Liputan6.com, Jakarta - Sebuah objek berpendar biru terang terlihat di langit oleh NASA, seperti cincin api. Tetapi, pada kenyataannya, pusaran awan yang berada di atas Kutub Utara dan Greenland itu sebenarnya adalah es. Materialnya berasal dari debu meteor yang hancur.
Kumparan mega tersebut dijuluki "awan noctilucent" atau NCL karena ini hanya muncul setelah matahari terbenam. Biru dan tipis, helai-helai awan sirus tersebut terbentuk tinggi di atmosfer Bumi pada musim semi dan musim panas, ketika atmosfer atas mulai dingin dan atmosfer bawah menghangat.
Baca Juga
Di sana, kristal es melayang sekitar 50 mil (80 kilometer) di atas permukaan Bumi menuju partikel debu kecil dari meteorit yang hancur dan sumber angin lainnya, lalu mengembun menjadi awan berbentuk seperti pita.
Advertisement
Ini adalah awan tertinggi di langit, menurut American Geophysical Union, sehingga bercahaya warna biru, bahkan setelah matahari tampaknya telah melewati bawah cakrawala di permukaan tanah.
Biasanya, awan seperti ini hanya terlihat di garis lintang tinggi pada bulan-bulan yang hangat, demikian seperti dikutip dari Live Science, Selasa (2/7/2019).
Awan yang juga disebut sebagai "awan hantu" tersebut diambil oleh Aeronomy of Ice in the Mesosphere (AIM) NASA, sebuah satelit yang mengukur jumlah sinar matahari yang dipantulkan ke ruang angkasa oleh awan-awan atmosfer tinggi, yang muncul di atas Greenland pada 12 Juni 2019.
Namun, menurut Earth Observatory milik NASA, awan noctilucent seperti ini telah merambat semakin jauh ke selatan dalam kurun waktu akhir-akhir ini.
Saat senja pada 8 Juni 2019, sederet awan noctilucent terlihat di 10 negara bagian di Amerika Serikat, termasuk Oregon, Minnesota, Michigan, dan Nevada.
Awan yang merayap ke selatan itu tampaknya menjadi bagian dari tren yang semakin menonjol setiap tahun, selama lebih dari satu dekade.
"Sejak peluncuran AIM pada 2007, para peneliti telah menemukan bahwa awan noctilucent membentang ke garis lintang yang lebih rendah dengan frekuensi yang lebih besar," tulis redaktur pelaksana Earth Observatory, Michael Carlowicz, dalam unggahan di blognya.
"Ada beberapa bukti bahwa ini adalah hasil dari perubahan atmosfer, termasuk lebih banyak uap air, karena perubahan iklim," lanjut Carlowicz.
Sekilas Tentang Awan Hantu
Awan langka dan misterius yang begitu terang, yang hanya dapat dilihat pada malam hari, telah membingungkan banyak orang sejak pertama kali diamati pada lebih dari seabad lalu, tetapi para ilmuwan kini telah menemukan bahan kosmik inti untuk awan-awan yang bersinar ini: "asap" dari meteor yang terbakar di atmosfer Bumi.
Awan biru-putih yang bercahaya di langit senja disebut awan noctilucent atau NLC. Mereka biasanya tercipta sekitar 50 hingga 53 mil (80 dan 85 kilometer) di atas tanah di atmosfer Bumi, sehingga mereka memantulkan cahaya, bahkan setelah matahari menyelinap di bawah cakrawala.
Dalam sebuah studi baru, para ilmuwan menemukan bahwa NLC memiliki mata rantai angkasa luar.
"Kami telah mendeteksi 'asap meteor' yang tertanam di awan noctilucent," kata James Russell, seorang ilmuwan atmosfer di Hampton University, Virginia. "Penemuan ini mendukung teori bahwa debu meteor adalah agen nukleasi yang membentuk NLC."
Russell adalah peneliti utama misi Aeronomy of Ice in the Mesosphere (AIM) NASA, yang dirancang untuk mempelajari awan di tepi ruang angkasa di wilayah kutub Bumi.
"Menggunakan Solar Occultation for Ice Experiment (SOFIE) dari AI , kami menemukan bahwa sekitar 3% dari setiap kristal es dalam awan noctilucent adalah meteoritik," kata pemimpin studi Mark Hervig, dari perusahaan dirgantara GATS Inc., dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Asap Meteor
Tata Surya bagian dalam penuh dengan meteoroid, mulai dari bongkahan batu besar hingga bintik debu mikroskopis. Saat Bumi bergerak di sepanjang orbitnya, planet kita mengambil material tersebut.
Ketika meteoroid menghantam atmosfer Bumi dan terbakar, mereka meninggalkan awan partikel kecil yang melayang sekitar 70 hingga 100 kilometer di atas tanah.
Para peneliti mengatakan, bukan kebetulan bahwa awan noctilucent terbentuk di wilayah ini dari asap meteor. Partikel-partikel berdebu menempel pada molekul air yang berkumpul menjadi kristal es dalam proses yang dikenal sebagai "nukleasi."
Nukleasi adalah peristiwa umum yang terjadi di atmosfer Bumi yang lebih rendah, di mana debu dapat bertindak sebagai titik pengumpulan serupa untuk kristal es, tetesan air, dan kepingan salju yang muncul di sekitarnya.
Para ilmuwan secara khusus tertarik untuk mempelajari zat-zat nukleasi dari awan noctilucent, karena mereka terbentuk di tepi ruang angkasa di mana tekanan udara semakin mendekati keadaan hampa. Dalam kondisi ini, dua molekul air tidak biasa bertemu, apalagi saling menempel.
Tetapi asap meteor dapat melakukan hal yang sebaliknya. Berdasarkan data AIM, para peneliti menentukan bahwa kristal es dapat tumbuh di sekitar debu meteor dengan ukuran sekitar 20 hingga 70 nanometer.
Lebih jelasnya, awan cirrus ditemukan di atmosfer yang lebih rendah, di mana terdapat air dalam jumlah berlimpah, mengandung kristal yang 10 hingga 100 kali lebih besar, menurut pejabat NASA.
Kristal-kristal es kecil ini juga menjelaskan bagaimana awan noctilucent memiliki warna biru menyala. Partikel kecil biasanya menyebarkan panjang gelombang pendek cahaya (biru) lebih dari panjang gelombang panjang cahaya (merah).
"Jadi dari sudut pandang kita di tanah, ketika seberkas sinar matahari menghantam awan noctilucent, warna biru yang tersebar adalah apa yang kita lihat," kata NASA.