Wuhan Revisi Data Kematian Akibat Corona COVID-19, Pasien Meninggal Naik 50 Persen

Pemerintah kota Wuhan mengakui data kematian akibat Virus Corona COVID-19 lebih tinggi dari aslinya.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 17 Apr 2020, 14:50 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2020, 14:50 WIB
FOTO: Perpisahan Kelompok Petugas Medis Terakhir dari Luar Wuhan
Sukarelawan saat upacara perpisahan untuk kelompok petugas medis terakhir yang datang dari luar Wuhan dalam membantu kota selama wabah virus corona COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, Rabu (15/4/2020). Wuhan mulai pulih setelah lebih dari dua bulan melawan COVID-19. (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Wuhan - Pemerintah Wuhan resmi melakukan revisi pada angka kematian di daerah mereka akibat Virus Corona (COVID-19). Setelah revisi, total kematian naik 50 persen. 

Berdasarkan laporan media pemerintah China, CGTN, jumlah kematian di Wuhan kini mencapai 3.869 orang. Sebelumnya, angka tercatat 1.290.

Verifikasi dilakukan hingga 16 April kemarin. Kini, ada 50 ribu lebih total kasus Virus Corona jenis baru di China.

Perubahan data ini membuat geger karena sebelumnya China sudah dituding menyembunyikan data asli. Ada lagi tudingan bahwa tempat kremasi bekerja seharian, sehingga menjadi indikasi angka kematian di Wuhan akibat Virus Corona sebetulnya lebih tinggi.

Media China menyebut revisi ini tidaklah mengagetkan, sebab kondisi awal di Wuhan memang kacau akibat Virus Corona. Para dokter juga disebut kewalahan akibat banyaknya pasien.

"Misdiagnosis dan miskalkulasi memang terjadi di awal sebuah pandemi," tulis kolom CGTN.

Sebelumnya, Gedung Putih sudah mempertanyakan data dari Wuhan. Diduga, data dari Wuhan tidak mewakili situasi sebenarnya, sehingga negara-negara lain tidak bisa mempersiapkan respons yang akurat terhadap Virus Corona.

Badan intelijen AS turut mempertanyakan kasus Virus Corona baru di China. Namun, Kementerian Luar Negeri China menuding intelijen AS melakukan fitnah.

Virus Corona pertama kali terdeteksi di kota Wuhan pada Desember 2019. Kini, kasus itu telah menyebar ke berbagai benua di seluruh dunia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

China Tak Terima Dituding Sembunyikan Data Asli

Petugas Medis Tangani Pasien Virus Corona di Ruang ICU RS Wuhan
Petugas medis dari Provinsi Jiangsu bekerja di sebuah bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, Provinsi Hubei, 22 Februari 2020. Para tenaga medis dari seluruh China telah mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit tersebut. (Xinhua/Xiao Yijiu)

Awal bulan ini, China merasa difitnah Amerika Serikat (AS) karena dituduh menyembunyikan data kasus Virus Corona COVID-19. Tuduhan itu berasal dari laporan rahasia intelijen AS yang bocor ke media.

Dilaporkan Bloomberg, laporan intel AS menyebut China sengaja tidak jujur dalam menyajikan data kasus pasien dan kematian Virus Corona. Kesimpulan laporan itu adalah data China palsu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying membantah laporan intelijen AS. Laporan itu ia anggap sebagai upaya fitnah AS untuk menyalahkan China.

"Beberapa pejabat AS hanya ingin melempar kesalahan," kata Hua. "Sebetulnya kami tidak ingin berargumen dengan mereka, tetapi dihadapi dengan fitnah moral yang berulang-ulang, saya merasa harus meluangkan waktu dan meluruskan kebenaran lagi," ujar wanita itu di Beijing.

Sebelumnya, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih Dr. Deborah Birx sempat mempertanyakan data dari China. Dr. Birx menduga China tak memberi data secara lengkap, alhasil ilmuwan terkecoh.

"Ketika kamu melihat data China di awal-awalnya, dan kamu mendapati ada 80 juta orang, atau 20 juta orang di Wuhan dan 80 juta di Hubei, dan mereka menyebut ada 50 ribu (pasien), kamu berpikir ini lebih mirip SARS ketimbang pandemi global seperti sekarang," ujar Dr. Deborah Birx, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih.

"Saya pikir komunitas medis menginterpretasi data dari China bahwa ada sesuatu yang serius, tetapi lebih kecil ketimbang yang siapa pun perkirakan, karena saya pikir mungkin kita kehilangan jumlah data yang signifikan," pungkas Dr. Birx.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya