Kisah Korban Penculikan ISIS, Alami Kekerasan Seksual hingga Dijual 20 Kali

Pada usia 17 tahun, Hayfa Adi diculik oleh militan ISIS di Irak utara. Ia ditahan selama lebih dari dua tahun dan berulang kali diperkosa, dipukuli dan diperdagangkan seperti ternak.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Sep 2019, 08:01 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2019, 08:01 WIB
Ilustrasi wanita pengikut ISIS di Singapura. (AFP)
Ilustrasi wanita pengikut ISIS di Singapura. (AFP)

Liputan6.com, Canberra - Pada usia 17 tahun, Hayfa Adi diculik oleh militan ISIS di Irak utara, ditahan selama lebih dari dua tahun dan berulang kali diperkosa, dipukuli dan diperdagangkan seperti ternak.

"Mereka membeli kami seolah-olah kami adalah domba. Persis seperti domba," cerita Hayfa seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (11/9/2019).

Yang lebih penting bagi ibu muda ini, ketika ia membangun kembali kehidupan keluarganya di Queensland, Australia, adalah mencari tahu apa yang terjadi pada suaminya, Ghazi Lalo.

Tak mengetahui apa-apa adalah hal yang "sangat sulit, sangat sulit bagi kami semua", katanya.

Putra tertua pasangan itu masih balita ketika Ghazi menghilang.

"Dia ingat ayahnya dan terus bertanya, 'Bu, kapan ayah kembali?'," tutur mantan korban ISIS itu.

Bungsu mereka tak pernah mengenal ayahnya. Ia dilahirkan di kamp penangkapan ISIS.

"Ia mirip seperti ayahnya - matanya, mulutnya. Ketika saya melihatnya, saya merasa seperti suami saya ada bersama saya," katanya.

"Kami benar-benar harus menemukan cara untuk bertahan hidup."

Simak video pilihan berikut:

Pertemuan Terakhir

Ilustrasi ISIS
Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Abdillah)

Sudah lima tahun berlalu sejak keluarga Hayfa hancur akibat tindakan genosida ISIS terhadap orang-orang Yazidi di Irak utara dan Suriah.

Tujuh ribu anggota etnis minoritas dan agama ini terbunuh sementara 3.000 lainnya hilang.

Saat penangkapan, Hayfa, yang sedang hamil tua, berada di rumahnya di desa Kocho bersama Ghazi dan putra sulung mereka.

"Saya sudah membuat makan siang dan kami siap makan," katanya.

"Sekitar tengah hari, ada yang mengetuk pintu."

"Paman suami saya berlari ke arah kami sambil berkata, 'ISIS ada di Kocho'."

Kelompok teroris itu menggiring 1.200 penduduk kota ke sekolah setempat.

"Mereka memerintahkan kami untuk masuk Islam. Tak ada yang masuk Islam. Setelah itu mereka membawa para pria. Kami tak tahu ke mana mereka membawa mereka," katanya.

Saksi mata mengatakan kepada PBB bahwa para pria itu dibawa pergi dan ditembak.

Terlepas dari laporan itu, Hayfa terus yakin pada harapannya "bahwa ia akan melihat suaminya dan kembali bahagia".

Ilustrasi militan ISIS (AFP)

Tetapi pada suatu hari di bulan Agustus 2014, mimpi buruk Hayfa dan para perempuan Yazidi lainnya justru baru dimulai.

Selama lebih dari dua tahun, Hayfa diperdagangkan di antara militan ISIS di Irak dan Suriah, dibeli dan dijual 'sekitar 20 kali'.

"Banyak orang membawa saya, menyiksa saya, memukul saya," katanya.

Ia berontak terhadap para penawannya kapan saja ia bisa, menentang perintah mereka untuk membuka pakaian bagi calon pembeli.

"Saya menolak untuk menunjukkan tubuh saya kepada mereka," katanya.

"Kami harus menunjukkan tangan kami. (Berkulit) putih dianggap baik. Dan mereka akan melihat apakah rambut kami indah dan panjang."

Hayfa berulang kali diperkosa, tetapi ketakutan terbesarnya adalah kehilangan anak-anaknya.

"Mereka mengambil putra tertua saya dari saya selama satu bulan karena saya tak mau tidur dengan penculik saya," katanya.

"Mereka mengikat tangan dan kaki saya, menutup mata saya dan menyumbat mulut saya. Mereka memukul saya dan membuat saya terkunci di sebuah ruangan."

"Setelah itu saya membiarkan mereka tidur bersama saya supaya saya bisa mendapatkan anak saya kembali."

Merasa Nyaman di Tempat Baru

Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)

Hayfa dan putra-putranya akhirnya melarikan diri dari ISIS ketika mertuanya membayar seorang penyelundup manusia untuk membeli kebebasannya.

Mereka tiba di Toowoomba, Queensland dengan visa kemanusiaan tahun lalu, bergabung dengan komunitas Yazidi di sana yang telah mencapai lebih dari 800 orang.

Dua anaknya belajar di taman kanak-kanak dan sekolah setempat, sementara Hayfa belajar bahasa Inggris di sekolah kejuruan.

"Saya sangat nyaman di sini bersama anak-anak saya," katanya.

"Yang paling penting adalah kehidupan anak-anak saya, bukan hidup saya. Dan tentu saja jika suami saya kembali, hidup saya akan benar-benar indah."

Tetapi, menurut pekerja Palang Merah Australia -Sue Callender -yang berusaha menemukan nasib Ghazi, kemungkinan itu kecil.

Sue adalah bagian dari Tim Penelusuran lembaga kemanusiaan itu, yang bekerja untuk menghubungkan kembali orang-orang yang telah dipisahkan oleh konflik, migrasi atau bencana.

"Ghazi hilang di sebuah daerah bernama Kocho dan kami tahu bahwa banyak Yazidi ditangkap di Kocho dan juga banyak yang dieksekusi dengan mengerikan," katanya.

"Kami hanya berharap, demi Hayfa, dia ditemukan hidup-hidup, tapi itu mungkin tak terjadi."

Lima tahun setelah -apa yang sekarang dikenal sebagai -Pembantaian Kocho, penggalian 17 tempat yang diduga kuburan massal di sekitar kota itu telah dimulai.

Ada kemungkinan nasib Ghazi bisa digali dengan bantuan DNA putra-putranya.

"Perasaan saya campur aduk," kata Hayfa.

"Saya sangat takut suami saya ada di antara mereka yang mati, bahwa semua pria mati. Hati saya pilu."

"Seluruh dunia melihat apa yang terjadi pada para perempuan, para perempuan Yazidi. Apa yang terjadi pada para pria? Mati?."

"ISIS menghancurkan rumah kami dan mengambil martabat kami. Kami benar-benar lelah, itu sebabnya saya ingin menceritakan kisah saya, sehingga mereka tak akan melakukan ini lagi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya