Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi baru tidak menemukan bukti manfaat dari obat malaria, yang dipromosikan secara luas sebagai pengobatan infeksi Virus Corona COVID-19.
Para peneliti melaporkan di New England Journal of Medicine, hydroxychloroquine tidak menurunkan risiko kematian atau kebutuhan tabung pernapasan dalam perbandingan yang melibatkan hampir 1.400 pasien yang dirawat di Universitas Columbia di New York.
Advertisement
Mengutip AP News, Jumat (8/5/2020), meskipun penelitian ini adalah penelitian observasional dan bukan eksperimen yang keras, penelitian ini memberikan informasi yang berharga kepada ratusan ribu pasien COVID-19 tentang risiko dan manfaat obat.
“Sangat mengecewakan bahwa beberapa bulan memasuki pandemi, kami belum mendapatkan hasil” dari tes ketat obat apa pun, tulis mereka. Namun, studi baru "menunjukkan bahwa perawatan ini bukan obat mujarab."
Presiden Donald Trump berulang kali mendesak penggunaan hydroxychloroquine, yang sekarang digunakan untuk lupus dan rheumatoid arthritis. Ini tentu berpotensi memiliki efek samping yang serius, termasuk mengubah detak jantung dengan cara yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sudah Diperingati FDA AS
Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS telah memperingatkan terhadap penggunaannya untuk infeksi Virus Corona baru namun belum dalam studi formal.
Dokter di Columbia melacak kondisi 565 pasien yang tidak mendapatkan obat dibandingkan dengan 811 orang lain yang menerima hydroxychloroquine dengan atau tanpa antibiotik azithromycin, kombinasi kombo yang juga disebut-sebut efektif.
Secara keseluruhan, 180 pasien memerlukan tabung pernapasan dan 232 meninggal, dan obat itu tampaknya tidak mempengaruhi kemungkinan keduanya.
Pasien yang diberi hydroxychloroquine umumnya memiliki gejala lebih parah daripada yang lain, tetapi metode yang diterima secara luas digunakan untuk memperhitungkannya dan tetap tidak ada manfaat yang terlihat untuk obat tersebut.
Advertisement