Sengsara 50.000 Ibu Hamil dan Bayi Baru Lahir di Gaza Akibat Kebrutalan Israel

Hingga hari ini, otoritas kesehatan Gaza tidak dapat memperbarui total korban tewas sejak Jumat 10 November karena petugas medis tidak mampu menjangkau daerah yang terkena pengeboman Israel.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 13 Nov 2023, 21:39 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2023, 21:39 WIB
Anak-Anak Palestina
Dokter Palestina merawat bayi yang lahir prematur di Rumah Sakit Al Aqsa, Deir el-Balah, Jalur Gaza, Minggu (22/10/2023). (AP Photo/Adel Hana)

Liputan6.com, Gaza - Kantor Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA) pada Minggu (12/11/2023), memperingatkan bahaya yang menghantui terhadap kesehatan dan keselamatan ribuan ibu hamil dan bayi baru lahir di Gaza menyusul krisis makanan, air, obat-obatan, perawatan kebidanan, dan bahan bakar.

"Di tengah peperangan yang sedang berlangsung, terdapat sekitar 50.000 ibu hamil di (Gaza). Lebih dari 180 orang melahirkan setiap hari dan ribuan lainnya akan melahirkan dalam beberapa pekan mendatang," sebut UNOCHA.

"Kesehatan mereka dan bayi baru lahir, bergantung pada akses terhadap makanan, air, obat-obatan, bahan bakar, dan perawatan kebidanan."

Menurut PBB, seperti dilansir The Guardian pada Senin (13/11), 20 dari 36 rumah sakit di Gaza tidak lagi berfungsi, termasuk al-Shifa yang merupakan rumah sakit terbesar di daerah kantong itu. Dilaporkan terdapat ratusan pasien dan ribuan orang yang terjebak di Rumah Sakit al-Shifa, yang dikepung Israel sejak Jumat (10/11).

Sementara itu, Direktur Jenderal Rumah Sakit di Gaza Muhammed Zaqout menuturkan pada Minggu bahwa otoritas kesehatan Gaza tidak dapat memperbarui total korban tewas sejak Jumat 10 November karena petugas medis tidak mampu menjangkau daerah yang terkena pengeboman Israel.

UNOCHA mengonfirmasi hal ini pada Minggu, dengan menulis, "Pada 12 November, untuk hari kedua berturut-turut, setelah terputusnya layanan dan komunikasi di rumah sakit di wilayah utara, otoritas kesehatan di Gaza tidak memperbarui angka korban jiwa."

Update terakhir menyebutkan total 11.078 warga Palestina di Gaza tewas akibat serangan bertubi-tubi Israel, di mana 4.506 di antaranya adalah anak-anak dan 3.027 adalah perempuan.

"Sekitar 2.700 lainnya, termasuk sekitar 1.500 anak-anak, dilaporkan hilang ... Sebanyak 27.490 warga Palestina lainnya dilaporkan terluka," sebut PBB.

Banyak Warga Sipil Masih Berada di Utara Gaza

Warga Gaza Mengungsi
Mereka melewati koridor kemanusiaan IDF yang didirikan pada Selasa (7/11/2023) pagi. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Di Yarmouk, pusat Kota Gaza, Nidaa Moien (32) berbicara kepada Middle East Eye melalui telepon sambil menyaksikan bom Israel jatuh di area sekitar rumahnya dan menyebabkan kebakaran pada sejumlah bangunan.

Dia dan keluarganya termasuk di antara puluhan ribu warga Palestina yang masih belum meninggalkan rumah mereka di Kota Gaza di tengah intensifnya pengeboman Israel.

"Sebagian besar orang masih di sini, banyak kerabat saya yang belum meninggalkan rumah mereka, dan kami bahkan melihat orang-orang yang meninggalkan rumah mereka di bagian lain Kota Gaza datang ke lingkungan kami meskipun kondisinya juga tidak aman," kata Moien, seperti dikutip dari laporan Middle East Eye yang dipublikasikan pada Minggu.

"Saat saya menelepon teman-teman saya yang mengungsi dari rumahnya ke wilayah selatan, saya merasa tinggal di belahan dunia yang berbeda. Kami benar-benar merasa terisolasi meski terpisah jarak beberapa kilometer."

Pada hari pertama perang besar-besaran Israel di Gaza, Moien, suaminya, dan anaknya yang berusia dua bulan meninggalkan rumah mereka untuk berlindung di rumah mertua mereka di lingkungan terdekat.

Kemudian, selama pengungsian massal penduduk Jalur Gaza bagian utara dan Kota Gaza pada 13 Oktober pasca ultimatum Israel agar lebih dari satu juta warga sipil mengungsi selama 24 jam, dia dan keluarganya mencari perlindungan di Khan Younis, di selatan Gaza.

Namun, mereka kembali seminggu kemudian setelah menyaksikan pengeboman Israel yang tidak kalah dahsyat di sana.

"Kami pikir tidak perlu tinggal di sana, sementara intensitas pengeboman masih sama," tutur Moien.

"Tetapi yang terpenting, kami tidak dapat tinggal lebih lama karena jumlah pengungsi yang mengungsi di rumah kerabat kami banyak dan persediaan makanan serta air terbatas. Kami pikir lebih baik kembali ke rumah, di mana kami punya persediaan makanan dan sedikit air."

Moien mengaku, yang paling dikhawatirkannya adalah stok makanan.

"Seringkali, kami bahkan tidak bisa mendekati jendela, takut ada penembak jitu di dekat lingkungan kami. Kami tidak bisa meninggalkan rumah karena alasan apapun. Bahkan jika kami pergi, kami tidak akan menemukan pasar yang masih buka," beber Moien.

Dia menambahkan bahwa kerabat dan teman-temannya yang telah pergi selama seminggu terakhir mengisahkan, mereka mengalami mimpi buruk yang nyata; terpaksa berjalan beberapa kilometer dengan pengeboman terus terjadi di sekitar mereka.

Moien juga was-was soal perawatan medis.

"Saya khawatir jika kami tinggal di sini dan ada di antara kami yang terluka ... kami tidak akan menemukan rumah sakit atau klinik yang masih buka di seluruh kota. Klinik di sekitar kami ditutup karena kurangnya bahan bakar dan rumah sakit utama saat ini dikepung oleh tank Israel. Siapa pun yang mendekati akan ditembak," ujar Moein.

Tidak Ada Tempat untuk Melahirkan

Penghormatan untuk anak-anak Gaza di pantai Brasil
Kementerian Kesehatan yang berbasis di Gaza mengatakan pada hari Jumat bahwa jumlah korban tewas mencapai 9.250 orang, termasuk 3.826 anak-anak dan 2.405 perempuan. (Carl DE SOUZA / AFP)

Di lingkungan tempat Moien tinggal, seorang perawat yang bekerja di bangsal bersalin Rumah Sakit al-Sahaba di Kota Gaza mengatakan bahwa rumah sakit tersebut ditutup akhir pekan lalu karena kekurangan bahan bakar. Itu adalah bangsal bersalin terakhir di Kota Gaza, yang berarti ibu hamil tidak akan bisa menjalani operasi caesar.

"Saat ini tidak ada tempat di mana perempuan hamil bisa melahirkan. Tidak ada rumah sakit atau klinik bersalin yang buka," ungkap Aya Muhammed, perawat berusia 25 tahun, kepada Middle East Eye.

"Kami perkirakan puluhan perempuan hamil akan meninggal karena mereka terpaksa melahirkan sendirian di rumah."

Selain itu, wanita yang mengalami keguguran pun tidak akan dapat menerima perawatan medis yang mereka perlukan untuk menyelamatkan nyawa.

"Sejak awal perang, kami telah menerima puluhan kasus perempuan mengalami keguguran karena takut akan bom dan stres berat," kata Aya.

Saksi mata mengatakan kepada Middle East Eye bahwa suami dan kerabat dari ibu hamil yang diperkirakan akan segera melahirkan berkeliaran di lingkungan mereka untuk mencari dokter yang tinggal atau berlindung di dekatnya untuk membantu proses kelahiran di rumah.

Pada Minggu pagi, pasukan Israel bahkan mengebom bangsal bersalin di Rumah Sakit al-Shifa, menewaskan sedikitnya tiga perawat.

"Seorang rekan perawat yang tinggal di jalan Tal al-Hawa mengatakan kepada saya bahwa dia melihat banyak mayat di jalan dari jendelanya. Tidak ada yang bisa mengambil atau mendekati mereka," kata Aya.

"Mereka yang terluka dibiarkan mati kehabisan darah ketika penembak jitu Israel langsung menembaki siapapun yang mencoba mendekati mereka. Kami menyaksikan para pasien dan korban luka meninggal sementara kami tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa mereka.Semua persediaan penyelamat jiwa telah diputus. Kini, hanya menunggu nasib kami."

 

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya