Haruskah Pemimpin WHO Dipecat? Ini Respons Pemerintahan Donald Trump

Pemimpin WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus disebut terlalu pro-China dalam mengurus Virus Corona (COVID-19).

oleh Tommy K. Rony diperbarui 09 Apr 2020, 17:31 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2020, 17:31 WIB
Presiden AS Donald Trump dalam briefing melawan Virus Corona (COVID-19) di Gedung Putih.
Presiden AS Donald Trump dalam briefing melawan Virus Corona (COVID-19) di Gedung Putih. Dok: Gedung Putih

Liputan6.com, Washington, D.C. - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merasa tidak puas dengan kinerja World Health Organization (WHO) dalam menanggulangi Virus Corona (COVID-19). Kesan Trump terhadap WHO memburuk karena organisasi itu disebut China-sentris.

WHO dinilai AS terlalu kendor dalam memantau data Virus Corona di China. Pemimpin WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus juga sempat tidak setuju terhadap travel ban untuk China sebelum akhirnya Virus Corona baru menyebar ke banyak negara. 

WHO sempat menyindir Trump agar tidak politisasi Virus Corona. Kini, senator AS justru menyerang balik WHO  dituding mengikuti lobi-lobi dan propanda China dalam mengurus Virus Corona.

"Dr. Tedros, 'politisasi COVID' adalah ketika kamu secara publik memuji Komunis China terkait 'keterbukaan untuk berbagi informasi' dan mengulang propaganda China. Tidak mengejutkan karena sejak 2014 China menambah donasi ke WHO sebanyak lebih dari 50 persen," ujar Senator Marsha Blackburn dari Partai Republik.

Di Gedung Putih, ketika ditanya apakah setuju bila Dr. Tedros lengser, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan dirinya belum setuju mengingat situasi saat ini. Namun, ia menyebut mendukung pemeriksaan terhadap WHO.

"Ini bukan saatnya melakukan perubahan seperti itu. Nanti akan ada banyak waktu untuk melihat kembali bagaimana performa WHO," kata Pompeo yang mengkritik tajam performa WHO.

Presiden AS Donald Trump turut kecewa terhadap Dr. Tedros dan WHO. Ia pun menyindir hubungan WHO dengan China.

Selain itu, ia membandingkan donasi AS dan China terhadap WHO.

"Saat dia berkata politisasi, justru dia yang politisasi. Harusnya tak demikian," kata Donald Trump dalam briefing di Gedung Putih.

"Andai kamu melihat hubungan yang mereka (WHO) punya dengan China. Jadi China mengeluarkan USD 42 juta, kita mengeluarkan USD 420 juta, dan segalanya seperti mengikuti China. Itu tidak benar. Itu tidak adil untuk kita, dan sejujurnya, itu tidak adil untuk dunia," ujar Trump.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

China Merasa Difitnah AS Setelah Dituding Tutupi Data Asli Corona COVID-19

FOTO: Pemandangan Malam Kota Wuhan Setelah Corona Mereda
Sejumlah bangunan berselimut cahaya lampu di Wuhan, Provinsi Hubei, China, 7 April 2020. Wuhan mencabut larangan perjalanan keluar mulai 8 April 2020 setelah penerapan karantina wilayah (lockdown) selama hampir 11 pekan untuk membatasi penyebaran virus corona COVID-19. (Xinhua/Shen Bohan)

China merasa difitnah Amerika Serikat (AS) karena dituduh menyembunyikan data kasus Virus Corona COVID-19. Tuduhan itu berasal dari laporan rahasia intelijen AS yang bocor ke media.

Dilaporkan Bloomberg, laporan intel AS menyebut China sengaja tidak jujur dalam menyajikan data kasus pasien dan kematian Virus Corona. Kesimpulan laporan itu adalah data China palsu. 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying membantah laporan intelijen AS. Laporan itu ia anggap sebagai upaya fitnah AS untuk menyalahkan China.

"Beberapa pejabat AS hanya ingin melempar kesalahan," kata Hua. "Sebetulnya kami tidak ingin berargumen dengan mereka, tetapi dihadapi dengan fitnah moral yang berulang-ulang, saya merasa harus meluangkan waktu dan meluruskan kebenaran lagi," ujar wanita itu di Beijing.

Hua Chunying juga mempertanyakan kecepatan AS dalam merespons Virus Corona. Sejak 2 Februari, AS sudah melarang penerbangan dari China.

Ia pun menegaskan China siap memberikan bantuan, dan aksi saling tuding dianggap hanya buang-buang waktu dan nyawa.

"Kami ingin menyediakan support dan membantu mereka sesuai kapasitas kami," ucapnya.

Sebelumnya, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih Dr. Deborah Birx sempat mempertanyakan data dari China. Dr. Birx menduga China tak memberi data secara lengkap, alhasil ilmuwan terkecoh.

"Ketika kamu melihat data China di awal-awalnya, dan kamu mendapati ada 80 juta orang, atau 20 juta orang di Wuhan dan 80 juta di Hubei, dan mereka menyebut ada 50 ribu (pasien), kamu berpikir ini lebih mirip SARS ketimbang pandemi global seperti sekarang," ujar Dr. Deborah Birx, Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih.

"Saya pikir komunitas medis menginterpretasi data dari China bahwa ada sesuatu yang serius, tetapi lebih kecil ketimbang yang siapa pun perkirakan, karena saya pikir mungkin kita kehilangan jumlah data yang signifikan," pungkas Dr. Birx.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya