Korea Utara dan Korea Selatan Memanas, Kim Jong Un: Kami Tidak Ingin Perang, Tapi Tidak Berniat Menghindarinya

Dalam pidatonya di hadapan majelis tertinggi rakyat – parlemen Korea Utara – Kim Jong Un mengatakan dia tidak lagi percaya bahwa unifikasi dapat dilakukan dan menuduh Korea Selatan berupaya mendorong perubahan rezim dan unifikasi secara sembunyi-sembunyi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 16 Jan 2024, 15:00 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2024, 15:00 WIB
Kim Jong Un
Pemimpin Korut, Kim Jong-un menggunakan teropong menyaksikan peluncuran balistik antarbenua Hwasong-14 Rudal, ICBM, di barat laut Korea Utara. Korea Utara mengklaim telah menguji rudal balistik antarbenua. (KRT via AP Video)

Liputan6.com, Pyongyang - Kim Jong Un menyerukan perubahan konstitusi untuk mengidentifikasi Korea Selatan sebagai negara musuh nomor satu. Langkahnya mengakhiri komitmen untuk menyatukan Semenanjung Korea.

Dalam pidatonya di hadapan majelis tertinggi rakyat – parlemen Korea Utara – Kim Jong Un mengatakan dia tidak lagi percaya bahwa unifikasi dapat dilakukan dan menuduh Korea Selatan berupaya mendorong perubahan rezim dan unifikasi secara sembunyi-sembunyi.

Tanda lain dari memburuknya hubungan antara kedua Korea, yang mengakhiri perang pada tahun 1950-1953 dengan gencatan senjata bukan perjanjian damai, adalah ketika Kim Jong Un mengatakan, "Kami tidak menginginkan perang, namun kami tidak memiliki niat untuk menghindarinya."

Kantor berita milik pemerintah Korea Utara, KCNA, mengabarkan pada Selasa (16/1/2024) bahwa Korea Utara akan menutup tiga lembaga yang mengawasi unifikasi dan pariwisata antar-Korea, yaitu Komite Reunifikasi Damai, Biro Kerja Sama Ekonomi Nasional, dan Administrasi Pariwisata Internasional Mount Kumgang.

"Dua negara yang paling bermusuhan, yang sedang berperang, kini berada dalam konfrontasi akut di Semenanjung Korea," demikian keputusan yang diadopsi oleh majelis tertinggi rakyat menurut KCNA, seperti dikutip dari The Guardian.

"Reunifikasi Korea tidak akan pernah bisa dicapai dengan Republik Korea - merujuk pada nama resmi Korea Selatan."

Kecaman dari Presiden Korea Selatan

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengambil sumpah saat pelantikannya di depan Majelis Nasional di Seoul, Korea Selatan, Selasa (10/5/2022). Presiden baru Korea Selatan itu mengatakan dia akan menyampaikan "rencana berani" untuk meningkatkan ekonomi Korea Utara jika denuklirisasi. (Jeon Heon-kyun/Pool Photo via AP)

Pernyataan Kim Jong Un langsung mendapat kecaman dari Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Dia menyebut Korea Utara anti-nasional.

Yoon Suk Yeol juga mengecam peluncuran rudal dan latihan tembak Korea Utara baru-baru ini di dekat perbatasan laut kedua negara dan memperingatkan bahwa provokasi akan mengundang pembalasan dalam skala yang berlipat ganda.

Pidato Kim Jong Un menandai penyimpangan dari kebijakan resmi selama beberapa dekade yang memandang rekonsiliasi dan unifikasi sebagai tujuan akhir, meskipun ketegangan di semenanjung sering meningkat.

Beberapa analis percaya bahwa dengan mengklasifikasikan Korea Selatan sebagai musuh terbesarnya, Korea Utara mungkin berupaya membenarkan penggunaan senjata nuklir dalam perang di masa depan.

Kim Jong Un, menurut KCNA, mengatakan perang akan menghancurkan Korea Selatan dan menimbulkan kekalahan yang tak terbayangkan terhadap sekutu terbesarnya, Amerika Serikat (AS), yang memiliki hampir 30.000 tentara yang ditempatkan di negara tersebut.

"Jika terjadi perang di Semenanjung Korea, saya pikir penting juga untuk merenungkan masalah pendudukan, penindasan, dan reklamasi sepenuhnya (Korea Selatan) dan memasukkannya ke dalam wilayah republik kita," tutur Kim Jong Un.

Dua Negara yang Bermusuhan

Bendera Korea Utara dan Korea Selatan berkibar berdampingan
Bendera Korea Utara dan Korea Selatan berkibar berdampingan. (Dok. AFP)

Memburuknya hubungan lintas batas baru-baru ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat Korea.

Dalam laporan yang diterbitkan pekan lalu oleh proyek 38 North yang berbasis di AS, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS Robert Carlin dan ilmuwan nuklir Siegfried Hecker mengatakan situasi di Semenanjung Korea lebih berbahaya daripada yang pernah terjadi sejak awal Juni 1950, sesaat sebelum dimulainya Perang Korea.

"Itu mungkin terdengar terlalu dramatis, tapi kami yakin, seperti kakeknya (Kim Il Sung) pada tahun 1950, Kim Jong Un telah membuat keputusan strategis untuk berperang," ungkap keduanya.

"Kami tidak tahu kapan atau bagaimana Kim Jong Un berencana melakukan aksinya, namun bahayanya sudah jauh melampaui peringatan rutin di Washington, Seoul, dan Tokyo mengenai 'provokasi' Pyongyang."

Dalam pertemuan Partai Buruh Korea akhir tahun lalu, kantor berita Yonhap melaporkan, Kim Jong Un telah menggambarkan Korea Utara dan Korea Selatan sebagai dua negara yang saling bermusuhan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya