Ilmuwan Ungkap Perubahan Iklim Sebabkan Turbulensi Pesawat Kian Marak

Sebelumnya, pesawat Singapore Airlines dengan nomor SQ321 rute London-Singapura mengalami turbulensi dahsyat.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 31 Mei 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2024, 01:00 WIB
Suhu Panas Tak Biasa Landa Indonesia Beberapa Hari Terakhir
Selain itu, lanjutnya, tren pemanasan global dan perubahan iklim, gelombang panas heatwave semakin berisiko berpeluang terjadi 30 kali lebih sering. Kemudian dominasi monsun Australia, Indonesia memasuki musim kemarau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Penerbangan Qatar Airways dari Doha ke Dublin mengalami turbulensi saat terbang di atas Turki pada 26 Mei 2024. Enam penumpang dan enam awak pesawat terluka, delapan di antaranya dibawa ke rumah sakit setelah dilakukan pemeriksaan.

Sebelumnya, pesawat Singapore Airlines dengan nomor SQ321 rute London-Singapura mengalami turbulensi dahsyat. Kejadian ini mengakibatkan satu orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka pada 21 Mei 2024 lalu.

Melansir laman National Weather Service pada Rabu (29/05/2024), turbulensi biasanya terjadi ketika sebuah pesawat terbang melalui benturan udara yang bergerak dengan kecepatan yang sangat berbeda. Turbulensi ringan dan sedang mampu mengakibatkan penumpang merasakan ketegangan pada sabuk pengaman mereka.

Sementara itu, turbulensi yang parah dapat membuat perjalanan yang bergelombang. Dalam kasus terburuk, turbulensi dapat menyebabkan kerusakan, cedera dan kematian.

Dikutip dari laman Climate Adaptation Platfrom, Rabu (29/05/2024), penelitian yang dilakukan para peneliti di Reading University, Inggris, menunjukkan turbulensi semakin parah akibat perubahan iklim yang menjadi krisis iklim. Studi yang terbit di jurnal Advancing Earth and Space Sciences itu mengungkap turbulensi parah meningkat 55 persen dari 1979 hingga 2020, karena perubahan kecepatan angin di ketinggian.

Para ahli menilai turbulensi meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam satu dekade mendatang. Meskipun tampaknya ada korelasi yang kuat antara krisis iklim dan turbulensi pesawat komersial, masih diperlukan lebih banyak penelitian.

Sejak 2013, para peneliti melakukan observasi yang menyoroti jenis turbulensi yang disebut clear-air turbulence atau turbulensi udara jernih.

Fenomena ini yang berbeda dengan turbulensi biasa. Turbulensi ini terjadi secara tiba-tiba dan sulit dihindari.

 

Tidak Terdeteksi

Turbulensi udara jernih adalah bentuk udara kasar yang tidak terlihat dan tidak terdeteksi oleh radar cuaca dalam penerbangan dan sulit untuk diperkirakan. Hal ini tidak ada hubungannya dengan awan dan badai, melainkan dihasilkan oleh pergeseran angin atau windshear (variasi angin berdasarkan ketinggian) yang sebagian besar terkonsentrasi pada aliran jet.

Windshear pada aliran jet diketahui telah meningkat sebesar 15 persen sejak 1979. Peningkatan lebih lanjut sekitar 17 persen hingga 29 persen diperkirakan terjadi pada 2010.

Peningkatan turbulensi pesawat terjadi secara konsisten karena perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan lebih lanjut, sehingga memperkuat perbedaan suhu dan menghasilkan pergeseran angin di bagian atas atmosfer.

Hal tersebut menunjukkan bahwa turbulensi udara jernih dapat terjadi cukup kuat untuk menimbulkan risiko cedera yang berlipat ganda atau tiga kali lipat frekuensinya dari turbulensi biasa.

National Center for Atmospheric Research atau Pusat Penelitian Atmosfer Nasional Amerika Serikat memperkirakan turbulensi udara jernih akan meningkat secara signifikan di seluruh dunia pada periode 2050 hingga 2080. Termasuk di beberapa kawasan, termasuk Amerika Utara, Atlantik utara, dan Eropa.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya