Liputan6.com, Washington DC - Penjelasan samar penasihat kepresidenan Amerika Serikat, Jared Kushner dalam menggambarkan hak menentukan nasib sendiri bagi Palestina, menimbulkan kekhawatiran, bahwa ujung tombak negosiator AS untuk perdamaian Israel - Palestina itu tak sepenuhnya berkomitmen pada prinsip 'Solusi Dua Negara atau Two State Solution' yang telah lama diadvokasikan Amerika dan negara-negara anggota PBB.
"Orang-orang Palestina harus memiliki hak menentukan nasib sendiri," kata menantu Presiden Donald Trump saat diwawancarai Axios awal pekan ini, beberapa pekan jelang pengumuman proposal perdamaian versi pemerintahan Trump yang dinanti.
Tapi, ketika Axios meminta Kushner untuk mengelaborasi jawabannya, ia menjawab, "kita berbicara tentang orang-orang, bukan istilah teknis," jelasnya sama, seperti dikutip dari Vox, Selasa (4/6/2019).
Advertisement
Saat ditekan apakah orang-orang Palestina bisa merdeka dari pemerintahan dan campur tangan militer Israel, Kushner mengatakan, "itu tujuan tertingginya."
Namun saat melanjutkan, Kushner urung mengatakan apakah Palestina harus memiliki negara merdeka sendiri dengan ibukota di Yerusalem Timur.
Baca Juga
"Ada perbedaan antara keinginan para teknokrat dan ada perbedaan di antara keinginan orang-orang. Para teknokrat berfokus pada hal-hal yang sangat teknokratis dan ketika saya berbicara dengan orang-orang Palestina, yang mereka inginkan adalah kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, kesempatan untuk membayar hipotek mereka," jawab Kushner.
Ketika kembali ditanya apakah Kushner percaya Palestina mampu memerintah sendiri tanpa campur tangan dari Israel, ia tidak menjawab secara langsung, dan tampaknya membuat tujuan akhir dari proposal perdamaian yang ditawarkan AS hanyalah tentang investasi asing di Israel, Palestina dan Timur Tengah secara umum.
"Saya pikir ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah Palestina saat ini dengan baik dan ada beberapa hal yang kurang. Dan saya benar-benar berpikir bahwa agar daerah tersebut dapat diinvestasikan, bagi investor untuk datang dan ingin berinvestasi di industri dan infrastruktur yang berbeda guna menciptakan lapangan kerja, Anda perlu memiliki sistem peradilan yang adil. Anda perlu memiliki kebebasan pers, kebebasan berekspresi, toleransi untuk semua agama, dan sebagainya," kata taipan real estat AS itu.
AS diharapkan akan segera mengumumkan kesepakatan perdamaian Israel - Palestina yang diberi nama oleh Presiden Trump sebagai 'Deal of the Century' dalam waktu dekat. Kuat diperkirakan bahwa proposal itu akan diumumkan dalam Konferensi Bahrain untuk ekonomi Palestina pada akhir Juni mendatang.
Jared Kushner, penasihat kepresidenan dan menantu Trump, serta pengacara Jason Greenbllatt adalah orang kepercayaan presiden dalam menyusun proposal 'the Deal'. Keduanya, yang mempraktikkan Yahudi Ortodoks, tidak datang dengan pengalaman politik tetapi telah berbagi minat dan koneksi yang lama dengan Israel.
Komentar Kushner soal proposal perdamaian Israel - Palestina yang hanya condong pada sektor ekonomi, selaras dengan apa yang akan dibahas dalam Konferensi Bahrain.
Di sisi lain, Palestina menolak untuk hadir ke Bahrain, dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbbas mengatakan bahwa "Deal of the Century" dan konferensi itu "dapat pergi ke neraka."
Kritik terhadap pendekatan itu mengambil fakta bahwa pembahasan isu ekonomi tidak diadakan bersamaan dengan diskusi politik.
"Anda tidak dapat melakukan pembangunan ekonomi yang serius tanpa menyelesaikan masalah keamanan dan politik yang memungkinkan investor dan pertumbuhan ekonomi internal dan lapangan kerja," kata Aaron David Miller, mantan perunding dan analis masalah Timur Tengah untuk pemerintahan AS di masa Partai Republik dan Partai Demokrat seperti dikutip The Washington Post.
Semakin Menegaskan Sikap AS yang Pro-Israel?
Ketidakmampuan Jared Kushner untuk secara eksplisit mengatakan apakah rencana perdamaiannya mencakup Solusi Dua Negara, akan semakin menguatkan persepsi di kalangan pejabat Ramallah bahwa rencana menantu Presiden Trump itu bias terhadap Israel.
