Liputan6.com, Washington, D.C. - Tim kampanye Joe Biden menyebut gugatan Donald Trump ke pengadilan terhadap hasil pemilu Amerika Serikat 2020 tidaklah berguna. Gugatan Trump dituding bersifat oportunitis.
"Ini untuk menciptakan peluang bagi mereka untuk memberi pesan palsu tentang apa yang terjadi di proses pemilihan," ujar Bob Bauer, ahli hukum di kubu Joe Biden, seperti dilansir AP News, Senin (9/11/2020).
Advertisement
Baca Juga
Bob Bauer juga berkata tim Donald Trump, "terus-terusan menuding adanya hal yang tidak regular, kegagalan sistem, dan kecurangan tanpa adanya basis."
Sejauh ini, Donald Trump protes kecurangan pada pemerintah negara bagian dan layanan pos AS.
Salah satu upaya Donald Trump adalah perhitungan suara dihentikan agar tidak menghitung suara yang baru ada sesusah hari pencoblosan tanggal 3 November. Tim Joe Biden meminta agar perhitungan tetap dilanjutkan.
Tim Joe Biden mengambil slogan "Count Every Vote" (hitung setiap suara).
"Rakyat tidak akan dibungkam, di-bully, atau menyerah. Setiap suara harus dihitung," ujar Joe Biden via Twitter.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bedanya dengan kasus Bush Vs Gore
Donald Trump telah berulang kali mengatakan di depan umum bahwa dia mengharapkan dapat memenangkan pemilihan melalui pertempuran pengadilan (sebagai upaya banding dari kemenangan dalam pemungutan suara).
Seperti dilansir LiveScience, pada pemilihan presiden AS 2000, Gubernur Texas George W. Bush mengalahkan Wakil Presiden Al Gore, bukan dengan jelas memiliki suara terbanyak yang mendukungnya, tetapi dengan lebih efektif melawan pertempuran di pengadilan setelah hasil Florida yang begitu kabur.
Namun baik Bush maupun Gore tidak menyebut penyimpangan hukum sebelum pemilu benar-benar terjadi (tidak seperti Trump). Gore berjuang untuk melakukan penghitungan ulang, sedangkan Bush berjuang untuk menghentikan penghitungan ulang.
Trump sendiri telah melakukan upaya sebelum hari pemilihan untuk mencegah orang memberikan suara di negara bagian yang jadi kunci. Pengacara Republikan telah menyebar ke seluruh negeri untuk mempersulit pemungutan suara, namun sejauh ini langkah itu tidak berhasil.
Undang-undang federal mengatakan bahwa negara bagian harus menyelesaikan pilihan pemilih mereka pada 8 Desember. Lalu pada 14 Desember, lembaga pemilihan memberikan suara mereka. Pada saat itu, proses penghitungan telah selesai.
Jika lebih banyak suara Trump, dia akan mendapatkan pelantikan kedua. Jika lebih banyak suara untuk Biden, dia akan menjadi presiden terpilih yang sah di luar jangkauan gugatan pengadilan.
Advertisement
Capres AS Selalu Menerima Hasil Pemilu
Meskipun Trump telah menolak untuk berkomitmen pada transfer kekuasaan secara damai, dia belum secara eksplisit mengatakan dia akan menolak hasil bahkan pada saat ini. Hal ini akan menjadi yang pertama dalam sejarah Amerika.
Ditanya apakah ada presiden yang pernah mengisyaratkan penolakan untuk menerima hasil pemilu, Bruce Schulman, seorang sejarawan di Universitas Boston, mengatakan tidak ada.
"Tidak ada preseden yang benar-benar seperti itu," ujar Schulman.
Pada 1824, Andrew Jackson, John Quincy Adams, Henry Clay dan William Crawford semuanya mencalonkan diri sebagai presiden, tidak ada yang memenangkan pemilihan mayoritas di perguruan tinggi dan DPR memilih Adams sebagai presiden.
Kontes kongres 1876 berakhir ketika Republikan Rutherford B. Hayes berjanji kepada Kongres Demokrat bahwa ia akan mengakhiri Rekonstruksi sebagai imbalan atas suara mereka. Itu tetap menjadi salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Amerika. Tetapi dalam kasus ini, yang kalah tetap menerima hasil akhirnya.
Bagaimana Jika Trump Tetap Tidak Menerima Hasil Pemilu?
Dalam lembaran hukum, tidak banyak yang bisa dilakukan Trump untuk mempertahankan kekuasaannya.
"Biden pergi ke Gedung Putih dan Dinas Rahasia mengawal Trump keluar, itulah yang akan terjadi. Semua pegawai negeri pemerintah, setiap pegawai Amerika Serikat melapor kepada Joe Biden pada saat itu," imbuh Saphiro, seorang pakar politik asal AS.
Seorang sejarawan Universitas Stanford Jonathan Gienapp mengatakan, penolakan Trump untuk berkomitmen pada transfer kekuasaan secara damai membuat kekuatan institusi Amerika dipertanyakan.
Konstitusi sendiri tidak memiliki perlindungan langsung untuk memastikan perdamaian dan sebaliknya mengasumsikan bahwa setiap orang yang terlibat dalam pemilu memiliki komitmen yang sama untuk mematuhi hasil.
"Kami memiliki lembaga yang dapat dipanggil untuk menengahi perselisihan atau menolak perampasan kekuasaan yang melanggar hukum, tetapi perlindungan yang akan memutuskan masalah lebih bersifat politis daripada konstitusional," tambahnya.
"Pada akhirnya, transisi akan terjadi dan pemerintahan baru segera terwujud, lalu pemerintahan lama harus pergi," imbuh Shapiro.
Advertisement