Liputan6.com, Jakarta - Lubang besar di kantong es musim dingin Antartika telah muncul secara sporadis sejak tahun 1970-an, tetapi alasan pembentukannya masih menjadi misteri selama bertahun-tahun lamanya.
Para ilmuwan, dengan bantuan robot apung dan anjing laut yang dilengkapi dengan teknologi, sekarang telah memiliki jawabannya. Lubang di Antartika yang disebut sebagai polynya (bahasa Rusia untuk open water) itu tampaknya merupakan hasil dari badai dan garam, menurut penelitian terbaru sebagaimana dilansir dari List Verse pada Rabu (12/6/2019).
Â
Advertisement
Baca Juga
Polynya telah mendapatkan banyak perhatian belakangan ini karena dua yang sangat besar diketahui keberadaannya di Laut Weddell pada 2016 dan 2017. Perairan terbuka itu membentang lebih dari 115.097 mil persegi (298.100 kilometer persegi), menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada bulan April di jurnal Geophysical Research Letters.
Sekarang, pandangan yang paling komprehensif tentang kondisi lautan selama pembentukan polynya mengungkap, bentangan perairan terbuka ini tumbuh karena variasi iklim terutama cuaca buruk. Polynya juga melepaskan banyak panas laut ke atmosfer.
"Ini dapat mengubah pola cuaca di sekitar Antartika," kata pemimpin studi Ethan Campbell, seorang mahasiswa doktoral dalam ilmu kelautan di University of Washington, kepada Live Science. "Mungkin lebih jauh."
Peranan Badai dalam Pembentukan Polynya
Para peneliti sudah menduga bahwa badai memiliki beberapa peran dalam penciptaan polynya selama beberapa tahun terakhir. Sebuah makalah yang diterbitkan pada bulan April oleh para ilmuwan dalam Journal of Geophysical Research: Atmospheres menunjuk pada badai yang sangat ganas dengan kecepatan angin hingga 72 mil per jam (117 kilometer per jam) pada tahun 2017.
"Jika itu hanya badai, kita akan melihat polynya sepanjang waktu, tetapi kita tidak," katanya.
Sebaliknya, polynya besar relatif jarang. Ada tiga lubang besar pada tahun 1974, 1975 dan 1976, tetapi tidak ada yang signifikan lagi sampai 2016.
Â
Advertisement
Dibantu Dua Robot
Campbell dan timnya mengambil data dari dua robot berukuran manusia yang mengapung di Laut Weddell oleh Proyek Pemantauan dan Pemodelan dan Pemodelan Iklim dan Karbon Laut (SOCCOM) yang didanai National Science Foundation.Â
Robot itu mengapung di arus sekitar satu mil di bawah permukaan laut, kata Campbell, mengumpulkan data tentang suhu air, salinitas, dan kandungan karbon.
Untuk tujuan perbandingan, para peneliti juga menggunakan pengamatan sepanjang tahun dari kapal penelitian Antartika untuk mengumpulkan data.