Kisah Brutalitas di Kamp Eks Simpatisan ISIS di Suriah, WN Indonesia Jadi Korban

Kapasitas berlebih, serta bercampurnya orang dengan beragam asal, karakter, dan latar belakang, telah memicu terjadinya 'brutalitas' di antara penghuni kamp eks-simpatisan ISIS di Suriah.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Sep 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2019, 20:10 WIB
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)

Liputan6.com, Al-Hol - Seorang perempuan di kamp eks-simpatisan ISIS di Suriah 'kehilangan' putrinya yang masih remaja tahun ini.

Ia mengaku, si buah hati (14) tewas akibat celaka karena jatuh tergelincir. Saking parahnya, pertolongan pertama di lokasi kejadian tak mampu menyelamatkan nyawanya.

Namun, visum pada jenazah korban menceritakan kisah yang berbeda. Leher gadis itu patah di tiga tempat, kata dokter, dan dia meninggal dengan mata terbuka, menggigit bibirnya dan berjuang untuk bernafas. Foto-foto dan catatan medis menunjukkan dia telah dipukuli, kemudian dicekik.

Itu pembunuhan, kata dokter di kamp. Bukan kecelakaan akibat jatuh.

Remaja itu, dan ibunya, berasal dari Azerbaijan. Selama beberapa tahun terakhir, mereka hidup di bawah 'kekhalifahan' ISIS di Suriah.

Namun, usai kekalahan teritorial ISIS di Levant (nama kuno Suriah), para simpatisan telah terusir dari wilayah yang dulu dikuasai Daesh. Mereka kini dilaporkan 'ditahan' dalam kamp-kamp pengungsian khusus eks-simpatisan ISIS di al-Hol (al-Hawl), Suriah utara yang dikuasai kelompok paramiliter Kurdi (Syrian Democratic Forces atau SDF) non-pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

Namun, kapasitas berlebih, serta bercampurnya orang dengan beragam asal, karakter, dan latar belakang, telah memicu terjadinya 'brutalitas' di antara penghuni, menurut laporan sejumlah badan kemanusiaan dan kelompok-kelompok pemantau aktivitas simpatisan ISIS, seperti dikutip dari The Washington Post, Kamis (5/9/2019).

Soal kematian remaja perempuan Azerbaijan itu, laporan menyebut bahwa ia "dipukuli oleh oknum sekaligus penghuni, karena mempertimbangkan untuk tak lagi mengenakan niqab," the Post melaporkan.

Seorang perempuan hamil bernama "Sodermini" (Sudarmini) yang diduga berasal dari Indonesia juga dilaporkan tewas di kamp yang sama --menurut laporan kantor berita Hawar pada Rabu 31 Juli 2019.

Menurut Hawar, korban terbunuh oleh "teman-teman satu tenda."

Setelah pemeriksaan medis, dokter forensik di rumah sakit itu melaporkan bahwa "Sodermini" (Sudarmini) meninggal dalam kondisi sedang hamil enam bulan, Hawar melaporkan.

Laporan forensik juga menyebutkan bahwa dia dipukuli dan disiksa yang ditandai dengan adanya memar di tubuh, dan Sudarmini dinyatakan meregang nyawa akibat kekerasan.

(Baca tanggapan Kemlu RI soal kematian Sodermini di sini)

The Post menambahkan laporan tentang kasus itu pada September 2019, menjelaskan bahwa "perempuan Indonesia itu dibunuh oleh penghuni kamp setelah terlihat berbicara dengan organisasi media Barat."

"Itu terjadi di malam hari dan diam-diam, tetapi tidak ada yang memberi tahu siapa yang melakukannya," kata seorang anggota senior departemen intelijen kamp.

"Mereka takut pada satu sama lain di sini."

Simak pula video pilihan berikut:

Radikalisasi Masih Berlangsung di Dalam Kamp

Ilustrasi wanita pengikut ISIS di Singapura. (AFP)
Ilustrasi wanita pengikut ISIS. (AFP)

Setengah tahun setelah kekalahan teritorial ISIS di Suriah, hamparan tenda yang luas di kamp al-Hol menjadi kuali radikalisasi. Sekitar 20.000 wanita dan 50.000 anak-anak yang pernah hidup di bawah kekhalifahan ditahan dalam kondisi yang mengerikan di kamp, ​​yang dioperasikan dan dijaga oleh 400 tentara Kurdi Suriah.

Al-Hol merupakan kamp khusus perempuan, sementara kamp laki-laki terpisah dari sana.

