Sebuah Kasus Pembunuhan yang Memicu Rangkaian Demonstrasi di Hong Kong

Ketika sebuah kasus pembunuhan menjadi pemicu rangkaian demonstrasi terbesar dalam sejarah Hong Kong.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Agu 2019, 18:35 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2019, 18:35 WIB
Protes Kebrutalan Polisi, Perawat di Hong Kong Unjuk Rasa
Perawat dan staf medis mengenakan penutup mata dan masker saat unjuk rasa di sebuah rumah sakit di Hong Kong (13/8/2019). Mereka memprotes kebrutalan polisi yang menurut mereka terjadi selama demonstrasi anti-pemerintah berlangsung pada akhir pekan. (AP Photo/Kin Cheung)

Liputan6.com, Hong Kong - Sebelum protes massal di jalan, gas air mata dan bentrokan dengan polisi; sebelum pemerintah mengeluarkan semua peraturan yang dapat mengancam status khusus Hong Kong di Tiongkok, dan kemudian secara tiba-tiba menundanya; seorang perempuan muda hamil dan kekasihnya dari Hong Kong pergi berlibur romantis ke Taiwan.

Namun, Poon Hiu-wing (20) tidak pernah kembali ke Hong Kong dari perjalanan liburan Hari Valentine tahun lalu. Pacarnya, Chan Tong-kai (19), pulang sendirian tanpa sang kekasih.

Dan setelah itu, sebuah penyelidikan atas kasus pembunuhan perempuan tersebut mencuat.

Chan Tong-kai kemudian mengaku kepada polisi Hong Kong bahwa dia telah mencekik kekasihnya hingga tewas, memasukkan ke dalam koper dan membuang jasad Poon Hiu-wing di semak-semak dekat stasiun kereta bawah tanah di Taipei, ibu kota Taiwan.

Awalnya itu hanya cerita kriminal lokal, marak muncul di tabloid-tabloid yang membingkainya sebagai kasus kekerasan dalam berpacaran para muda-mudi.

Namun tak dinyana, kasus pembunuhan tersebut menjadi pemicu rangkaian demonstrasi terbesar dalam sejarah Hong Kong.

Simak video pilihan berikut:

Wacana Ekstradisi

Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong terpilih
Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong terpilih (Kin Cheung/AP)

Pada Februari 2019, hampir setahun setelah penangkapan Chan Tong-kai, pemerintah Hong Kong menjadikan kasus tersebut sebagai dasar untuk mengusulkan undang-undang yang akan memungkinkan mereka mengekstradisi tersangka kriminal ke Taiwan dan tempat-tempat lain yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi --termasuk salah satunya, China daratan.

(Baca juga mengenai pembeda antara Hong Kong dengan China, serta fakta lainnya seputar demonstrasi tersebut)

Ekstradisi Chan Tong-kai didasari pada alasan bahwa kasus tersebut terjadi di tanah Taiwan, maka, pelaku harus dihukum berdasarkan hukum pidana di sana.

Kasus pembunuhan itu kemudian dijadikan alat kampanye yang tergesa-gesa oleh pemerintah untuk mendorong RUU Ekstradisi atau bernama resmi The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019.

Kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dan atasannya dalam kepemimpinan China tampak yakin mereka memiliki strategi untuk meloloskan undang-undang. Lam juga menyebut bahwa RUU Ekstradisi akan membantu wilayah semi-otonomi China untuk menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasionalnya dalam hal mencegah Hong Kong sebagai lokasi safe haven para buron kriminal internasional.

Akan tetapi, mereka meremehkan ketakutan dan kecurigaan publik terhadap Beijing, memprovokasi protes terbesar Hong Kong dalam beberapa dekade sementara juga kembali membangkitkan kelompok pro-demokrasi yang sempat senyap di wilayah itu sejak Protes Payung 2014.

Para pengkritik RUU dan kelompok pro-demokrasi melihat produk hukum itu sebagai bagian dari erosi kebebasan sipil mereka --yang sejak lama dipandang sebagai keuntungan dan pembeda utama Hong Kong dari daratan Tiongkok.

