Liputan6.com, Riyadh - Kabar bahwa Arab Saudi akan mengizinkan toko minuman keras alias miras pertamanya telah memicu beragam tanggapan.
Sumber-sumber yang mengetahui persiapan toko tersebut mengungkapkan rincian rencana pada Rabu (24/1/2024), ketika sebuah dokumen yang beredar menunjukkan betapa hati-hatinya para pemimpin Arab Saudi dalam mengelola operasinya.
Baca Juga
Cek Fakta: Tidak Benar Video Cristiano Ronaldo Nonton Langsung di Stadion Laga Arab Saudi Vs Timnas Indonesia
Terinspirasi Suporter Jepang, Fans Timnas Indonesia Bersihkan Sampah di GBK Usai Laga Lawan Arab Saudi
Top 3 Berita Bola: Shin Tae-yong Ungkap Strategi Timnas Indonesia Bisa Kalahkan Arab Saudi
Terletak di Kawasan Diplomatik di ibu kota, toko tersebut hanya dapat diakses oleh diplomat non-muslim, yang berarti bahwa bagi sebagian besar dari 32 juta penduduk Arab Saudi, tidak ada yang berubah untuk saat ini. Demikian seperti dilansir The Guardian, Kamis (25/1).
Advertisement
Selain itu, kuota pembelian akan diberlakukan. Akses ke toko akan dibatasi bagi mereka yang mendaftar melalui aplikasi. Dan pelanggan akan diminta untuk menyimpan ponsel mereka di kantong khusus saat mereka mencari bir, wine, atau minuman beralkohol lainnya.
Namun, beberapa warga Riyadh mengatakan kepada AFP mereka melihat perkembangan ini sebagai langkah pertama menuju ketersediaan alkohol yang lebih luas, yang akan menjadi terobosan dramatis dari larangan nasional yang telah diberlakukan sejak tahun 1952.
"Negara ini terus mengejutkan kami," kata seorang pengusaha Lebanon pada Rabu malam di LPM, sebuah restoran Prancis di Riyadh yang terkenal dengan daftar anggur dan cocktail non-alkoholnya.
"Ini adalah negara yang sedang berkembang, sedang tumbuh dan menarik banyak talenta dan investasi. Jadi ya, tentu saja, akan ada lebih banyak (kejutan) lagi."
Namun, pengusaha yang menolak disebutkan namanya tersebut, menyoroti sensitivitas seputar segala sesuatu yang berhubungan dengan alkohol di Arab Saudi, negara yang merupakan rumah bagi tempat suci umat Islam.
Kata Mereka yang Kontra dengan Izin Alkohol di Arab Saudi
Masih di restoran yang sama, namun berbeda meja, dua pria Arab Saudi berusia 30-an mengatakan mereka khawatir tentang dampak penjualan alkohol terhadap identitas Arab Saudi.
"Itu bukanlah (identitas) kami," kata salah satu pria tersebut.
"Bukannya saya punya semacam penilaian terhadap orang yang minum alkohol. Tidak, sama sekali tidak. Namun, mendatangkan sesuatu yang ada di luar sana akan memengaruhi budaya dan komunitas."
Dia menambahkan, "Katakanlah jika saya mempunyai adik, jika ada minuman beralkohol di luar sana, ada kemungkinan dia akan menjadi seorang pecandu alkohol."
Temannya menimpali dengan mengatakan bahwa dia lebih suka orang-orang terus pergi ke luar negeri untuk minum-minum, seperti yang dilakukan banyak orang saat ini.
"Sangat menakutkan bahwa mereka membiarkan hal-hal seperti ini masuk. Siapa pun yang ingin mencoba alkohol, jaraknya hanya satu jam dengan pesawat," ujarnya.
"Semua orang bepergian di sini. Itu mudah diakses. Tapi yang ingin saya katakan adalah bahwa dalam yurisdiksi ini, saya tidak senang hal itu diizinkan."
Advertisement
Pesan Halus Perubahan
Di bawah agenda reformasi Visi 2030, penguasa de facto Arab Saudi putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman sedang mencoba mengubah eksportir minyak mentah terbesar di dunia itu menjadi pusat bisnis, olahraga, dan pariwisata yang dapat mencapai kesejahteraan di era pasca-minyak.
Hal ini memerlukan daya tarik lebih banyak orang asing dan mengizinkan alkohol secara bertahap dapat berperan dalam hal ini, kata Kristin Diwan, dari Arab Gulf States Institute di Washington, Amerika Serikat.
"Ini adalah satu langkah lagi dalam menormalisasi sanksi pemerintah terhadap alkohol dalam situasi tertentu," ungkap Kristin.
Pusat Komunikasi Internasional pemerintah mengatakan pada Rabu bahwa tujuan kebijakan baru adalah untuk melawan perdagangan gelap produk dan minuman beralkohol.
Hal ini jelas mengacu pada pasar lokal tersembunyi yang berkembang pesat, tempat botol wiski sering kali dijual dengan harga ratusan dolar.
"Menyusun kabar dengan cara seperti ini kemungkinan dimaksudkan untuk mengirimkan pesan halus bahwa perubahan mungkin sedang terjadi, namun prosesnya akan dilakukan secara bertahap dan dikontrol dengan ketat," kata Kristian Ulrichsen, peneliti Timur Tengah di Institut Kebijakan Publik Baker di Universitas Rice.