Namun, banyak laporan yang menyebut bahwa mereka di al-Hol menerapkan kembali pengetatan kelompok militan, memghukum penghuni yang dituduh tidak beriman dengan pemukulan dan kebrutalan lainnya dan memperluas apa yang oleh penduduk dan otoritas kamp disebut sebagai "rezim teror."

Beberapa penjaga ditikam oleh perempuan yang menyembunyikan pisau dapur di lipatan jubah mereka. Perempuan diancam karena berhubungan dengan pengacara yang mungkin mengeluarkan mereka dari kamp atau karena berbicara dengan orang luar lainnya.

Empat belas orang dengan pengetahuan langsung tentang kondisi kamp yang diwawancarai oleh the Post menjelaskan tentang adanya "kemarahan yang meningkat, kekerasan dan fanatisme yang tumbuh di tengah kemelaratan kamp."

Pejabat keamanan Kurdi, yang berafiliasi dengan Pasukan Demokratik Sekutu (SDF) yang beraliansi dengan AS, mengatakan mereka memiliki pasukan untuk menjaga fasilitas itu. Tapi, mereka pun kewalahan.

Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Sangaji)

"Kita bisa menahan para wanita, tetapi kita tidak bisa mengendalikan ideologi mereka," kata pejabat intelijen itu. "Ada banyak tipe orang di sini, tetapi beberapa dari mereka adalah putri-putri ISIS. Ada ruang di dalam kamp yang seperti akademi untuk mereka sekarang."

Dalam sebuah laporan bulan lalu, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, mengutip informasi dari koalisi pimpinan AS melawan ISIS, memperingatkan bahwa ketidakmampuan paramiliter Kurdi Suriah (SDF) untuk memberikan lebih dari "keamanan" di kamp telah memungkinkan untuk penyebaran "ideologi ISIS" yang tidak terbantahkan di sana.

Dalam sebuah video yang diposting online pada bulan Juli, beberapa wanita, yang sepenuhnya berjilbab dan memegang spanduk hitam-putih khas ISIS, mengatakan bahwa mereka mengirim pesan dari al-Hol. "Saudara," desak seseorang, "ayo menyalakan api jihad dan bebaskan kita dari penjara-penjara ini."

Dan kemudian, berbicara kepada "musuh-musuh Allah," katanya, "Kalian pikir kalian membuat kami dipenjara di kemah busukmu. Tapi kami adalah bom waktu. Tunggu dan lihat saja."

Anak-Anak Terpapar Radikalisasi

Anak-anak dari para eks-simpatisan ISIS di dalam kamp al-Hol, Suriah Utara dilaporkan terpapar oleh radikalisasi yang terus berlangsung di dalam fasilitas tersebut.

Di dekat salah satu gerbang kamp, ​​penjaga telah mengumpulkan senjata mainan buatan sendiri dan perlengkapan ISIS yang dijadikan mainan anak-anak.

Senjata bermain terbuat dari pipa air dan diikat erat dengan lakban. Bendera atau atribut telah diwarnai dengan detail yang apik, menyerupai panji-panji atau atribut militansi ISIS.

 

Kondisi Kamp Tetap Memprihatinkan

Ilustrasi militan ISIS (AFP)
Ilustrasi militan ISIS (AFP)

Bagaimanapun, kondisi di kamp al-Hol dilaporkan sangat menyedihkan.

Didirikan di lereng bukit yang tandus. Limbah telah bocor ke tenda, dan warga minum air dari tangki yang berisi cacing.

Banyak perempuan belum mengetahui apa yang terjadi pada suami atau anak remaja mereka ketika mereka diangkut oleh pasukan SDF yang mengalahkan 'kekhalifahan' ISIS dan sekarang memimpin berbagai kamp dan penjara.

Sejak awal tahun, ketika kamp menampung kurang dari 10.000 orang, al-Hol telah membengkak secara dramatis.

Banyak perempuan dan anak-anak dipindahkan ke kamp itu setelah kekalahan ISIS di benteng pertahanan terakhirnya, di desa Baghouz, Suriah. Kini, wilayah itu dikuasai SDF, dengan dukungan militer AS.

Penduduk di dalam kamp al-Hol sekarang dipisahkan oleh kebangsaan.

Sebagian besar penghuni merupakan orang Suriah dan Irak.

Sekitar 9.000 orang lainnya dicampur, namun masuk dalam kategori "paling radikal" dan ditempatkan di fasilitas aneks khusus.