Lebih lanjut, para pengkritik mengatakan bahwa undang-undang akan menempatkan penduduk Hong Kong dalam risiko terperangkap dalam sistem peradilan China yang mereka nilai "keruh", di mana para terdakwa dapat menghadapi proses hukum yang tidak adil dalam suatu sistem di mana sebagian besar pengadilan pidana berakhir dengan vonis hukuman.

Hal itu juga memacu kritik bahwa sistem peradilan Tiongkok tidak akan menjamin hak yang sama bagi para terdakwa layaknya di Hong Kong.

Lam akhirnya menyerah pada tekanan publik, menunda undang-undang tersebut "hingga waktu yang tidak ditentukan" namun menolak tuntutan massa yang ingin agar RUU tamat sepenuhnya dan pengunduran diri sang kepala eksekutif.

Respons Taiwan

Ribuan PNS Hong Kong Ikut Demo Tolak RUU Ekstradisi
Ribuan pegawai negeri sipil (PNS) mengikuti unjuk rasa menolak RUU Ekstradisi di Hong Kong, Jumat (2/8/2019). Mereka mendukung gerakan demonstran pro demokrasi. (ANTHONY WALLACE/AFP)

Tak seperti Hong Kong yang berstatus wilayah otonomi khusus China, Taiwan mendeklarasikan sebagai negara berdaulat dengan pemerintahan sendiri yang terlepas dari Beijing. Hal ini memiliki embrio sejak perang saudara antara Kuomintang dengan Partai Komunis China antara 1927 - 1949.

Kuomintang kalah, melarikan diri ke Pulau Formosa yang terpisah dari China daratan lewat sebuah selat. Kala itu, Kuomintang masih mendeklarasikan diri sebagai pemimpin sah seluruh wilayah Tiongkok.

Namun, urgensi perang terbuka dengan Partai Komunis China semakin meluntur seiring tahun, hingga akhirnya Kuomintang membentuk pemerintahan negara Republik China (RoC) atau Taiwan dewasa ini.

Sementara Partai Komunis China yang keluar sebagai pemenang dalam perang, memerintah Tiongkok daratan dengan beribukota di Beijing --atau yang kita kenal sebagai Republik Rakyat China (PRC).

Kedua belah pihak saling melempar penolakan eksistensi masing-masing sebagai pemerintahan seluruh wilayah Tiongkok, dan, eskalasi ketegangan antara kedua negara masih terjadi hingga saat ini.

Oleh karenanya, pejabat Taiwan mengatakan pada Mei 2019 bahwa mereka tidak akan mencari ekstradisi Chan Tong-kai, pelaku pembunuhan Poon Hiu-wing di Taiwan, berdasarkan RUU yang diusulkan oleh Hong Kong.

Penolakan mereka menggemakan apa yang diserukan oleh warga Hong Kong, bahwa RUU tersebut berpotensi memerangkap wilayah yang tengah bersengketa atas hak kedaulatan Pulau Formosa dengan Beijing dalam sistem peradilan China.

Tetapi, China dan Taiwan memiliki rekam jejak saling menransfer tersangka pidana ke masing-masing wilayah bersangkutan, meski keduanya tak memiliki regulasi konkret serta tidak saling mengakui satu sama lain sebagai sebuah negara.

Bercermin pada hal itu, beberapa anggota parlemen Hong Kong percaya bahwa mereka harus membuat pengaturan serupa dengan Taiwan.

Akan tetapi, melakukan hal itu dengan Taiwan dan bukan dengan China daratan akan menjadi tantangan politik.

Julian Ku, seorang profesor hukum di Universitas Hofstra, mengatakan itu berarti mengakui bahwa pengadilan Taiwan lebih dapat dipercaya dan adil bagi para terdakwa kriminal daripada China.

"Meskipun ini tidak diragukan lagi benar oleh hampir setiap pengukuran, akan sangat memalukan bagi pemerintah Hong Kong untuk mengakui kebenaran itu," katanya seperti dikutip dari The New York Times.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya