Liputan6.com, Khan Younis - Kisah haru ini dilansir dari Al Jazeera yang ditulis bersama Egab, Senin (27/11/2023).
Pada dini hari 24 Oktober pukul 01.00, sekelompok petugas pertama di Khan Younis mendapat panggilan bahwa ada serangan udara Israel di dekatnya.
Baca Juga
Bersama rekan-rekannya, Sayyed Mohammed Abu Jamei bergegas ke lokasi dan mulai menggali puing untuk mencari korban yang selamat.
Advertisement
Di tengah kebingungan menyisir puing-puing, Sayyed menemukan tubuh saudaranya sendiri, Hussein. Ia terkejut dan dilanda kesedihan. Ia mendengarkan ratapan yang semakin keras di sekitarnya, lalu menyadari bahwa suara tangis itu berasal darinya sendiri.
Ibunda Hussein, istri Hadeel Abu Abed, dan anak-anak mereka segera menuju rumah sakit setelah tahu kabar ini.
Mereka tiba hanya beberapa saat sebelum pemakamannya, hanya punya waktu sebentar untuk berpamitan di ruang jenazah yang sangat penuh.
"Mereka hanya punya satu menit untuk berpamitan," ujar Sayyed (46). "Anak-anak berhasil menciumnya. Tapi istrinya dan ibuku hanya melihatnya untuk terakhir kalinya.
“Ibu saya ingin menciumnya, tapi tidak bisa karena kerumunan.”
Bicara kepada Al Jazeera di area tunggu rumah sakit, mata Sayyed melayang saat dia mencoba menggambarkan siapa adiknya: "Dia baik, dia penuh pertimbangan, dia sopan," berulang-ulang dia mengatakan.
Hussein baru berusia 32 tahun saat meninggal, terbunuh oleh misil Israel yang menghantam lingkungan permukiman di selatan Khan Younis tempat dia mencari perlindungan bersama teman-temannya dan keluarga besarnya.
Mimpi Hussein adalah melunasi utang yang diambil untuk membangun apartemen kecil di atas rumah orang tuanya dan membeli mobil.
Dan nanti pada akhirnya, dia ingin mengumpulkan uang untuk membeli tanah guna membangun rumah yang lebih besar bagi istri, tiga anaknya, dan bayinya yang belum lahir.
Bermimpi Bangun Rumah Sendiri
Dia, almarhum Hussein, kata Sayyed, sering bercerita pada saudaranya seberapa ingin anak-anaknya memiliki hunian di mana mereka bisa menciptakan kenangan indah.
Untuk mewujudkan mimpi ini, Hussein bekerja berjam-jam sebagai sopir, melakukan pekerjaan serabutan dari senja hingga fajar di Jalur Gaza yang terkepung.
"Adik saya adalah orang yang disukai sejak pertama kali dikenal," kata Sayyed. "Dia memiliki ketenangan dan kedamaian yang jadi daya tarik orang pada dirinya."
Dua puluh hari sebelum terbunuh, Hussein membawa istri yang sedang hamil dan tiga anaknya, Abdallah (10), Ahmed (7), dan Hoda (3), untuk tinggal di rumah mertuanya di Bani Souhaila, lebih ke selatan di Jalur Gaza. Dia juga meninggalkan apartemen keluarga di bagian timur Khan Younis dan pindah ke bagian selatan kota.
Sebuah keluarga kecil bahagia
Hadeel dan Hussein adalah tetangga yang jatuh cinta.
Mereka melaksanakan pernikahan tradisional Palestina, lengkap dengan zaffeh (prosesi pernikahan) dan merayakan ulang tahun pernikahan setiap tahun.
"Hadeel adalah segalanya baginya," kata Sayyed. "Dia menghargai dan menghormatinya, dan berusaha memberinya segala yang dia butuhkan."
“Pada hari kelahiran setiap anaknya, Hussein sangat bahagia dan membagikan permen di lingkungan untuk berbagi kegembiraannya,” tambah Sayyed.
"Hussein memiliki ikatan istimewa dengan anak-anaknya. Dia seperti anak kecil dan sangat mencintai anak-anaknya meskipun hidupnya sulit."
"Dia selalu menyempatkan waktu dari hari sibuknya untuk bermain dengan mereka dan melakukan hal-hal yang mereka sukai. Dia bahkan suka bermain dengan mereka di jalanan."
Advertisement
Selalu Rindukan Anak-Anaknya
Hussein sangat merindukan anak-anaknya selama periode mereka terpisah, kata Sayyed.
Dia mencoba melihat mereka sesering mungkin, terakhir kali adalah sehari sebelum dia tewas. Meskipun berbahaya, dia juga mengecek orang tuanya di Distrik al-Zana di timur Khan Younis, lima kilometer (3,1 mil) dari tempatnya tinggalnya, setiap dua hingga tiga hari.
“Hussein memiliki hubungan yang sangat hangat dan penuh kasih dengan orang tua dan saudara-saudaraku. Dia sangat melekat pada anak-anak dan istrinya. Tuhan tolong mereka. Dia pasti akan membantu anak-anak dengan pekerjaan rumah mereka, dia ingin mereka berhasil. Dia bahkan memanggil mereka ‘Dokter Abdallah’, ‘Dokter Hoda’,” kata Sayyed, suaranya gemetar.
Duka Atas Kehilangan Orang Tersayang
Ditanya tentang bagaimana keadaan istri Hussein, dia berkata dengan putus asa: “Kami memiliki 10.000 syuhada di Gaza. Dia bereaksi seperti orang-orang yang kehilangan orang yang mereka sayangi.”
Sayyed yang hampa dan lelah memikirkan apa yang diinginkan oleh adiknya jika dia masih hidup.
“Dia bukan orang dengan ambisi besar. Dia hanya ingin apa yang diinginkan oleh pria muda pada umumnya: bahagia, memiliki kehidupan yang layak, dan hidup dalam damai.”
Advertisement