Orang Arab, Asia (termasuk Indonesia), Afrika, dan Eropa, merupakan bagian dari penghuni kamp tersebut.

Ilustrasi cuplikan video propaganda ISIS. (Sumber Wikimedia Commons)

Para penjaga kamp memasuki zona itu dengan waspada. Akhir bulan Agustus 2019 lalu, seorang sipir disergap oleh penghuni kamp, menyebabkan patah tulang.

Seorang wanita Eropa yang ditampung di aneks bersama tiga anak menggambarkan rasa takut melebihi waktu-waktu sebelumnya --jelas seorang kerabat kepada the Post.

Ia telah berganti tenda beberapa kali setelah sekelompok wanita Tunisia dan Indonesia mulai mengancamnya setelah mengetahui bahwa pengacara keluarga sedang mencoba untuk membawanya pulang, menurut saudara perempuan Eropa tersebut.

"Mereka mengancam wanita lain yang memberikan wawancara dan menyatakan bahwa mereka tidak lagi mendukung ISIS, atau yang berusaha untuk kembali ke negara mereka," kata saudara tersebut.

Ancaman yang berkembang ini juga tidak terbatas pada al-Hol.

Pekerja bantuan kemanusiaan di kamp al-Roj yang lebih kecil, satu jam perjalanan jauhnya dari al-Hol, menggambarkan perselisihan yang sering terjadi antara warga Irak dan warga asing lainnya.

Dalam satu contoh, seorang perempuan Irak dilarang berkomunikasi dengan tetangganya setelah ia melepaskan cadar. Di tempat lain, anak-anak yang diduga militan ISIS berusaha mengubur seorang anak lelaki Irak hidup-hidup.

Ketidakpastian Bisa Diterima Pulang

Ilustrasi ISIS
Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Abdillah)

Ketika kondisi di dalam kamp memburuk, para penghuninya tetap dalam kondisi yang tidak pasti.

Beberapa perempuan di al-Hol ingin kembali ke negara asal mereka, tetapi pemerintah urung untuk mengambilnya kembali --mengkhawatirkan radikalisme dan ekstremisme berulang setibanya di tanah air atau, tidak cukup bukti untuk memenjarakan mereka di negara asal (terutama untuk mereka yang berstatus simpatisan non-militan).

SDF sendiri mengaku tidak bisa menahan seluruh penghuni kamp untuk selamanya. Tetapi baik Amerika Serikat - yang akhirnya memegang kendali di sudut Suriah ini - maupun sekutu Eropa dan Arab tidak memiliki solusi yang bisa diterapkan.

"Mengingat bahwa ISIS memiliki unit-unit perempuan dan juga mengajarkan mereka bagaimana mereka masih harus menyebarkan ide dan cita-cita kekhalifahan begitu mereka kembali ke negara asal mereka, mereka merupakan risiko serius bagi masyarakat, sehingga anak-anak mereka juga bisa," kata seorang pejabat intelijen Arab Saudi yang berbicara dalam kondisi anonimitas.

Irak juga belum mau memulangkan puluhan ribu warganya.

(Baca tanggapan Kemlu RI soal rencana pemulangan terduga WNI eks-simpatisan ISIS dari Suriah)

Di sisi lain, pemerintah-pemerintah negara berbeda sedang mengevakuasi warga negaranya dengan cepat.

Delapan warga Amerika dipulangkan dari kamp ke Amerika Serikat pada Juni. Presiden Trump telah mendesak negara-negara Eropa untuk "mengambil kembali" dan menyeret mereka ke ranah hukum.

Seorang pejabat intelijen Eropa mengatakan pendekatan itu harus "pragmatis" dan "kasus per kasus," menambahkan: "Kita harus belajar: Siapa yang menikah dengan wanita ini? Apa peran yang dia mainkan dalam ISIS? Apakah [dia] benar-benar siap untuk melepaskan ideologinya?"

Tetapi lembaga-lembaga bantuan bersikeras bahwa masyarakat internasional tidak memiliki waktu banyak dan mengutip bahaya yang ditimbulkan oleh al-Hol kepada anak-anak yang terperangkap di dalamnya.

Pekerja bantuan dari Save the Children, salah satu organisasi terbesar yang bekerja dengan anak-anak di kamp-kamp Suriah timur laut, mengatakan bahwa anak-anak itu sering menunjukkan tanda-tanda trauma mendalam. Anak laki-laki, khususnya, bisa menjadi agresif. Anak perempuan menghadapi pernikahan dini dan kekerasan seksual.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya