Liputan6.com, Kuala Lumpur- Pembuat sarung tangan lateks terbesar di dunia, yang berada di Malaysia akan menutup lebih dari setengah pabriknya setelah hampir 2.500 karyawan dinyatakan positif tertular COVID-19.Â
Dikutip dari BBC, Rabu (25/11/2020), perusahaan sarung tangan Malaysia, Top Glove akan menutup 28 pabriknya secara bertahap untuk mengendalikan wabah. Hal itu disampaikan pihak berwenang setempat.
Baca Juga
Perusahaan itu, diketahui menghadapi kelonjakan dalam permintaan alat pelindung diri (APD) sejak awal pandemi. Namun, terdapat kekhawatiran atas kondisi kerja para pekerja migran yang dibayar dengan rendah.
Advertisement
Pada 23 November 2020, Kementerian Kesehatan Malaysia melaporkan peningkatan tajam kasus Virus Corona COVID-19 di daerah lokasi pabrik dan asrama Top Glove berada. Sejauh ini, hampir 5.800 pekerja telah dites dan 2.453 di antaranya dnyatakan positif COVID-19, menurut pihak perusahaan.
Top Glove, diketahui memiliki 41 pabrik di Malaysia, dengan banyak pekerjanya yang berasal dari Nepal dan tinggal di kompleks asrama yang padat.
"Semua yang dites positif telah dirawat di rumah sakit dan mereka yang berkontak dekat juga telah dikarantina untuk menghindari penularan di antara pekerja lain," terang Direktur Jenderal Kesehatan Noor Hisham Abdullah kepada kantor berita Reuters.
Belum adanya informasi yang jelas tentang kapan pabrik-pabrik itu akan ditutup, namun disebutkan akan dilakukan secara bertahap.
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Berikut Ini:
Perhatian Global
Top Glove berhasil menarik perhatian global karena rekor labanya yang tinggi pada 2020, namun juga ditambah dengan adanya tuduhan eksploitatif pekerja.Â
Sebelumnya, pada Juli 2020, Amerika Serikat melarang impor sarung tangan dari dua cabang perusahaan perusahaan menyusul laporan terkait masalah kerja paksa.
Sebuah laporan lainnya baru-baru ini dari Departemen Tenaga Kerja AS juga mengangkat masalah yang sama, dan menyebutkan bahwa para pekerja migram harus membayar dana dengan jumlah besar untuk bekerja di luar negeri. Mereka juga diharuskan untuk mendapatkan jaminan pembayaran yang layak dalam industri sarung tangan lateks.
Sementara pada September 2020, para pekerja migran mengungkap kepada Los Angeles Times tentang kondisi kerja yang sulit di pabrik-pabrik Top Glove.
Para pekerja itu menceritakan jam kerja selama 72 jam per pekan, asrama yang padat juga upah yang rendah.Â
Hingga beberapa pekan kemudian, Top Glove menyatakan bahwa pihaknya telah menaikkan gaji untuk kompensasi pekerja atas biaya perekrutan setelah mendapat rekomendasi dari konsultan independen.
Glorene Das, direktur eksekutif Tenaganita, sebuah LSM yang berbasis di Kuala Lumpur yang berfokus pada hak-hak buruh, menyebutkan bahwa sejumlah perusahaan Malaysia yang bergantung pada tenaga kerja migran "gagal memenuhi kebutuhan dasar para pekerja mereka".
"Para pekerja ini rentan karena mereka tinggal dan bekerja di tempat tinggal bersama yang padat dan melakukan pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk mempraktikkan jarak sosial," ungkap Glorence Das kepada BBC.
"Selama masa pandemi, perusahaan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap mereka, tetapi kami mendengar kasus di mana mereka tidak menyediakan makanan yang cukup atau bahkan menahan gaji mereka," tambah Glorence.Â
Pada 24 November 2020, saham Top Glove turun sebesar 7,5 persen setelah penutupan pabrik-pabrik itu diumumkan. Meskipun demikian, saham perusahaan telah melonjak lebih dari empat kali lipat pada 2020, menurut laporan Reuters.
Advertisement