Namun, persepsi itu sudah tertanam lama, lewat dukungan kuat administrasi Trump untuk Israel, yang telah ditunjukkannya dengan retorika dan dengan serangkaian langkah kebijakan kontroversial yang telah melemahkan kepentingan Palestina, meliputi: memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, dan memotong dana untuk badan PBB yang mendukung pengungsi Palestina (UNRWA).
Kushner jmenepis anggapan bahwa tindakan pemerintahan Trump telah menyebabkan ketidakpercayaan antara dia dan Palestina, dengan mengatakan dia "tidak di sini untuk dipercaya."
"Padahal kepercayaan tampaknya merupakan komponen yang sangat vital untuk mendapatkan dukungan untuk kesepakatan perdamaian apa pun," tulis Jen Kirby dari Vox.
Tentu saja, masih menjadi pertanyaan kapan (dan bahkan jika) seluruh dunia akan pernah melihat kesepakatan damai Kushner. Menurut rekaman yang diperoleh oleh Washington Post dan terungkap Minggu, Sekretaris Negara Mike Pompeo dengan jujur mengatakan kepada para pemimpin Yahudi pada pertemuan tertutup bahwa rencana itu mungkin dianggap "tidak dapat dieksekusi."
"Saya mengerti mengapa orang berpikir ini akan menjadi kesepakatan yang hanya orang Israel yang bisa cintai," kata Pompeo. “Saya mengerti persepsi itu. Saya harap semua orang akan memberikan ruang untuk mendengarkan dan membiarkannya menetap sedikit. "
Dan kekacauan politik Israel sendiri berpotensi menggagalkan kesepakatan damai Kushner. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu gagal membentuk pemerintah koalisi meskipun menang dalam pemilihannya, yang mengarah ke pemilihan baru pada bulan September.
Pergantian peristiwa yang tak terduga itu dapat menunda Deal of the Century lebih jauh, dan mungkin memberi tekanan pada administrasi Trump untuk membuat rencana itu lebih menguntungkan bagi Netanyahu sebagai bagian dari upaya untuk mengamankan masa jabatan lain sebagai perdana menteri --yang menjadikannya semakin lebih mungkin bahwa orang-orang Palestina akan menolaknya begitu saja.
Advertisement
Sekilas Solusi Dua Negara
Solusi dua negara merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel - Palestina yang menyerukan untuk dibuatnya "dua negara untuk dua warga."
Dengan solusi dua negara, Negara Palestina berdampingan dengan Israel, di sebelah barat Sungai Yordan. Perbatasan antarnegara masih dipersengketakan dengan pemimpin Palestina, dan negara Arab menginginkan "perbatasan pada tahun 1967", yang tidak disepakati oleh Israel.
Wilayah bekas Mandat atas Palestina tidak akan menjadi bagian dari Negara Palestina, dan akan menjadi bagian dari wilayah Israel.
Sejarah dari kerangka solusi telah tertulis dalam resolusi PBB mengenai "penyelesaian damai tentang masalah Palestina" yang ada sejak tahun 1974, PBB melaporkan, seperti dikutip dari The United Nations - Question of Palestine.
Resolusi tersebut menyerukan untuk "kedua negara, Israel dan Palestina ... hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui" dengan "sebuah resolusi masalah sesuai dengan Resolusi PBB 194. Batas negara Palestina berdasarkan dengan batas negara sebelum tahun 1967".
Resolusi terbaru pada bulan November 2013 disahkan dengan suara 165-6, dengan 6 abstain, catat arsip Majelis Umum PBB. Negara yang menentang adalah Kanada, Israel, Amerika Serikat, Negara Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshall dan Palau.
Palestina telah "menunjukkan niat yang serius" untuk solusi dua negara sejak pertengahan tahun 1970-an, dan pemimpin negara lainnya telah mendukung konsep sejak tahun 1982 KTT Arab di Fez, tulis Mark A Tessler dalam bukunya 'A History of the Israeli-Palestinian Conflict'.
Sudah banyak upaya diplomatik yang dilakukan untuk mewujudkan solusi dua negara, mulai dari Konferensi Madrid tahun 1991. Kemudian Perjanjian Oslo 1993 dan Pertemuan Camp David 2000 yang gagal, dan dilanjutkan dengan Pertemuan Taba di awal tahun 2001.
Pada tahun 2002, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa perdamaian terbaru adalah Pembahasan Perdamaian tahun 2013-2014 yang juga gagal.