Liputan6.com, Jakarta - Lelah, bosan, semuanya bisa ditandakan dengan menguap.
Padahal, kalau dipikir-pikir, hanya menghirup udara secara besar-besaran sepertinya tidak ada gunanya.
Tapi di balik itu semua, rupanya aktivitas menguap bisa meringankan kita dari rasa lelah dan bosan tersebut.
Advertisement
Dilansir dari DW.com, senin (09/02/2015) orang menguap sekitar 250.000 kali selama hidupnya. Dan setiap harinya orang menguap lima sampai 10 kali.
Mengapa dan kenapa kita harus menguap? Berikut alasannya.
1. Menghilangkan Karbon Dioksida
Sebagian orang menguap bisa dibilang menghilangkan carbon dioxide, kemudian digantikan dengan mengambil banyak oksigen.
Tetapi penelitian membantah hal itu. Menurut teori ini, pada umumnya orang bernapas lebih lambat saat oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Saat carbon dioxcide atau CO2 menumpuk di dalam darah, maka secara otomatis otak akan merespon serta memberikan refleks mendorong napas dalam jumlah yang kaya akan oksigen. Namun, permasalahan dengan teori ini adalah yaitu penelitian pada tahun 1987 oleh mendiang Dr. Robert Provine, dia merupakan seorang profesor di University of Maryland Baltimore County, yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai ahli menguap terkemukan di dunia.
Provine melakukan percobaan dengan para sukarelawan, dimana mereka menghirup salah satu dari empat gas yang mengandung berbagai rasio carbon dioxide, terhadap oksigen selama 30 menit.
Diketahui bahwa percobaan tersebut mengandung udara normal sekitar 20,95% oksigen dan 0,03% carbon dioxide mengutip dari Mental Floss, (31/12/2008). Tetapi, tidak satupun dari gas dalam percobaan dengan konsentrasi CO2 yang lebih tinggi, menyebabkan subjek penelitain menguap lebih banyak.
Advertisement
2. Menguap Bisa Mendinginkan Otak
Pada tahun 2007 silam, dua peneliti yang berasal dari University of Albany menyebut bahwa menguap merupakan cara untuk mendinginkan otak. Mereka juga sama melakukan percobaan yang mirip dengan Provine.
Dan ternyata ditemukan bahwa, menaikan atau menurunkan kadar oksigen dan carbon dioxide yang terbentuk dalam darah, tidak mengubah jumlah atau lamanya menguap.
Selanjutnya mereka juga bereksperimen yang hanya berfokus pada dua mekanisme pendinginan otak yang benar, yaitu pernapasan hidung dan pendinginan dahi.
Ketika bernafas melalui hidung, ternyata hal tersebut bisa mendinginkan pembulu darah yang ada di rongga hidung. Kemudian, darah yang dingin tersebut dikirimkan ke otak.
Begitu juga saat mendinginkan dahi, pembuluh darah yang ada di sekitar dahi ini, yang sebagian terhubung langsung ke otak. Akan mengalirkan darah yang lebih dingin. Para peneliti juga melakukan penelitian dengan menggunakan handuk hangat atau suhu kamar, kepada para subjek uji.
Peneliti menekan handuk tersebut ke kepala dan para subjek ini menguap lebih banyak, ketimbang mereka menggunakan handuk dingin. Beberapa subjek yang bernapas melalui hidung selama percobaan, tidak menguap sama sekali.
Para peneliti memberikan bukti mereka, dengan menunjukan bahwa menghirup banyak udara dengan menguap, dapat mendinginkan otak dan menjaga keefesiensian mental.
3. Berkaitan dengan Sosiologi dari pada Fisiologi
Hampir semua hewan vertebrata atau hewan tulang lunak menguap secara spontan. Tetapi, hanya manusia, simpanse, dan kera saja yang menguap karena melihat individu lain melakukan hal yang sama.
Mengingat bahwa makhluk sosial yang hidup secara berkelompok. Mungkin saja menguap yang menular, telah berevolusi sebagai salah satu cara untuk mengoordinasikan perilaku dan mempertahankan kewaspadaan kelompok.
Karena, ketika ada seseorang yang menguap, kelompok tersebut menganggap itu sebagai bukti bahwa suhu otak mereka naik dan efesiensi mental mereka menurun.
Jika semua anggota kelompok kemudian menguap, tingkat kewaspadaan keseluruhan dalam kelompok itu meningkat. Pada manusia, yang telah mengembangkan cara lain untuk memberi sinyal seberapa waspada mereka seharusnya, menguap yang menular mungkin tetap sebagai cara respons yang ketertinggalan.
Advertisement