Liputan6.com, Kyiv - Serangan Rusia di kota Zaporizhzhia, Ukraina, menewaskan sedikitnya 23 orang dan melukai puluhan lainnya, ungkap seorang pejabat, pada Jumat (30/9/2022). Serangan itu terjadi hanya beberapa jam sebelum Rusia berencana mencaplok lebih banyak wilayah Ukraina, dalam eskalasi perang yang telah berlangsung selama tujuh bulan.
Gubernur wilayah Zaporizhzhia, Oleksandr Starukh membuat pengumuman dalam sebuah pernyataan online. Dia mengatakan setidaknya ada 28 orang terluka ketika pasukan Rusia menargetkan konvoi kemanusiaan yang menuju ke wilayah yang dikuasai Rusia.
Baca Juga
Dia memposting gambar-gambar kendaraan yang terbakar dan mayat-mayat yang tergeletak di jalan. Rusia tidak akan mengakui serangan itu.
Advertisement
Serangan terjadi ketika Rusia bersiap untuk mencaplok empat wilayah Ukraina setelah pemungutan suara referendum yang dikritik internasional dan ditodong senjata sebagai bagian dari invasi ke Ukraina. Wilayah tersebut termasuk daerah-daerah di dekat Zaporizhzhia, tetapi bukan kota itu sendiri, namun tetap berada di tangan Ukraina.
Starukh mengatakan, mereka yang berada dalam konvoi tersebut berencana melakukan perjalanan ke wilayah yang dikuasai Rusia untuk menjemput kerabat mereka dan kemudian membawa mereka ke tempat yang aman. Dia mengatakan, tim penyelamat telah berada di lokasi serangan.
Aneksasi - dan konser perayaan yang direncanakan serta demonstrasi di Moskow dan wilayah-wilayah yang dikuasai - akan dilakukan hanya beberapa hari setelah para pemilih diduga menyetujui "referendum" yang dikelola Rusia, di mana para pejabat Ukraina dan Barat telah mengecam sebagai ilegal, dipaksakan, dan dicurangi.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pada Kamis 29Â September bahwa empat wilayah Ukraina - Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia - akan bergabung dengan Rusia dalam upacara Kremlin yang dihadiri Presiden Vladimir Putin, yang diperkirakan akan memberikan pidato besar.
Sanksi Terhadap Rusia
Peskov mengatakan, para administrator pro-Moskow di daerah-daerah tersebut akan menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan Rusia di Aula St. George's Hall.
Sebagai tanggapan yang jelas, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengadakan pertemuan darurat pada Jumat (30/9) di Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasionalnya. Zelensky juga berusaha memanfaatkan sentimen anti-perang di Rusia dengan mengeluarkan video khusus yang ditujukan kepada etnis minoritas Rusia, terutama mereka yang berada di Dagestan, salah satu daerah miskin di negara itu di Kaukasus Utara.
"Anda tidak harus mati di Ukraina," katanya, mengenakan hoodie hitam yang bertuliskan dalam bahasa Inggris "I'm Ukrainian" dan berdiri di depan sebuah plakat di Kyiv yang mengenang apa yang disebutnya sebagai pahlawan Dagestan.
Dia menyerukan kepada etnis minoritas untuk menolak mobilisasi.
AS dan sekutu-sekutunya telah berjanji untuk mengadopsi lebih banyak sanksi dari yang telah mereka jatuhkan terhadap Rusia dan menawarkan jutaan dolar dalam bentuk dukungan ekstra untuk Ukraina, ketika Kremlin menduplikasi buku pedoman aneksasi yang diikuti ketika memasukkan Semenanjung Krimea Ukraina pada 2014.
Putin pada Jumat dini hari (30/9) mengeluarkan dekrit yang mengakui kemerdekaan wilayah Kherson dan Zaporizhzhia, langkah yang telah diambilnya pada Februari terkait Luhansk dan Donetsk, dan sebelumnya untuk Krimea.
Ukraina telah mengulangi sumpahnya untuk merebut kembali keempat wilayah tersebut, serta Krimea.
Â
Advertisement
Mempertahankan Wilayah
Sementara itu, Rusia berjanji untuk mempertahankan semua wilayahnya - termasuk wilayah yang baru dianeksasi - dengan segala cara yang tersedia, termasuk senjata nuklir.
Yang meningkatkan ketegangan adalah mobilisasi militer parsial Rusia dan tuduhan sabotase dua jaringan pipa Rusia di dasar Laut Baltik yang dirancang untuk memasok gas alam ke Eropa.
Yang menambah kesengsaraan Kremlin adalah keberhasilan Ukraina dalam merebut kembali beberapa tanah yang dianeksasi Rusia dan masalah dengan mobilisasi yang diakui Presiden Vladimir Putin pada Kamis (29/9).
Pendukung Barat Ukraina telah menggambarkan referendum yang dikelola secara bertahap tentang apakah akan hidup di bawah kekuasaan Rusia sebagai perampasan tanah yang didasarkan pada kebohongan.
Mereka mengatakan beberapa orang dipaksa untuk memberikan suara di bawah todongan senjata dalam pemilihan tanpa pengamat independen di wilayah yang ribuan penduduknya telah melarikan diri atau dideportasi secara paksa.
Â
Melanggar Piagam PBB
Dalam bahasa yang luar biasa kuat, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan kepada wartawan pada Kamis (29/9) di New York bahwa aneksasi Rusia akan melanggar Piagam PBB dan "tidak memiliki nilai hukum."
Dia menggambarkan langkah itu sebagai "eskalasi berbahaya" dan mengatakan itu "tidak boleh diterima."
"Setiap keputusan Rusia untuk maju akan semakin membahayakan prospek perdamaian," ujar Guterres.
Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memegang hak veto, Rusia memikul "tanggung jawab khusus" untuk menghormati Piagam PBB, tutur sekretaris jenderal.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan, Guterres menyampaikan pesan itu kepada duta besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, pada Rabu (28/9).
Sebagai pukulan besar bagi upaya perang Rusia, Institut Studi Perang yang berbasis di Washington mengatakan pasukan Ukraina mungkin akan segera mengepung Lyman, 160 kilometer (100 mil) tenggara Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina.
"Runtuhnya kantung Lyman kemungkinan akan sangat berpengaruh pada pengelompokan Rusia" di wilayah Donetsk utara dan Luhansk barat serta "dapat memungkinkan pasukan Ukraina mengancam posisi Rusia di sepanjang wilayah Luhansk barat", demikian ungkap lembaga tersebut, mengutip laporan Rusia.
Advertisement