Pengamat: Nasib Laut China Selatan dan Perang Dingin Tergantung Hasil Pilpres AS

Potensi adanya konflik di Laut China Selatan tergantung hasil pilpres AS pada 2020 mendatang.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 25 Jul 2020, 09:03 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2020, 09:03 WIB
Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)
Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)

Liputan6.com, Jakarta - Perseteruan antara Amerika Serikat dan China memiliki implikasi terhadap Laut China Selatan. Sejauh ini, juga sudah ada perang dagang dan penutupan konsulat antara kedua negara. 

China masih secara pihak mengklaim teritori Laut China Selatan. Klaim itu ditentang negara-negara ASEAN dan AS ikut melibatkan diri karena menganggap punya kepentingan.

Lantas bagaimana kans terjadinya konflik terbuka antara AS dan China di wilayah itu?

Pengamat AS Didin Nasirudin berkata nasib di Laut China Selatan, termasuk skenario terburuk, harus menunggu hasil dari Pilpres AS pada November mendatang. 

"Amerika sekarang sedang masa transisi. Ketika presidennya berganti di Amerika mungkin policy-nya berubah. Saat ini perang dingin Amerika-China bikinan Trump. Jadi kalau pemerintahnya berubah, jadi mungkin akan berubah, kemungkinan besar tidak akan seperti sekarang," ujar Didin kepada Liputan6.com, Jumat (24/7/2020).

Jika Presiden Donald Trump tidak terpilih lagi, Didin melihat ada kemungkinan perang dagang dan ketegangan bisa mereda. 

"Trump konfrontatif dan Partai Republik itu terkenal hawkish, jadi peluangnya bisa konfrontasi, sementara Partai Demokrat lebih pragmatis," kata Didin. "Lihat November hasilnya seperti apa."

China mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan dengan konsep Sembilan Garis Putus. Hal itu tak sesuai dengan perjanjian hukum internasional dan turut ditentang Indonesia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Indonesia Berpotensi Terseret Perang Dingin

AS Setop Perjalanan dari Eropa
Foto 11 Maret 2020, Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat (AS). Presiden AS Donald Trump pada Rabu (11/3) mengatakan negaranya akan menangguhkan semua perjalanan dari negara-negara Eropa, kecuali Inggris, selama 30 hari dalam upaya memerangi virus corona Covid-19. (Xinhua/Liu Jie)

Indonesia sejatinya bersikap netral dalam perseturuan AS-China. Pemerintah memilih untuk bekerja sama dengan kedua belah pihak. 

Namun, Didin melihat posisi itu belum tentu mudah dijalankan. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak kepentingan ekonomi dan bisnis dengan China sehingga pasti akan kena dampak.

"Sebagai negara yang bebas-aktif, Indonesia secara prinsip kita mengambil hubungan baik dengan berbagai pihak, tetapi sebagai negara yang secara teritori dekat dengan China dan tergantung ke China untuk berbagai proyek di Indonesia, ya mau tak mau akan terseret juga," jelas Didin. 

Beberapa proyek Indonesia bersama China adalah proyek Kereta Cepat dan Tol Trans Jawa. 

Baru-baru ini, BUMN PT Bio Farma (Persero) juga bekerja sama dengan perusahaan farmasi China, yakni Sinovac, untuk mengembangkan vaksin Virus Corona. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya