Liputan6.com, Botswana - Pada bulan Mei dan Juni 2020, muncul kebingungan di kalangan pegiat konservasi akibat kematian sekitar 350 ekor gajah di Delta Okavango, Botswana.
Sebagai akibat dari kejadian tersebut, muncul berbagai dugaan dari seluruh dunia mengenai penyebabnya. Gajah-gajah dari beragam usia dan jenis kelamin terkena dampaknya, banyak di antaranya menunjukkan gejala kebingungan sebelum tiba-tiba mati atau pingsan.
Dua bulan berikutnya, ada lagi 35 gajah ekor yang ditemukan meninggal di daerah barat laut Zimbabwe.
Advertisement
Melansir dari The Guardian, Jumat (27/10/2023), pada saat itu, pemerintah setempat menyatakan bahwa kematian gajah di Botswana disebabkan oleh racun sianobakteri, tetapi tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan kepada publik.
Setelah dilakukan pengujian terhadap gajah-gajah yang meninggal di Zimbabwe, akhirnya terungkap bahwa penyebabnya adalah bakteri yang sedikit diketahui bernama Pasteurella Takson Bisgaard 45, yang mengakibatkan septikemia atau keracunan darah.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications, sebelumnya belum pernah terdengar bahwa infeksi bakteri tersebut dapat menyebabkan kematian gajah. Para peneliti meyakini bahwa hal tersebut mungkin merupakan penyebab yang serupa dari kematian gajah di negara-negara sekitarnya.
"Hal ini mewakili keprihatinan konservasi yang penting bagi gajah dalam meta-populasi terbesar yang tersisa dari spesies yang terancam punah ini," tulis para peneliti dalam jurnal tersebut.
Laporan tersebut ditulis oleh tim peneliti internasional dari Victoria Falls Wildlife Trust, University of Surrey, laboratorium di Afrika Selatan, dan Badan Kesehatan Hewan dan Tumbuhan (Animal and Plant Health Agency/APHA) milik pemerintah Inggris.
Ancaman Terhadap Gajah Sabana Afrika
Jumlah gajah sabana Afrika menurun sekitar delapan persen tiap tahunnya, terutama akibat perburuan liar. Saat ini, hanya tersisa sekitar 350.000 ekor di alam liar. Jurnal tersebut menyarankan agar penyakit menular juga harus dianggap sebagai ancaman serius terhadap kelangsungan hidup mereka.
Dr. Arnoud van Vliet dari University of Surrey menyatakan bahwa infeksi tersebut menjadi tambahan dalam daftar risiko penyakit bagi konservasi gajah. Gajah adalah hewan yang sangat suka berinteraksi, dan situasi kekeringan pada saat itu kemungkinan menyebabkan tingkat stres yang tinggi, membuat wabah tersebut lebih mungkin terjadi.
Sebelumnya, bakteri Pasteurella pernah terkait dengan kematian mendadak sekitar 200.000 antelop saiga di Kazakhstan. Kejadian tersebut diyakini oleh para peneliti sebagai kunci untuk memahami apa yang terjadi pada kawanan gajah.
Para ilmuwan percaya bahwa bakteri Pasteurella biasanya tak berbahaya saat berada di amandel beberapa, bahkan mungkin seluruh antelop. Namun, ketika suhu tiba-tiba naik hingga mencapai 37 derajat Celcius, bakteri ini dapat masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan septikemia.
Advertisement
Temuan Takson Bisgaard 45 dan Teori Penyebab Kematian
Menurut penelitan tersebut, Takson Bisgaard 45 sebelumnya telah ditemukan pada harimau dan singa, ditemukan melalui pengujian luka gigitan pada manusia, serta pada tupai dan psittacines.
Para ahli telah memeriksa berbagai kemungkinan, termasuk sianida yang digunakan oleh sebagian orang untuk meracuni gajah. Namun, tidak ditemukan jejak racun baik di tubuh gajah yang sudah mati maupun di sekitar tempat minum mereka.
Ada juga teori bahwa gajah mungkin mengonsumsi racun dari pertumbuhan alga. Kemungkinan perburuan cepat dikesampingkan karena gading masih utuh pada bangkai gajah.
Penyelidik utama, Dr. Chris Foggin, seorang dokter hewan satwa liar di Victoria Falls Wildlife Trust, mengatakan penyelidikan kematian massal tersebut merupakan " tantangan".
"Seringkali kami menghadapi kesulitan dalam mengenali dan mengambil sampel dari bangkai tepat pada waktunya untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat," ungkapnya.
Upaya Mengidentifikasi Penyakit dan Kendala Lapangan
Dr. Chris Foggin juga mengungkapkan bahwa mereka juga belum mengetahui jenis penyakit apa yang mungkin sedang dihadapi.
"Awalnya kami curiga itu adalah penyakit antraks, yang diketahui banyak terjadi di daerah tersebut; atau mungkin penyakit lain yang mungkin menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu kami harus berhati-hati ketika melakukan pemeriksaan postmortem pada gajah yang merupakan tugas sulit bagi hewan sebesar itu, terutama jika bekerja di kondisi lapangan."
Ilmuwan tidak bisa pergi ke lokasi di negara tetangga Botswana, dan sebagian besar sampel yang mereka miliki berasal dari hewan yang sudah mengalami pelapukan.
Menurut makalah tersebut, penemuan tentang keracunan darah mungkin mencerminkan situasi yang sedang berlangsung di daerah itu, di mana kasus-kasus sebelumnya mungkin tidak terdeteksi karena minimnya pengujian.
Advertisement