Liputan6.com, Yerusalem - Israel mulai meluncurkan vaksinasi Pfizer-BioNtech COVID-19 untuk anak berusia 5 hingga 11 tahun pada Senin (22/11) dengan harapan dapat mengalahkan peningkatan infeksi virus corona baru-baru ini.
Gelombang infeksi keempat yang melanda Israel pada bulan Juni mulai mereda pada bulan September. Tetapi selama dua minggu terakhir "R", atau tingkat reproduksi virus, yang tetap di bawah satu selama dua bulan mulai naik dan sekarang telah melewati ambang batas itu, menunjukkan virus itu dapat menyebar lagi secara eksponensial. Demikian seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (23/11/2021).
Advertisement
Baca Juga
Kasus harian juga meningkat selama beberapa hari terakhir, dengan setengah dari infeksi yang dikonfirmasi saat ini di antara anak-anak berusia 11 tahun ke bawah.
9,4 juta penduduk Israel relatif muda, dengan sekitar 1,2 juta anak-anak dalam kelompok usia 5-11 tahun. Pada bulan November, kelompok itu terdiri lebih dari sepertiga kasus baru, menurut data kementerian kesehatan. Para ilmuwan dan pejabat meragukan negara itu dapat mencapai "kekebalan kawanan" kecuali anak-anak divaksinasi.
Tetapi pembuat kebijakan juga mengatakan bahwa vaksinasi anak-anak yang lebih kecil dimaksudkan pertama dan terutama untuk melindungi kesehatan individu mereka dan bukan hanya untuk menghentikan penularan virus.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
COVID-19 Menimpa Anak
Dalam seminggu terakhir mereka telah menekankan bahwa meskipun COVID-19 jarang terjadi secara parah pada anak kecil, banyak yang tidak menunjukkan gejala sama sekali, namun dapat membawa risiko dalam jangka panjang.
Kementerian Kesehatan Israel memperkirakan satu dari 3.500 anak yang terinfeksi virus corona nantinya akan mengalami Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) di mana bagian tubuh menjadi meradang, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, dan organ pencernaan. Sebagian besar anak yang menderita kondisi tersebut memerlukan perawatan intensif dan 1-2 persen di antaranya meninggal.
Para pejabat juga telah mencatat risiko gejala yang berkepanjangan, seperti gangguan tidur, nyeri otot, kehilangan penciuman dan pengecapan, sakit kepala dan batuk, yang umumnya dikenal sebagai "COVID panjang".
Sebuah survei oleh kementerian kesehatan terhadap lebih dari 13.000 anak menunjukkan bahwa sekitar 11 persen dari mereka menderita gejala yang berkepanjangan, dengan 1,8 persen hingga 4,6 persen, tergantung pada usia mereka, enam bulan setelah pemulihan.
"Semua fenomena ini bisa menjadi parah dan kami ingin mencegahnya," kata Menteri Kesehatan Nitzan Horowitz kepada anggota parlemen.
Advertisement