Liputan6.com, Jakarta - Sampah plastik sudah sejak lama menjadi masalah bagi banyak negara di dunia. Meski sejumlah imbauan dan aturan telah diterapkan terkait pelarangan penggunaan plastik atau makanan dan minuman dengan kemasan plastik, namun tidak semua individu mematuhinya dengan benar.
Hal itu berdampak pada menumpuknya sampah plastik. Bahkan pada 2019 lalu terjadi tren pengembalian sampah plastik dari sejumlah negara.
Mengambil contoh dari Indonesia, pada tahun itu pernah mengirim balik 18 dari 103 kontainer sampah asal Australia yang masuk ke wilayahnya. Indonesia juga membantah mengalihkan pengiriman sampah terkontaminasi ke negara Asia lainnya seperti yang ditudingkan jaringan aktivis lingkungan dalam laporannya.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia (DJBC), selama empat bulan terakhir hingga 30 Oktober 2019, ada 358 kontainer atau peti kemas berisi sampah dari Australia yang masuk ke Indonesia.
Jumlah itu mewakili sekitar 16,3 persen dari total peti kemas sampah yang masuk ke Indonesia dan dihentikan otoritas Bea Cukai melalui 5 pelabuhan di Jawa dan Riau.
Melalui sebuah konferensi pers pada 2019, Negeri Jiran Malaysia pun menyatakan mengembalikan 3.300 ton sampah ke negara-negara asalnya: Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Jerman, Norwegia, Prancis, Jepang, China, Kanada, Bangladesh, Arab Saudi, dan lainnya.
Berkaca dari hal itu, masyarakat global kini tengah dihadapkan dengan masalah terbesar yang masih sulit diatasi dari sampah plastik yang bisa memicu beragam pencemaran karenanya.
Dalam mengatasi permasalahan sampah plastik, gagasan circular economy (ekonomi sirkular) mengemuka. Sebuah sistem ramah lingkungan yang mempertahankan nilai material agar dapat digunakan berulang kali. Sistem tersebut bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan material secara sirkular untuk meminimalkan produksi limbah dengan memulihkan dan menggunakan kembali produk dan bahan sebanyak mungkin, secara sistemik, dan berulang-ulang.
Konsep ekonomi sirkular berpedoman pada prinsip utama mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada.
Salah satu yang mengedepankan sistem ini adalah Republic of Korea (ROK). Negara yang juga dikenal dengan sebutan Korea Selatan ini menggunakan pendekatan ekonomi sirkular dalam mengolah limbah plastik baik domestik maupun dari impor.
Melihat biaya besar yang dikeluarkan untuk mengolah sampah, Korea Selatan berupaya untuk mengelolanya dengan cara yang lebih efektif dan juga menguntungkan.
Menurut data dari Dr. Seung-Whee Rhee, profesor di the Department of Environmental Engineering, Kyonggi University, Korea, total biaya impor di Korea adalah U$503,3 miliar. Hampir 95% dari semua energi dan bahan baku diimpor dari luar negeri dan 65% penggunaan energi bergantung pada bahan bakar fosil pada 2019.
Dia juga mengatakan bahwa jumlah timbulan sampah di Korea meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada tahun 20182). (Compounded Annual Growth Rate (%) /CAGR atau Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk: 3,05%)
"Itulah motivasi mengapa kami dulu membuat daur ulang dan beralih ke circular economy society (masyarakat ekonomi sirkular)," ungkap Dr Rhee dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta medio Oktober 2020.
Untuk mengubah menuju masyarakat ekonomi sirkular, menurut Dr Rhee, bisa melalui sumber daya, program kesadaran untuk mendorong partisipasi warga.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jurus dari Korea yang Bisa Ditiru Indonesia
Dr Rhee mengakui memang ada kesulitan tersendiri untuk membuat orang peduli dengan sirkular ekonomi untuk mengelola sampah plastik. Ia pun memberikan sejumlah jurus yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia.
"Sulit untuk membuat orang peduli tentang sirkular ekonomi. Indonesia yang mempunyai banyak pulau tidak mungkin menyambangi satu per satu, salah satunya bisa menggunakan metode poster. Ditempel di setiap pintu masuk, di setiap elevator, jadi orang melihatnya," tuturnya seraya menjawab pernyataan salah satu perserta dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.
"Yang kedua melalui NGO, berkerja sama dengan organisasi. Itu adalah upaya stabil untuk bekerja demi lingkungan," sambungnya lagi.
Selain itu, jurus menggunakan tokoh terkenal sebagai model promosi dicetuskan olehnya. "Cara lainnya menggunakan sosok popular, jadi orang peduli karena mengenalnya".
Dr Rhee memaparkan bahwa tidak ada hukuman di negaranya untuk program pengelolaan sampah plastik tersebut. Sebab hal itu justru akan membuat masyarakat enggan untuk berpertisipasi dalam metode tersebut.
"Tak ada hukuman untuk proses recycle itu. Soalnya kalau begitu nanti malah akan disembunyiin sampahnya," ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Rhee juga mengatakan jurus membuat orang tertarik dengan metode sirkular ekonomi dalam mengelola sampah plastik.
"Jadi mulai dari TK, SD diajari (soal sirkular ekonomi untuk pengelolaan sampah plastik), dipromosiksan. Bergandeng tangan bersama mempromosikannya. Setiap tahun adakan pembelajaran soal sirkular ekonomi, sesi wajib," tukasnya.
Advertisement