Mundur Setelah 13 Tahun Lebih Memimpin, AS Puji Eks Presiden Bolivia Evo Morales

Keputusan Presiden Bolivia, Evo Morales untuk mundur dari jabatannya ternyata menuai pujian dari pihak Amerika Serikat.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Nov 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2019, 08:00 WIB
Presiden Bolivia Evo Morales
Presiden Bolivia, Evo Morales, resmi mengundurkan diri pada Minggu, 10 November 2019 setelah 13 tahun memerintah negara ini. (AP / Juan Karita)

Liputan6.com, Sucre - Pemerintah Amerika memuji pengunduran diri Presiden Bolivia Evo Morales dan menolak pernyataan sejumlah negara, termasuk Meksiko, bahwa Morales dipaksa mundur karena kudeta.

Presiden Amerika Donald Trump, dalam sebuah pernyataan, menyebut pengunduran diri Morales sebagai "momen penting bagi demokrasi di bumi belahan barat. Setelah hampir 14 tahun dan upayanya baru-baru ini untuk mengesampingkan konstitusi Bolivia dan kehendak rakyat, pengunduran diri Morales mempertahankan demokrasi dan membuka jalan bagi rakyat Bolivia agar suara mereka dapat didengar."

Dilansir dari VOA Indonesia, Selasa (12/11/2019), pernyataan Gedung Putih menambahkan bahwa peristiwa-peristiwa di Bolivia “mengirim sinyal yang kuat kepada rezim tidak sah di Venezuela dan Nikaragua bahwa demokrasi dan kehendak rakyat akan selalu menang. Kita kini selangkah lebih dekat ke negara di belahan barat yang sepenuhnya demokratis, makmur dan bebas.”

Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan kepada wartawan lewat telekonferensi Senin 11 November sore bahwa Amerika tidak menganggap pengunduran diri Morales sebagai bagian dari kudeta, tetapi lebih sebagai ekspresi kemuakan rakyat Bolivia terhadap pemerintah yang mengabaikan kehendak mereka.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Alasan Morales Mundur

Rayakan Pengunduran Diri Presiden Bolivia
Orang-orang mengibarkan bendera Bolivia merayakan pengunduran diri Presiden Evo Morales di La Paz, Minggu (10/11/2019). Morales memutuskan mengundurkan diri buntut aksi protes yang dilatarbelakangi dugaan dirinya melakukan kecurangan dalam pemilu dalam beberapa pekan terakhir. (JORGE BERNAL/AFP)

Tekanan telah meningkat kepada Evo Morales sejak kemenangannya secara tipis dalam pemilihan presiden bulan lalu.

Pada Minggu 10 November 2019, rangkaian peristiwa yang mengawali proses pengunduran diri Morales berlangsung cepat.

Pertama, Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) mengumumkan hasil audit atas pemilu Bolivia, yang menemukan adanya "manipulasi yang jelas" dan menyerukan agar hasilnya dibatalkan.

Sebagai tanggapan, Morales setuju untuk mengadakan pemilihan baru. Namun saingan utamanya, Carlos Mesa --yang berada di urutan kedua dalam pemungutan suara-- mengatakan Morales tidak boleh menggelar pemilu baru.

Kemudian, muncul intervensi kepala pasukan bersenjata, Jenderal Williams Kaliman, yang mendesak Morales untuk mundur demi kepentingan perdamaian dan stabilitas.

Mengumumkan pengunduran dirinya, Evo Morales mengatakan dia telah mengambil keputusan untuk menghentikan sesama pemimpin sosialis dari "dilecehkan, dianiaya, dan diancam". Dia juga menyebut alasan mundurnya dari kursi kepimpinan sebagai "kudeta".

Laporan yang beredar menyebut Evo Morales mengumumkan pengunduran dirinya dari El Chapare, daerah pedesaan dengan pertanian koka yang besar di Cochabamba, dan sebuah benteng dukungan untuk dia dan Partai Mas yang dipimpinnya.

Menyusul pengunduran diri Morales, penentangnya telah merayakan di seluruh Bolivia, menyalakan kembang api dan mengibarkan bendera nasional. Sementara pendukungnya bentrok dengan polisi di kota-kota La Paz dan El Alto, menurut laporan media setempat.

Argentina dan Bolivia juga turun ke jalan-jalan Buenos Aires pada Senin 11 November 2019 untuk memprotes pengunduran dirinya.

Pengunduran diri Evo Morales mendapat reaksi beragam dari para pemimpin dunia.

Presiden AS Donald Trump pada hari Senin menggambarkannya sebagai "momen penting bagi demokrasi di Belahan Barat".

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan "gelombang kekerasan yang dilancarkan oleh oposisi" tidak mengizinkan "mandat presiden Evo Morales diselesaikan".

Presiden Kuba, Miguel Díaz Canel melalui Twitter mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah "kudeta kekerasan dan pengecut terhadap demokrasi di Bolivia oleh sayap kanan".

Negara-negara yang dipimpin oleh kaum sosialis Nikaragua dan Venezuela juga menyatakan solidaritas dengan Tuan Morales.

Spanyol menyatakan keprihatinannya atas peran tentara Bolivia, dengan mengatakan bahwa "intervensi ini membawa kita kembali ke saat-saat dalam sejarah Amerika Latin di masa lalu".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya