Liputan6.com, Canberra - Citra satelit yang dirilis dalam laporan teranyar dari organisasi HAM Australia menggambarkan bahwa desa dan permukiman etnis Rohingya di Myanmar masih mengalami penghancuran hingga saat ini.
Penghancuran kontinu rumah dan desa di Negara Bagian Rakhine juga memperkecil kemungkinan terhadap proses repatriasi pengungsi Rohingya dari kamp pengungsian Bangladesh secara aman, sukarela dan bermartabat --lanjut laporan dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI).
Sekitar lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya berada di pengungsian Cox's Bazaar, Bangladesh saat ini, menurut data-data PBB. Mereka melarikan diri dari kampanye kekerasan pada Agustus 2017 yang dilakukan pasukan keamanan kepada etnis minoritas tersebut.
Advertisement
"Kami tidak menemukan bukti persiapan yang luas bagi para pengungsi Rohingya untuk kembali ke kondisi yang aman dan bermartabat," kata laporan itu, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (25/7/2019).
Baca Juga
Para peneliti ASPI mengidentifikasi setidaknya 58 permukiman Rohingya yang menjadi sasaran pembongkaran baru pada tahun 2018.
Sementara citra satelit juga menunjukkan pembongkaran desa-desa Rohingya lainnya pada 2019, sebagai bagian dari apa yang tampaknya menjadi kampanye oleh militer Myanmar untuk memastikan tidak ada desa-desa layak huni bagi Rohingya untuk kembali.
"Yang paling mengejutkan saya adalah skala pembakaran yang terus berlanjut setelah 2017," kata Nathan Ruser, salah satu penulis laporan.
"Bukan hanya desa-desa yang tersebar atau rumah yang sesekali dibakar pada tahun 2018 dan 2019, militer melewati seluruh bentang alam dan membakar setiap desa. Jadi, masih ada penghancuran yang luas dan berkelanjutan di daerah permukiman Rohingya."
Ruser menambahkan: "Ini secara khusus memotong pesan dari pemerintah Myanmar bahwa mereka bersedia untuk melanjutkan proses repatriasi."
Sementara itu, lebih dari 320 pemukiman Rohingya yang dihancurkan dalam kekerasan tidak menunjukkan tanda-tanda rekonstruksi, meskipun ada klaim bahwa pengungsi yang dipulangkan akan diizinkan untuk kembali ke desa asal mereka.
Data dan citra satelit, kata laporan itu, "meragukan kredibilitas klaim bahwa pengungsi akan diizinkan untuk kembali ke rumah mereka".
"Sebagai gantinya, kami telah menemukan penghancuran berkelanjutan dari pemukiman tambahan dan pembangunan kamp-kamp dan pangkalan-pangkalan militer yang sangat aman yang telah dibangun, dibentengi, atau diperluas di lokasi-lokasi pemukiman Rohingya yang dihancurkan."
Simak video pilihan berikut:
Tak Ada Bukti Persiapan Repatriasi yang Aman
Sementara persyaratan yang ditetapkan oleh PBB untuk kembalinya Rohingya adalah bahwa kembalinya mereka harus "sukarela, aman, bermartabat dan berkelanjutan", yang akan mencakup kebebasan bergerak.
Namun, laporan ASPI menyatakan kekhawatiran bahwa setiap pengungsi yang kembali akan ditempatkan di kamp atau daerah yang sangat termiliterisasi.
Daripada membangun kembali desa Rohingya, gambar satelit menunjukkan bahwa fokus pembangunan di Rakhine adalah membangun atau memperbesar setidaknya 45 kamp, yang sebelumnya dikhawatirkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia tidak lebih dari "penjara terbuka". Selain itu, enam fasilitas militer telah dibangun atau diperluas di bekas permukiman Rohingya.
Sementara beberapa struktur dimaksudkan untuk menampung 128.000 pengungsi Rohingya yang terlantar secara internal yang sudah tinggal di kamp-kamp kumuh di Rakhine, "sangat mungkin bahwa mayoritas kamp-kamp baru ini, terutama yang sedang dibangun, dirancang untuk pengungsi yang kembali," kata Nathan Ruser dari ASPI.
Meskipun demikian, komunitas internasional telah bersikeras bahwa kemajuan sedang dilakukan untuk memulai repatriasi, terutama karena kondisi di Cox's Bazar telah memburuk dalam beberapa bulan terakhir dengan banjir hujan muson yang merusak dan seringkali fatal.
Pemerintah Myanmar dan Bangladesh telah menandatangani pakta yang setuju untuk bekerja bersama menuju repatriasi dengan tenggat waktu pada tahun 2020 mendatang.
Advertisement