Marshal Haftar dalam membangun stabilitas demokrasi di wilayah itu," kata Shanahan.
Saat ini, AS masih berstatus mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.