Liputan6.com, Wisconsin - Sekitar 2.000 orang mengenakan masker dengan setelan rapi hadir di halaman selatan Gedung Putih, Washington D.C. Mereka menantikan sang calon presiden Amerika petahana melangkahkan kaki ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato di Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) 2020.
Itu adalah malam besar bagi Donald Trump. Kamis, 27 Agustus 2020 adalah saat di mana ia secara resmi menerima pencalonan sebagai presiden dari Partai Republik.
Istri, anak-anak, menantu hingga cucu juga ikut tampil. Di awal-awal pidato bahkan ia langsung memuji First Lady dan anak emasnya Ivanka Trump.
Advertisement
Dengan penuh keyakinan Donald Trump menyerang lawan politiknya Joe Biden. Ia menyebut kemenangan Biden hanya akan memperburuk krisis yang mengepung Amerika Serikat.
"Ia bukanlah penyelamat Amerika," ujar Trump.
"Jika diberi kesempatan, dia akan menjadi perusak kejayaan Amerika Serikat," tambahnya.
Pidato selama kurang lebih 70 menit itu ditutup dengan sorak-sorai pendukung dan pesta kembang api. Lanturan musik dan lagu "Hallelujah" karya Leonard Cohen juga dimainkan oleh band Opera secara live.
Padahal, di luar sana publik AS tengah bersiap untuk demo. Para pengunjuk rasa anti-rasisme berencana akan membanjiri jalanan di ibu kota AS pada Jumat 28 Agustus, setelah penembakan yang dilakukan seorang polisi kulit putih terhadap warga Amerika keturunan Afrika, Jacob Blake.
Kejadian tersebut telah mengobarkan kembali kemarahan atas kekerasan polisi dan memicu gerakan boikot dari seluruh dunia. Isu ini juga digunakan kubu lawan politik Trump, Joe Biden yang terlebih dahulu telah menyampaikan pidato dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat.
Mantan Wakil Presiden di era Barack Obama itu menyampaikan kritik keras seputar isu rasisme yang ia anggap telah disepelekan Donald Trump.
Dalam beberapa waktu terakhir, kasus rasisme menyedot kemarahan warga Amerika Serikat dan dunia. Sebut saja kasus kematian George Floyd dan terbaru Jacob Blake yang menggambarkan krisis rasisme di negara tersebut.
"Seorang presiden yang tidak bertanggung jawab, menolak untuk memimpin, menyalahkan orang lain, diktator, dan mengobarkan api kebencian dan perpecahan. Ia akan selalu yakin pada pemikirannya dan bukan tentang Anda (warga AS)," ujar Biden demikian dikutip dari CNBC.
"Itukah Amerika yang Anda inginkan untuk keluarga dan anak-anak Anda?"
"Saya melihat Amerika yang berbeda. Yang murah hati dan kuat. Tanpa pamrih dan rendah hati."
Calon presiden dari Partai Demokrat itu terus menyuarakan isu rasial, ekonomi dan sosial. Donald Trump pun menanggapinya dengan mengatakan, "di Konvensi Nasional Demokrat, Joe Biden dan partainya berulang kali menyerang dan menyebut AS sebagai tanah ketidakadilan rasial, ekonomi, dan sosial," seperti dikutip dari CNN.
"Jadi malam ini, saya mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana: Bagaimana Partai Demokrat bisa meminta untuk memimpin negara ketika mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk menghancurkan negara kita?"
Lalu, dampak apakah yang akan terjadi akibat isu rasisme kian menyulut kemarahan warga AS. Mengingat pemilihan presiden kurang lebih tiga bulan dari sekarang, siapakah yang diuntungkan atau bahkan dirugikan dari situasi ini?
Kasus-kasus rasisme ini terjadi jelang pemilihan presiden pada November mendatang. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang masa pemerintahan petahana Donald Trump dan kompetensi Joe Biden jika terpilih.
Menurut pemerhati politik Amerika Serikat Didin Nasirudin, isu rasisme belum tentu bisa menjauhkan Donald Trump dari kekuasaan. Belum lagi demontrasi Black Lives Matter bisa membuat pemilih jadi antipati terhadap gerakan tersebut dan akhirnya malah simpati kepada pemerintahan Donald Trump.
Hal itu justru bisa menguntungkan Donald Trump, sebab salah satu kunci kemenangan pilpres AS adalah pemilih moderat yang tidak condong ke Partai Demokrat atau Partai Republik.
"Kalau misalnya demo itu semakin tidak terkontrol, artinya semakin radikal, akhirnya kelompok moderat jadi antipati," jelas Didin kepada Liputan6.com, Jumat (28/8/2020).
Selama ini, Donald Trump berpihak pada polisi lewat narasi "law and order" ketika ada demonstrasi beberapa bulan terakhir. Donald Trump juga mendapat dukungan politik dari asosiasi polisi di New York.
Namun, Didin menilai isu terkuat saat ini adalah ekonomi dan COVID-19. Jika Donald Trump berhasil dalam dua aspek itu, maka peluang ia terpilih semakin kuat.
Ukuran yang dipakai Didin adalah Misery Index (Indeks Kesengsaraan) di Amerika Serikat. Indeks itu mengukur tingkat inflasi dan pengangguran. Jika indeks itu melewati angka sembilan persen, maka presiden akan kesulitan terpilih.
Itu sempat terjadi pada periode Presiden Jimmy Carter ketika Misery Index di pemerintahannya jebol hingga 16 persen. Skor indeks Trump saat ini sudah di atas sembilan persen dalam tiga bulan terakhir.
"Semakin kecil Misery Index pada tahun pemilihan semakin besar peluang capres petahana untuk terpilih kembali. Misery Index AS periode Januari - Maret 2020 rata2 sekitar enam persen; pada April - Juli rata-rata sekitar 13,5 persen," ujar Didin.
Pilpres AS adalah pada November mendatang, sehingga Presiden Trump masih punya kesempatan memperbaiki Misery Index miliknya. Jika vaksin COVID-19 berhasil dan pengangguran menurun, maka hal itu bisa membawa dampak positif ke kampanye Donald Trump.
Saat ini, total kematian COVID-19 di AS sudah mencapai 180 ribu orang. Bulan lalu, tingkat pengangguran terpantau turun hingga 10,2 persen, namun masihi lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi.
Baca Juga
Senada dengan Didin Nasirudin, Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Suzie Sudarman, yang sempat dihubungi oleh Liputan6.com beberapa waktu lalu saat kematian George Floyd ramai diperbincangkan, juga memiliki penilaian yang sama terkait peluang Donald Trump.
Ia menilai, rentang waktu hingga ke hari pemilihan presiden AS masih sangat lama. Dalam masa itu, berbagai macam hal bisa dilakukan para calon dan pendukungnya untuk mendongkrak elektabilitas.
"Di Amerika Serikat, rentan waktu dari Juni hingga November 2020 nanti seperti seabad. Manipulasi bisa kapan saja terjadi," ujar Suzie yang juga pengajar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini.
"Manipulasi dari pihak asing seperti Rusia yang menggelorakan sayap kanan Amerika Serikat dan pendekatan orang-orang kaya yang pro akan Trump bisa membuat situasi berubah," tambahnya.
Terkait dengan manuver politik yang dilakukan Joe Biden, menurut Suzie, sosok Biden berbeda jika dibandingkan dengan Barack Obama ataupun Berny Sander.
"Obama pada masa kampanyenya memberikan pengharapan. Biden kurang atraktif. Sebab, warga AS jauh lebih tertarik pada orang yang atraktif," jelas Suzie.
Berny Sander juga dinilai Suzie sebagai sosok yang sebelumnya bisa menggaet kaum milenial. Ia pernah menekankan pada Pilpres 2016 bahwa rakyat AS harus bangkit, rakyat berhak menuntut asuransi.
"Warga AS itu hidupnya sudah terlalu nyaman. Jika isu pengangguran masih terjadi sampai November, maka Donald Trump bisa saja kalah," Suzie memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pendukung Donald Trump Tak Lagi Setia?
Terlepas dari kaitan dengan pemilu, isu rasisme semacam ini sejatinya telah mengakar di Negeri Paman Sam sejak dulu. Menurut sejarah, orang kulit hitam atau kerap disapa sebagai Afrika-Amerika awalnya dibawa untuk diperbudak dan dijual. Hal tersebut merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi dari sejarah AS.
