Jokowi-Xi Jinping Bertemu, Pengamat: China Ingin Pegang Indonesia

Presiden RI Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang akan melaksanakan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping,yang dijadwalkan berlangsung di Beijing, China, pada Selasa (26/7).

diperbarui 26 Jul 2022, 12:06 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2022, 11:33 WIB
Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana bertolak menuju Beijing
Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana bertolak menuju Beijing, China untuk memulai rangkaian kunjungan luar negeri ke tiga negara di kawasan Asia Timur (Foto: Biro Sekretariat Presiden)

, Beiijing - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah tiba di Beijing China pada 25 Juli 2022. Kedatangannya untuk bertemu Presiden Xi Jinping menjelang KTT G20 di Bali akhir tahun ini.

Lawatan ke Asia Timur ini kemudian akan dilanjutkan ke Jepang dan Korea Selatan.   

Presiden RI Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang akan melaksanakan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping,yang dijadwalkan berlangsung di Beijing, China, pada Selasa (26/7).

Presiden Xi Jinping diketahui tidak menerima kunjungan kenegaraan secara resmi sejak pecahnya pandemi COVID-19, kecuali dalam perhelatan Olimpiade Musim Dingin Beijing pada awal tahun 2022.

Kerjasama dalam berbagai sektor akan menjadi fokus pembahasan pertemuan Jokowi dengan Xi nantinya. Terlebih China merupakan salah satu negara yang dipandang sebagai mitra terpenting ASEAN serta forum G20.

China saat ini merupakan mitra dagang Indonesia terbesar, dengan nilai total perdagangan mencapai US$110 Miliar. Serta investor ketiga terbesar dengan nilai investasi mencapai US$3,2 miliar pada tahun 2021 silam.

Rangkaian lawatan Jokowi ke Asia Timur

Selain China, Jokowi juga dijadwalkan bertandang ke Jepang dan Korea Selatan setelahnya.

"Berbagai isu dari kerja sama perdagangan, investasi, kesehatan, infrastruktur, perikanan hingga isu kawasan dan dunia akan dibahas dengan para pemimpin ketiga negara tersebut,” ungkap Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam keterangan tertulisnya (26/7).

Sejumlah menteri dan jajaran terkait pun turut mendampingi Jokowi dalam lawatannya ke Asia Timur kali ini, di antaranya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Dorong Pemenuhan Kepentingan Nasional

Presiden Jokowi melakukan kunjungan luar negeri perdananya di masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia
Presiden Jokowi melakukan kunjungan luar negeri perdananya di masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia (dok: KBUMN)

Pakar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Aknolt Kristian Pakpahan menyoroti secara khusus pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Xi kali ini, yang sarat akan percepatan pemenuhan kepentingan nasional masing-masing negara.

Menurut Kristian, Indonesia memanfaatkan momentum pertemuan ini demi memastikan proyek ekonomi China yang ada di Indonesia, bisa terus berjalan di tengah kondisi ekonomi global yang sedang menghadapi krisis. "Jangan lupa, selain kita berbicara situasi COVID-19, krisis pangan dan energi akibat konflik Rusia-Ukraina, kita juga masih mempunyai tantangan besar ke depan bagaimana menghadapi perubahan yang terjadi akibat revolusi 4.0", kata Kristian.

Sementara China juga berupaya membuka diri terhadap Indonesia, guna memastikan Indonesia tetap berada di posisi netral dalam isu-isu yang melibatkan negara Tirai Bambu tersebut.

"Dalam konteks ASEAN, Indonesia dilihat sebagai salah satu negara besar, negara penting yang harus "dipegang” oleh China agar tetap netral," tambahnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Isu ekonomi di atas HAM

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)
Presiden Jokowi. (Istimewa)

China selama beberapa tahun terakhir, terus mendapat sorotan global terkait  dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis muslim Uighur di Xinjiang.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sejauh ini tak banyak bersikap kritis terkait tema ini. "Pasalnya, masih ada misi ekonomi Indonesia dengan China yang lebih krusial. Dalam konteks hubungan luar negeri, semua negara rasanya memegang prinsip tidak mencampuri urusan domestik. Jadi, isu-isu ini tidak akan dibahas", kata Kristian.

"Bayangkan, misalnya China dalam melakukan hubungan ekonomi dengan Indonesia,  membahas apa yang dilakukan di wilayah Indonesia, adanya pelanggaran HAM. Papua, misalnya. Bayangkan kalau misalnya kita diajak diskusi hal-hal seperti itu. Betul kita negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tapi kita tidak bisa men-judge China melakukan pelanggaran HAM terhadap kaum minoritas. Rasanya itu bukan langkah diplomasi yang baik kalau kita mengangkat isu-isu seperti itu“, ujar Kristian lebih lanjut.

“Kembali lagi tujuannya apa kita melakukan lawatan ke Asia Timur. Kita ingin membuka kerja sama ekonomi yang lebih luas, kok. Kalau kita ingin membuka kerja sama ekonomi yang lebih luas, masa kemudian membicarakan isu-isu yang “sensitif” kemudian negara yang mau dilakukan kerja sama merasa tersinggung. Jadi rasanya kita tidak akan membahas isu-isu seperti itu”, pungkas pakar hubungan internasional Universitas Katolik Parahyangan itu.

 

 

Warga Berbeda Pendapat Soroti Isu HAM

Pemerintah Indonesia Dorong Wisman Tiongkok Berkunjung ke Bali dan 10 Bali Baru
Presiden Jokowi dan Presiden RRT Xi Jinping menggelar pertemuan untuk membahas sektor perdagangan, investasi, ekonomi digital dan pariwisata Indonesia.

Sementara itu Affandy, salah seorang IT developer di perusahaan swasta berpendapat, pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping akan membawa keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Sementara persoalan Uighur lebih baik diserahkan saja ke PBB.

"Itu kan kebijakan luar negeri mereka ya. Kita [Indonesia] sebagai pihak yang netral hanya bisa berupaya mendamaikan kedua belah pihak. Tapi kalau misalnya tidak bisa, mungkin lebih tepatnya ke PBB karena mereka yang lebih bertanggung jawab mendamaikan kedua belah pihak,” kata Affandy.

Sementara itu, Prama yang bekerja di sebuah bank menganggap Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang setara dan tidak perlu terlalu bergantung kepada China. Sedangkan terkait isu Uighur, menurutnya Indonesia perlu bersikap serupa seperti terhadap konflik Israel-Palestina.

"Kalau memang ada pelanggaran HAM terhadap etnis tertentu, perlakuannya sama seharusnya seperti Indonesia dengan Israel dalam konteks Palestina. Namanya human rights itu adalah sesuatu yang pokok. Jika ada pelanggaran human rights oleh suatu negara, kita tidak perlu jalin hubungan dengan negara itu,” ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya