Liputan6.com, Khartoum - Para jenderal yang berkuasa di Sudan serta koalisi masyarakat sipil telah mencapai kesepakatan. Mereka akan berbagi kekuasaan selama masa transisi hingga diadakannya pemilihan. Kesepakatan ini telah memecahkan kebuntuan politik yang berlangsung selama berminggu-minggu sejak digulingkannya mantan Presiden Omar al-Bashir pada April.
Lembaga baru pun terbentuk, yakni dewan gabungan militer-sipil yang akan memerintah negara secara bergilir untuk jangan waktu tiga tahun atau lebih, lapor Al Jazeera dikutip Sabtu (6/7/2019). Hal itu dikatakan oleh Mohamed Hassan Lebatt, mediator Uni Afrika (AU) pada konferensi pers pada hari Jumat.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan perjanjian tersebut, lima kursi akan diberikan kepada militer dan lima kursi untuk warga sipil. Adapun kursi tambahan akan diberikan kepada warga sipil yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Kemenangan Sipil?
Warga sipil Sudan patut berbahagia, karena akhirnya Dewan Transisi Militer (TMC) juga sepakat untuk meluncurkan "investigasi yang transparan dan independen" terkait kekerasan yang terjadi pada 3 Juni. Saat itu, banyak demonstran pro-demokrasi tewas dalam tindak keras militer, dengan petugas medis oposisi menyebut 100 orang meninggal. Para tentara kala itu membubarkan paksa massa aksi yang melakukan sit in protest (unjuk rasa dengan cara duduk).
Wakil kepala TMC Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang secara luas dikenal sebagai Hemeti, menyambut kesepakatan yang tercapai pada Jumat itu. Ia menyebutnya "inklusif" - meski sejatinya, sipil adalah satu-satunya entitas yang berhak berpolitik dalam prinsip demokrasi.
"Kami ingin meyakinkan semua kekuatan politik, gerakan bersenjata dan semua orang yang berpartisipasi dalam perubahan dari pria dan wanita muda ... bahwa perjanjian ini akan komprehensif dan tidak akan mengecualikan siapa pun," tambah Dagalo, yang juga memimpin unit paramiliter yang ditakuti bernama Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Pasukan itu dituduh oleh para demonstran telah membubarkan paksa unjuk rasa di luar markas militer.
Sementara Omar Eldigair, seorang pemimpin Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) yang merupakan bagian dari aliansi oposisi, mengatakan perjanjian itu "membuka jalan dibentuknya lembaga-lembaga transisi".
"Dan kami berharap ini adalah awal dari era baru," lanjut Eldigair.
Dalam sebuah pernyataan pada Jumat pagi, Asosiasi Profesional Sudan (SPA), yang merupakan bagian dari FFC, mengatakan periode transisi akan berlangsung tiga tahun tiga bulan.
"Hari ini, revolusi kami telah menang dan kemenangan kami bersinar," kata SPA dalam pernyataannya, yang diposting di halaman Facebook-nya.
Simak pula video pilihan berikut:
Memimpin secara Bergilir
Militer akan memimpin dewan kedaulatan selama 21 bulan pertama, dan seorang warga sipil akan mengambil alih selama 18 bulan yang tersisa. FFC akan menunjuk kabinet menteri, SPA mengatakan, menambahkan bahwa dewan legislatif akan dibentuk setelah penunjukan dewan kedaulatan dan kabinet.
Kedua pihak juga sepakat untuk membentuk komite pengacara, termasuk ahli hukum dari AU, untuk menyelesaikan perjanjian dalam waktu 48 jam.
Khaled Omar, seorang pemimpin protes, mengatakan kepada wartawan di Khartoum Jumat malam bahwa kesepakatan itu hanya "langkah pertama".
"Pemindahan kekuasaan ke otoritas transisi sipil ... berarti bahwa revolusi telah meletakkan kakinya (awal) untuk mencapai tujuan-tujuan utamanya," kata Omar.
Advertisement
Berkat Mediasi
Kesepakatan itu terjadi setelah dua hari perundingan menyusul gagalnya putaran negosiasi sebelumnya. Konflik kepentingan antara sipil dan jenderal-jenderal militer itu telah menyebabkan jatuhnya banyak korban, dengan puncaknya 3 Juni lalu.
Petugas medis oposisi mengatakan lebih dari 100 orang telah tewas dalam pembubaran dan kekerasan berikutnya pada 3 Juni. Sementara para pejabat menyebutkan jumlah korban tewas 62 orang.
TMC dan koalisi oposisi telah berselisih selama berminggu-minggu mengenai bagaimana bentuk pemerintahan transisi Sudan, setelah militer menggulingkan al-Bashir pada 11 April.
Para pengunjuk rasa tetap beraksi di jalan-jalan menyusul penggulingan al-Bashir, takut para jenderal berniat untuk mempertahankan kekuasaan atau mempertahankan suatu bentuk kekuasaan otoriter.
Uni Afrika dan negara tetangganya Ethiopia meningkatkan upaya mediasi untuk mengakhiri krisis dan negosiasi dimulai lagi pekan ini, hingga kesepakatan tercapai.