Hal tersebut disampaikan oleh Amisha Cross, salah satu panelis dalam sesi diskusi virtual bersama FPCI pada Jumat (28/8/2020).
Bahkan setelah Barack Obama terpilih sebagai presiden beberapa waktu lalu, imbuhnya, masalah rasisme di negara tersebut tidak dapat serta merta menghilang begitu saja.
"Dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, tidak membuat kekerasan atau kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam hilang begitu saja. Aksi protes yang terjadi saat ini sesungguhnya telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, di mana orang-orang melakukan unjuk rasa sambil menuntut kesetaraan dan keadilan."
Amisha menambahkan, tidak heran jika isu ini suatu saat akan meledak pada puncaknya, tepat seperti apa yang terjadi belakangan ini.
Intinya, ia menyampaikan bahwa Amerika Serikat hanya membutuhkan pemerintahan yang benar-benar dapat menerima dan mendengarkan keluh kesah hingga rintihan warganya, terlepas siapa yang akan menjadi presidennya.
Panelis lainnya, Bob Blake menambahkan bahwa sejauh ini pemerintah AS terkesan seperti menambahkan bahan bakar ke api yang sedang berkobar.
Hal itu lantaran dikirimnya pasukan garda keamanan ke jalan-jalan yang dinilai bakal menambah tensi di tengah protes. Hal ini yang kemudian jadi dasar dimana para petugas atau otoritas keamanan bertindak semena-mena dan apa yang terjadi selama ini merupakan suatu hal yang memang seharusnya terjadi.
Sementara itu, ada juga pandangan berbeda tentang peluang Donald Trump di pilpres tahun 2020. Walaupun memasuki masa kepemimpinan yang kedua jika terpilih, jalan Donald Trump menuju posisi dinilai tidaklah mulus. Para pendukungnya di tahun 2016 dinilai tak lagi memiliki pandangan yang sama terhadapnya. Ia dianggap akan kehilangan para pendukungnya pada pemilu sebelumnya.
Dalam diskusi terbuka bertajuk US Update: America at The Crossroad 2020 yang diadakan oleh FPCI dan dimoderatori oleh CEO Dino Pati Djalal, salah satu panelis yakni Paxton Baker menilai bahwa setiap presiden memiliki segmen populasinya masing-masing. Ia memberi gambaran ketika mantan Presiden Barack Obama didukung oleh rakyat kulit hitam di AS atau ketika Hillary Clinton didukung oleh lebih dari tiga juta warga AS kala itu.
"Saya rasa pernyataan itu bisa dikatakan benar di satu sisi namun juga tidak di sisi yang lain," ujar Baker.
Sedangkan panelis lainnya yang juga hadir dalam diskusi virtual tersebut, yakni Bob Blake menilai bahwa Presiden Donald Trump terpilih karena sejumlah alasan yang berbeda.
Blake menyampaikan bahwa posisi Trump akan terlihat lebih sulit kali ini lantaran ia telah menjabat selama empat tahun sebelumnya di posisi tersebut. Sedangkan Joe Biden hadir sebagai orang baru yang belum dikenal banyak orang dalam memegang jabatan tersebut.
Blake menyatakan bahwa Trump akan membutuhkan upaya lebih untuk menarik pendukung, mengingat berbagai hal yang telah terjadi selama masa kepresidenannya sebelumnya.
Advertisement
Rencana Demo Besar di Washington D.C
Setelah Jacob Blake ditembak pada Minggu 23 Agustus, ratusan orang berunjuk rasa di luar markas polisi di Kenosha. Mobil-mobil dibakar, banyaknya perampokan bersenjata, dan jam malam diberlakukan. Para pengunjuk rasa mengatakan petugas kepolisian menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bom asap.
Kerusuhan berlanjut hingga dua malam berikutnya. Pada Selasa 25 Agustus, sekelompok kecil pengunjuk rasa melemparkan kembang api dan botol air ke polisi, yang ditanggapi dengan peluru karet dan gas air mata oleh kepolisian.
Polisi mengatakan itu dilakukan karena penegakan hukum sangat ringan sehingga baik individu maupun kelompok melakukan bentuk main hakim sendiri.
Kepala Polisi Kenosha Daniel Miskinis mengonfirmasi seorang remaja berusia 17 tahun bernama Kyle Rittenhouse dari Antioch, Illinois, telah ditangkap atas kematian orang berusia 26 dan 36 tahun selama aksi protes hari.
Menanggapi aksi protes tersebut, Presiden Donald Trump mengatakan, dia segera mengirim "penegak hukum federal dan Garda Nasional" ke Kenosha. Ia mengumumkan bala bantuan dari 500 personel yang sudah disepakati dengan Gubernur Wisconsin, Tony Evers.
Puluhan ribu demonstran dijadwalkan akan berada di jalan-jalan Washington untuk pawai dan menandai tanggal pidato bersejarah pemimpin hak sipil Martin Luther King, yang bertajuk "I have a dream."
Demonstrasi itu dijuluki "Lepaskan Lutut Anda", mengacu pada George Floyd, warga kulit hitam lainnya yang tewas di bawah lutut seorang perwira kulit putih di Minneapolis, yang memicu kerusuhan sipil paling luas di negara itu dalam beberapa dekade.
Departemen Kepolisian Kenosha memberikan keterangan bahwa "penembakan yang melibatkan petugas" terhadap Blake terjadi setelah pukul 17.00 waktu setempat pada Minggu, 23 Agustus. Polisi mengatakan, mereka segera menanggapi insiden domestik tersebut, tetapi sejauh ini tidak diketahui siapa yang menelepon polisi, berapa banyak petugas yang terlibat, dan apa yang terjadi sebelum penembakan
Melansir BBC, pihak keluarga mengatakan akibat penembakan itu, Jacob mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah dan dokter tidak tahu apakah itu permanen atau hanya sementara.
Saksi mata, Raysean White mengatakan, sebelum petugas melakukan penembakan, mereka sempat bertengkar telebih dahulu dan meninju dan menyengat Blake dengan listrik. Saat melihat kejadian semakin memanas itulah Raysean mulai merekam.
Blake diketahui berjalan di sekitar bagian depan mobilnya. Dua petugas yang paling dekat dengan Blake dalam video itu adalah laki-laki kulit putih.
Saat dia membuka pintu dan hendak masuk, seorang petugas langsung menarik bajunya dan menembaknya. Tujuh tembakan dapat didengar dalam video tersebut, bersamaan dengan teriakan para saksi mata.
White mengatakan kepada kantor berita AP bahwa dia mendengar petugas polisi berteriak "Jatuhkan pisau!" sebelum tembakan terdengar, tapi White mengatakan bahwa ia tidak melihat pisau di tangan Blake.
Polisi mengatakan, petugas segera memberikan bantuan kepada Blake, yang kemudian dibawa ke rumah sakit di Milwaukee.
Jacob Blake merupakan pria yang besar di Evanston, sebuah kota di luar kota Chicago. Pamannya, Justin, mengatakan bahwa dia pindah ke Kenosha beberapa tahun yang lalu untuk sebuah pekerjaan.
"Itu lokasi yang lebih aman. Dia bisa bekerja untuk membangun kehidupan yang lebih baik," kata Justin.
Keluarganya memiliki sejarah panjang sebagai aktivisme komunitas. Kakek Blake adalah seorang pendeta di sebuah gereja di Evanston, dan pemimpin lokal dalam gerakan hak-hak sipil. Dia juga seorang juru kampanye yang produktf dan memimpin jemaatnya dalam membangun blok perumahan di kota.
Justin Blake mengatakan, Jacob Blake melanjutkan tradisi sebagai pelayanan publik, ia menjadi sukarelawan dengan Black Urban Recycling, sebuah badan amal yang mengumpulkan kaleng aluminium dan mendaur ulangnya untuk amal di pusat komunitas di Chicago.
Catatan pengadilan menunjukkan ada surat perintah penangkapan aktif terhadap Blake, terkait dengan tuduhan pelecehan seksual, masuk tanpa izin, dan perilaku tidak tertib. Tetapi tidak jelas apakah polisi mengetahui hal ini pada saat penembakannya.
Rentetan Kasus Rasisme Jelang Pilpres AS
Yang terbaru memang Jacob Blake. Namun, beberapa bulan belakangan sebelum pemilu AS di gelar November mendatang, rentetan kasus rasisme jelas terpampang di Amerika Serikat. Sebelumnya yang buat geger adalah kematian George Floyd.
Pria 46 tahun itu tewas saat ditangkap polisi Minneapolis. Ia diduga menggunakan uang palsu US$ 20 untuk membeli rokok di toko kelontong pada Senin 25 Mei 2020.
Ketika dibekuk, ia dipaksa terlentang di jalan. Lutut seorang polisi bernama Derek Chauvin menekan lehernya, sementara dua aparat lainnya, Alexander Kueng dan Thomas Lane menekan bagian pinggang dan kakinya. Satu polisi lagi bernama Tou Thao menjaga agar tak ada yang mendekati tempat kejadian.
Kematian George Floyd, yang adalah warga Amerika keturunan Afrika, menyulut amarah publik. Berawal dari Minnesota, gelombang protes terhadap dugaan rasialis polisi kulit putih, meluas hingga ke 40 wilayah di Amerika Serikat bahkan hingga ke Inggris dan Selandia Baru.
Seketika, George Floyd jadi ikon gerakan antirasis di Negeri Paman Sam. Sejumlah orang turun ke jalan menuntut keadilan untuk Floyd. Namun, aksi yang sedianya berlangsung damai, tak sedikit yang berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan.
Tercatat dua orang tewas ditembak aparat dan 60 lainnya ditangkap dalam aksi unjuk rasa dan penjarahan di sejumlah area permukiman dan pinggiran Kota Chicago. Sementara, laporan Los Angeles Times, mengungkap bahwa pihak berwenang di Los Angeles telah menahan sekitar 2.500 orang sejak Jumat 29 Mei hingga Selasa 2 Juni pagi waktu setempat, setelah unjuk rasa damai yang diwarnai perusakan properti, mengguncang kota itu.
Sedangkan Derek Chauvin, langsung dipecat dari kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka pembunuh George Floyd. Ia kini mendekam di penjara dengan keamanan maksimum.
Breonna Taylor
Pada Juni lalu, para pengunjuk rasa telah meneriakkan nama George Floyd selama 13 hari dan wajahnya telah terpampang di banyak negara, tak hanya Amerika Serikat. Tetapi nama-nama lain juga ikut disebutkan oleh para pengunjuk rasa, khususnya Breonna Taylor, seorang petugas kesehatan yang ditembak delapan kali oleh polisi yang memasuki apartemennya di Louisville, Kentucky pada 13 Maret lalu.
Para aktivis menyerukan kepada orang-orang untuk "Say Her Name" sebagai bagian dari gerakan untuk mengingat perempuan kulit hitam yang belum mendapat perhatian bersama dengan kasus-kasus lainnya, demikian dikutip dari laman BBC.
Breonna Taylor, seorang petugas medis darurat, saat itu tengah berada di rumahnya di Louisville, ketika petugas polisi memasuki apartemennya tak lama setelah tengah malam. Dia meninggal setelah ditembak delapan kali oleh polisi.
Mereka menggerebek alamatnya menggunakan pendobrak ketika melaksanakan surat perintah penggeledahan sebagai bagian dari penyelidikan narkoba. Namun pada akhirnya, tidak ada obat yang ditemukan di properti itu.
Media setempat melaporkan bahwa polisi bertindak atas perintah "no-knock warrant", yang memungkinkan mereka memasuki rumah tanpa peringatan. Polisi mengatakan meski ada surat perintah, mereka mengetuk sebelum masuk tetapi keluarga Taylor dan seorang tetangga membantah hal ini.
Polisi mengaku bahwa mereka datang ke alamat yang salah, menurut gugatan kematian salah diajukan oleh keluarganya.
Sesuai dengan tuntutan itu, Taylor yang sedang tertidur dan pacarnya, Kenneth Walker, yang memiliki lisensi senjata pun meraih senjatanya. Walker yakin ada orang yang sedang berusaha membobol tempat mereka dan dia pun melakukan penembakan untuk membela diri, kata pengacaranya. Walker menelepon 911 dan mengatakan bahwa "seseorang menendang pintu dan menembak pacar saya," menurut rekaman yang dirilis minggu lalu.
