Liputan6.com, Stockholm - Statistik resmi Komisi Eropa menyebut bahwa Swedia telah mengusir 1.100 warga negara Inggris sejak Brexit.
Melansir The Guardian, Kamis (6/4/2023), jumlah tersebut diketahui lebih banyak dari negara lain di Uni Eropa.
Angka yang cukup besar itu muncul ketika sebuah kasus kontroversial diberitakan, di mana seorang wanita Inggris berusia 74 tahun dengan penyakit alzheimer diperintahkan untuk meninggalkan negara itu karena tidak memiliki surat izin tinggal pasca-Brexit.
Advertisement
Masyarakat menyebut pengusiran kontroversial itu sebagai keputusan yang sangat mengejutkan oleh otoritas imigrasi Swedia.
Angka setahun penuh yang dirilis pada tanggal 31 Maret oleh Eurostat, menempatkan negara Skandinavia itu dalam daftar teratas post-Brexit removal charts atau di puncak tangga pemindahan pasca-Brexit.
Swedia memiliki angka pengusiran yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang lebih padat penduduknya seperti Prancis dan Jerman.
Kedua negara itu telah mengeluarkan perintah pengeluaran masing-masing untuk 115 dan 40 warga negara Inggris sejak Brexit mulai berlaku.
Sedangkan Spanyol, Italia, Portugal, Slovakia, Slovenia, dan Luksemburg tidak mengeluarkan satu pun warga negara Inggris pada tahun 2021 atau 2022.
Setelah Swedia, Belanda menduduki peringkat kedua teratas atas jumlah pengusiran tertinggi, yaitu sebanyak 720, diikuti oleh Malta dengan angka 135 dan dan Prancis dengan angka 115.
Total, sebanyak 2.610 warga negara Inggris pada tahun 2021 dan 2022 yang dihapus dari UE.
Data Eurostat menunjukkan bahwa 1.350 berusia di atas 35 tahun, 1.025 berusia antara 18 dan 34 tahun, 35 remaja berusia antara 14 dan 17 tahun, dan 170 anak berusia di bawah 14 tahun.
Angka Tersebut Terlalu Besar
David Milstead, seorang profesor fisika Inggris yang tinggal di Swedia yang merupakan bagian dari kelompok kampanye Inggris di negara itu, mengatakan angka tersebut mengkhawatirkan.
Menolong salah satu warga Inggris, Kathleen Poole, wanita pengidap alzheimer, yang keluarganya sedang berjuang melawan pemindahan, Milstead meminta otoritas imigrasi untuk menghentikan deportasi keluarga itu.
Profesor itu menuntut penjelasan, :Mereka juga perlu memberikan penjelasan mengapa Swedia mengeluarkan sekitar 50 persen dari semua pemberitahuan deportasi di zona Schengen."
Ia juga mempertanyakan, mengapa Swedia menolak lebih banyak aplikasi tempat tinggal daripada negara UE lainnya untuk penarikan perlindungan perjanjian.
"Ini telah menjadi masalah yang berkembang dan jelas. Sejumlah warga lama terpaksa pergi," katanya, menyebut kasus keluarga Poole sebagai salah satunya.
Milstead juga meminta Swedia untuk meninjau bagaimana mereka memperlakukan aplikasi yang terlambat untuk residensi pasca-Brexit oleh warga negara Inggris.
Ia menyebutkan bahwa program jangkauan Swedia untuk warga negara Inggris sangat lemah dan sejauh ini sekitar 900 aplikasi terlambat telah diterima.
"Belum terlambat untuk membantu mereka yang aplikasinya belum diputuskan atau yang memohon untuk tetap tinggal," katanya.
Advertisement
Banyak Dikritik, Orang Rentan Seharusnya Dilindungi
Sejatinya telah disebutkan dalam perjanjian penarikan yang ditandatangani oleh Inggris dan UE, semua warga negara UE yang tinggal secara sah di Inggris dan warga negara Inggris yang tinggal di negara UE atau Wilayah Ekonomi Eropa sebelum Brexit, berhak untuk tinggal di negara-negara tersebut selama sisa hidup mereka.
Anggota parlemen dari Partai Buruh Hilary Benn menyebut bahwa rencana mengeluarkan Kathleen Poole sangat patut dipertanyakan, orang-orang rentan seharusnya justru dilindungi oleh perjanjian itu.
Penerapan perjanjian penarikan di Denmark juga dikritik setelah sejumlah warga negara Inggris menerima perintah penghapusan.
Padahal mereka hanya terlambat beberapa hari dari batas waktu pengajuan status keresidenan pasca-Brexit.
Untungnya, pemerintah Denmark akhirnya mengangkat ancaman deportasi itu dengan undang-undang domestik baru untuk memberikan kesempatan ekstra bagi mereka yang tidak menyadari bahwa mereka harus mengajukan dokumen baru.
Badan migrasi Swedia tidak mengomentari data Eurostat.
Namun, mereka mengatakan bahwa sehubungan dengan perjanjian penarikan, alasan "paling umum" untuk menolak aplikasi dari warga Inggris adalah karena alasan berikut.
"Aplikasi yang tidak lengkap, aplikasi yang terlambat tanpa alasan yang masuk akal, dan pelamar yang tidak memenuhi persyaratan untuk status kependudukan."
Ekonomi dan Politik Inggris Berantakan, Pengamat: Kemunduran Pasca Brexit
Brexit diketahui memberi banyak dampak, perjanjian ini mempengaruhi berbagai sektor di Inggris.
Kondisi ekonomi serta politik di Inggris saat ini sedang tidak menentu. Hal ini terbukti sejak mundurnya Perdana Menteri Liz Truss yang baru menjabat selama 45 hari.
Ditambah lagi, situasi dunia internasional juga kurang mendukung untuk mengalami pertumbuhan ekonomi.
"Inggris memang mengalami masa yang sulit pasca COVID-19, harus menguatkan adaptasinya dengan situasi pasca Brexit jadi mereka mengalami multi crisis," ujar Irma, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga kepada Liputan6.com, Sabtu (22/10/2022).
Namun, sambung Irma, Inggris secara domestik juga mengalami ujian politik, terlebih ketika masa pemerintahan Boris Johnson yang rupanya gagal diselesaikan.
Irma melanjutkan bahwa sebenarnya besar harapan masyarakat Inggris terhadap Liz Truss setelah pemerintahan Johnson, namun kemudian juga gagal dilakukan kemudian.
"Ini adalah proses adaptasi yang ekstrem bagi Inggris, apalagi terutama ketika mereka terpisah dari sekutunya Uni Eropa," sambungnya lagi.
Hal ini diperparah dengan perang Ukraina dan Rusia serta ancaman resesi ekonomi dan banyak persaingan antar negara.
Advertisement