Liputan6.com, Tripoli - Sebanyak hampir 200 orang dinyatakan tewas, dan lebih dari 1.000 lainnya terluka, dalam gelombang pertempuran terbaru di Libya, kata para pejabat lokal pada akhir pekan lalu.
Serangan terbaru itu merupakan upaya merebut kendali ibu kota Tripoli oleh Khalifa Haftar, seorang komandan militer yang berbasis di timur negara itu.
Dikutip dari The Guardian pada Senin (6/5/2019), perang saudara antara asukan Haftar dan pemerintah nasionalis Libya telah memasuki bulan kedua saat ini.
Advertisement
Baca Juga
Di saat bersamaan, muncul banyak kekhawatiran akan kebuntuan berdarah yang berisiko merenggut nyawa banyak warga sipil dan pejuang dari masing-masing kelompok berperang.
Haftar telah mendesak pasukannya untuk "memberikan pelajaran yang lebih besar kepada musuh" selama puasa Ramadan. Dia juga menegaskan bahwa bulan suci tersebut bukan alasan untuk menghentikan pertempuran sebelumnya di kota-kota timur Benghazi dan Derna.
Komentarnya itu datang hanya beberapa jam setelah PBB menyerukan gencatan senjata di Libya selama sepekan.
Serangan Haftar ditujukan untuk menjatuhkan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB di Tripoli, serta mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Mesir.
Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan perkiraan korban yang lebih tinggi dari yang disampaikan oleh kementerian kesehatan GNA pada hari Minggu, bahwa 392 orang telah terbunuh dan sekitar 2.000 lainnya terluka, dalam bentrokan senjata yang masih berlangsung di selatan Tripoli.
"Jumlah pengungsi karena bentrokan ini telah meningkat menjadi sekitar 50.000 orang, yang menyebar antara Tripoli dan kota-kota lain di wilayah barat," twit WHO.
Haftar Tidak Berkomitmen pada Demokrasi
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) diduga telah berdiskusi dengan para sekutu utamanya di Timur Tengah, bahwa serangan Haftar dapat dilihat sebagai tindakan seorang pemimpin kuat yang memerangi militan ekstrimis di Tripoli.
Tetapi banyak ahli independen Libya mengklaim Haftar tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi, dan dia sendiri menyebarkan milisi Salafi --yang dimusuhi Timur Tengah-- di dalam Pasukan Nasional Libya.
Di saat bersamaan, setidaknya sembilan orang tewas dalam serangan pada hari Sabtu di sebuah kamp pelatihan militer milik pasukan yang setia kepada Haftar di kota selatan Sabha.
Serangan fajar itu diklaim oleh kelompok ekstremis berbasis agama, dalam sebuah pernyataan yang didistribusikan melalui media sosial. Mereka mengatakan telah menargetkan "milisi sesat Haftar".
GNA mengatakan bahwa Haftar secara langsung bertanggung jawab atas kebangkitan kegiatan ekstremis di Libya.
Advertisement
Dukungan Trump Berubah Arah
Di lain pihak, dukungan pribadi Donald Trump sebelumnya terhadap Haftar tampaknya telah melemahkan utusan khusus PBB, Ghassan Salamé, dan upaya Kantor Luar Negeri Inggris untuk mengamankan resolusi Dewan keamanan yang menyerukan gencatan senjata.
Baik Rusia dan AS, sama-sama menentang langkah Inggris di PBB bulan lalu, untuk mengeluarkan pernyataan yang menyerukan gencatan senjata dan kembali melanjutkan pembicaraan damai.
Perubahan dramatis dalam kebijakan AS itu menyusul pertemuan Trump dengan pemimpin Mesir Abdel Fatah al-Sisi, dan percakapan telepon dengan putra mahkota Abu Dhabi, Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Keduanya adalah pendukung utama Haftar.
Perebutan kekuasaan antara Haftar, mantan perwira senior di pasukan Moamar Khadafi, dan GNA telah meninggalkan wilayah padang pasir Libya yang luas tanpa pemerintahan efektif.
Khadafi digulingkan dan dibunuh pada 2011.