Polisi Louisville mengatakan mereka membalas tembakan setelah seorang petugas ditembak dan terluka dalam insiden itu. Pada bulan Mei, keluarga Taylor mengajukan gugatan kematian yang salah yang menuduh para petugas melakukan kelalaian besar hingga menewaskan Taylor.
Dikatakan bahwa petugas tidak mencari Taylor atau pasangannya, melainkan untuk tersangka yang tidak berhubungan yang kemudian ditahan dan tidak tinggal di kompleks apartemen tersebut. Surat perintah penggeledahan yang diperoleh oleh polisi, yakni rumah Taylor sendiri menyebutkan bahwa pihak berwenang meyakini adanya seorang tersangka dalam sebuah lingkaran narkoba menggunakan apartemennya untuk menyembunyikan narkoba, menurut afiliasi berita CNN.
Seorang pengacara untuk keluarga Taylor, Ben Crump, menggambarkan insiden itu sebagai "serangan polisi yang gagal." Investigasi terhadap keadaan kematiannya yang dibuka oleh FBI pada 21 Mei sedang berlangsung setelah kejadian. Namun usai kejadian tersebut, tiga petugas telah ditempatkan pada cuti administratif, tetapi tidak ada yang dituntut.
Rayshard Brooks
Kematian Rayshard Brooks seakan menjadi pemantik usai kasus George Floyd. Pasalnya, ia juga merupakan pria kulit hitam yang tewas di tangan polisi AS. Bahkan, insiden kematiannya terjadi tak lama setelah kasus George Floyd terjadi.
Kejadian bermula saat polisi datang ke sebuah restoran cepat saji setelah pegawainya melaporkan bahwa ada pria yang tertidur di mobilnya, di jalur drive-thru. Biro Investigasi Georgia mengatakan para petugas dipanggil ke restoran tersebut sekitar pukul 22.33 waktu setempat pada 12 Juni.
Brooks tertidur di mobilnya, yang menghalangi pelanggan mengakses jalur tersebut. Devin Brosnan adalah petugas pertama di tempat kejadian. Stempel waktu dari bodycam-nya menunjukkan ia tiba pada 22:41.
Dalam cuplikan video, Brosnan mendekati mobil Brooks dan mengetuk jendela beberapa kali sebelum membuka pintu. Brosnan memeriksa lisensi dan beberapa menit kemudian, menggunakan radionya untuk meminta bantuan dari petugas lain. Petugas lain bernama Garrett Rolfe pun tiba pukul 22:56. Rolfe kemudian menginterogasi Brooks, menanyakan apa yang terjadi malam itu. Brooks mengatakan dia diturunkan oleh seorang teman di mobil lain, tetapi Rolfe tampaknya tidak yakin dengan pernyataannya.
Pada saat itu, petugas memeriksa apakah Brooks bersenjata dan memintanya melakukan tes ketenangan. Selama tes dilakukan, yang dimulai tepat setelah pukul 23:00 dan berlangsung sekitar tujuh menit, Brooks tampak santai dan patuh. Sebagai bagian dari tes, Brooks diminta untuk menggunakan breathalyser. Ketika mereka menunggu hasil, Brooks mengatakan dia minum pada hari ulang tahun putrinya.
"Saya pikir Anda terlalu banyak minum saat hendak mengendarai mobil," kata Rolfe kepada Brooks ketika tes napas selesai. "Letakkan tanganmu di belakang."
Ketika Rolfe berusaha untuk memborgol Brooks, sebuah perselisihan pun terjadi. Pukul 23.23, kamera tubuh yang dikenakan oleh Brosnan dan Rolfe jatuh ke lantai. Dashcam dari salah satu kendaraan petugas dan beberapa pengamat mendokumentasikan apa yang terjadi selanjutnya. Para petugas menggulingkan Brooks ke lantai, sambil berteriak "hentikan pertempuran" dan "lepaskan Taser" (jenis senjata).
Brooks berhasil lolos dari tangkapan. Kemudian, Brooks berbalik dan berlari, mencengkeram Taser dengan satu tangan. Setelah itu, tiga tembakan terdengar secara bersamaan pada video yang diambil oleh dashcam selama upaya kejar-kejaran terjadi.
Advertisement