Liputan6.com, Bangkok - Masyarakat global kini tengah dihadapkan dengan masalah terbesar yang masih sulit diatasi, yakni sampah plastik dan pencemaran air laut karenanya.
Meski sejumlah imbauan dan aturan telah diterpakan di beberapa negara, terkait pelarangan penggunaan plastik atau makanan dan minuman dengan kemasan plastik, namun tidak semua individu mematuhinya dengan benar.
Baru-baru ini, Menteri Energi, Sains, Teknologi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim Malaysia, Yeo Bee Yin, pada Kamis 30 Mei 2019 mengumumkan dalam konferensi pers bahwa Negeri Jiran akan mengembalikan 3.300 ton sampah ke negara-negara asalnya: Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Jerman, Norwegia, Prancis, Jepang, China, Kanada, Bangladesh, Arab Saudi, dan lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Associated Press melaporkan, 60 kontainer pengiriman yang digunakan untuk mengangkut plastik daur ulang, berisi penuh dengan sampah yang tidak dapat didaur ulang, seperti limbah elektronik.
"Kami mendesak negara-negara maju untuk meninjau kembali pengelolaan limbah plastik mereka dan menghentikan pengiriman sampah ke negara-negara berkembang," kata Yin di hadapan para wartawan, sebagaimana dikutip dari CNN, Jumat 31 Mei 2019.
Yin menambahkan: "Malaysia tidak akan menjadi tempat pembuangan sampah bagi dunia ... kami akan melawan. Meskipun kami adalah negara kecil, kami tidak mau diganggu oleh negara-negara maju."
Sementara itu pada hari yang sama, Filipina pun melakukan hal serupa: mengirim kembali truk-truk sampah yang diekspor oleh Kanada. Ini adalah masalah yang mengikis hubungan antara Manila dan Ottawa selama bertahun-tahun, bahkan ketika para aktivis lingkungan menyerukan pelarangan yang lebih luas dan permanen atas impor barang berbahan plastik.
Enam puluh sembilan kontainer berisi sekitar 2.500 ton limbah rumah tangga, termasuk botol plastik, tas, koran, dan popok dewasa --yang membusuk di pelabuhan-pelabuhan di Manila selama enam tahun terakhir-- dimuat pada Kamis malam, 30 Mei 2019 di Bavaria.
Kapal tersebut lalu berlayar dari Subic, bekas pangkalan angkatan laut AS, dan kemudian ke pelabuhan pengiriman di utara Manila. Jumat pagi, kontainer berlayar ke pelabuhan berikutnya di Kaohsiung (Taiwan) dan melanjutkan ke Vancouver (Kanada), di mana dijadwalkan akan tiba di sana dalam 20 hari .
Awal tahun ini (2019), Filipina mengirim kembali 6.500 ton sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke Korea Selatan. Pejabat bea cukai setempat menyebut, masih ada 10 kontainer yang 'menginap' di pelabuhan di Manila.
Sekarang semakin banyak negara yang mengambil sikap tegas seperti Malaysia dan Filipina, sekaligus menuntut agar negara pengirim sampah mengambil kembali limbah mereka dan bertanggungjawab terhadapnya.
Sejumlah negara maju berulang kali mengirim limbah daur ulang mereka ke luar negeri karena murah, membantu memenuhi target daur ulang, dan mengurangi TPA domestik.
Bagi negara-negara berkembang yang memunguti sampah-sampah itu, seperti Malaysia dan Filipina, sampah daur ulang menjadi sumber pendapatan yang berharga.
Tetapi plastik dan sampah yang terkontaminasi, yang tidak dapat didaur ulang, sering bercampur dengan yang dapat didaur ulang dan berakhir di pusat-pusat pemrosesan ilegal.
Jadi, di mana asal mula sampah-sampah ini datang dan mengapa tindakan seperti itu diambil sekarang?
Dikutip dari BBC, Minggu (2/5/2019), Uni Eropa adalah pengekspor sampah plastik terbesar di dunia, namun untuk negara tunggal, Amerika Serikat adalah pemimpinnya. Hanya sebagian kecil dari semua plastik yang pernah diproduksi oleh mereka, telah didaur ulang.
Seringkali, bahan yang tidak dapat didaur ulang berakhir dengan dibakar secara ilegal, dibuang di tempat pembuangan sampah atau saluran air, menciptakan risiko terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Kekhawatiran semacam itu telah memaksa Malaysia dan Filipina untuk segera bertindak. Untuk memahami mengapa negara-negara ini dibanjiri begitu banyak limbah, BBC menuliskan bahwa kita perlu menengok sejenak ke China.
Hingga Januari 2018, Tiongkok mengimpor sebagian besar sampah plastik dunia. Tetapi karena kekhawatiran tentang kontaminasi dan polusi, China menyatakan tidak akan lagi membeli potongan plastik daur ulang yang tidak 99,5% murni.
Tidak Sungguh-sungguh Didaur Ulang
Ekspor limbah plastik global turun hampir setengahnya pada akhir 2018, dibandingkan dengan tahun 2016, menurut analisis Greenpeace.
Malaysia, Vietnam, Thailand, Indonesia, Taiwan, Korea Selatan, Turki, India, dan Polandia disebut sebagai negara yang masih diam saja terkait limbah ini.
Malaysia mengambil bagian besar -- limbah plastik yang diimpornya dari 10 negara hanya dalam enam bulan pertama tahun 2018, hampir sebanyak total yang diterima pada tahun 2016 dan 2017.
Tapi sampah yang tiba di negara-negara seperti Malaysia dan Filipina, tidak cukup dapat didaur ulang dan telah menyebabkan masalah besar.
Inggris, adalah salah satu negara yang disalahkan oleh pemerintah Malaysia.
"Apa yang warga Inggris yakini, mereka kirim untuk didaur ulang, sebenarnya dibuang di negara kita," kata Menteri Malaysia, Yeo Bee Yin.
Advertisement
Negara-Negara yang Mengambil Tindakan Tegas
Negara-negara pengimpor sampah menghadapi kesulitan dalam mengelola limbah. Polandia, pada Mei tahun lalu, mengumumkan peraturan yang lebih tegas setelah banyak kebakaran di tempat pembuangan sampah.
Mereka juga mengaitkan kenaikan impor sampah ilegal dengan adanya larangan China.
Thailand, untuk sementara waktu, melarang impor limbah plastik dan mengatakan akan menerapkan larangan penuh pada tahun 2021.
Malaysia telah mencabut izin impor dan telah menekan pabrik pengolahan ilegal.
Vietnam tidak lagi mengeluarkan lisensi baru dan akan melarang semua impor barang plastik pada tahun 2025.
Pada Oktober nanti, Taiwan mengatakan hanya akan mengimpor limbah plastik sumber tunggal.
India memperluas larangan impor limbah plastik padat pada bulan Maret ini.
Taking India’s commitment to fight against plastic pollution further, India bans import of solid plastic waste/scrap into the country.
— MoEF&CC (@moefcc) March 6, 2019
Global Alliance for Incinerator Alternatives (Gaia) mengatakan pada 2016, volume sampah plastik adalah 235 juta ton per tahun -- yang setara dengan isi kolam renang Olimpiade, yakni 4,8 juta.
Gaia memperkirakan, sampah-sampah ini akan mencapai 417 juta ton per tahun pada 2030.