Netanyahu Bubarkan Kabinet Perang Israel, Dampaknya bagi Jalur Gaza?

Kabinet perang Israel dibentuk setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 untuk menunjukkan persatuan sekaligus menyampingkan kelompok sayap kanan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Jun 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2024, 08:00 WIB
Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membubarkan kabinet perangnya, menyusul mundurnya pemimpin oposisi berhaluan tengah Benny Gantz dan sekutunya Gadi Eisenkot.

Seorang juru bicara pemerintah mengatakan kabinet keamanan yang sudah ada sebelumnya dan kabinet penuh yang lebih besar akan mengambil keputusan mengenai perang Israel Vs Hamas di Jalur Gaza.

Gantz dan Eisenkot bergabung dalam koalisi sayap kanan Netanyahu beberapa hari setelah dimulainya perang di Jalur Gaza pada Oktober.

Kedua mantan kepala staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) itu mengumumkan pengunduran diri mereka pada 9 Juni dan Gantz mengatakan bahwa kepemimpinan Netanyahu menghalangi Israel mencapai kemenangan sejati.

Segera setelah itu, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir, seorang yang berhaluan kanan, mengatakan dia telah menulis surat kepada Netanyahu agar memasukkannya ke kabinet perang.

Pada Minggu malam, Netanyahu memberi tahu para menteri bahwa dia telah memutuskan untuk membubarkan badan pembuat keputusan tersebut dibanding menambah anggota baru.

"Perdana Menteri mengatakan, 'Kabinet perang berada dalam perjanjian koalisi dengan ... Benny Gantz atas permintaannya. Dengan hengkangnya Gantz dari pemerintahan, tidak diperlukan lagi cabang pemerintahan tambahan ini," kata juru bicara pemerintah Israel David Mencer pada hari Senin (17/6), seperti dilansir BBC, Selasa (18/6).

"Kabinet keamanan diberikan kewenangan oleh negara untuk mengambil keputusan bersama dengan kabinet penuh."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tidak Memengaruhi Rantai Komando

Menteri Kabinet Perang Israel Benny Gantz
Gantz, mantan panglima militer yang populer, bergabung dengan pemerintahan Netanyahu tak lama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai bentuk persatuan. (JACK GUEZ / AFP)

Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan bahwa beberapa masalah yang sebelumnya dibahas oleh kabinet perang akan dialihkan untuk dibahas dalam kabinet keamanan yang beranggotakan 14 orang, yang mencakup Ben-Gvir dan menteri keuangan yang juga seorang sayap kanan, Bezalel Smotrich.

Disebutkan bahwa keputusan-keputusan sensitif akan dibahas dalam "forum konsultasi yang lebih kecil", yang diperkirakan akan dihadiri oleh Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, dan ketua partai ultra-Ortodoks Shas, Aryeh Deri. Ketiga orang tersebut sebelumnya berada di kabinet perang bersama dengan Netanyahu, Gantz, dan Eisenkot.

Juru bicara utama IDF Laksamana Muda Daniel Hagari menegaskan pada hari Senin bahwa pembubaran kabinet perang tidak akan memengaruhi operasinya.

"Anggota kabinet diubah, metode diubah. Kita punya eselon, kita tahu rantai komandonya. Kami bekerja sesuai dengan rantai komando. Ini adalah demokrasi," ujarnya.

IDF melancarkan operasi di Jalur Gaza sebagai tanggapan atas serangan Hamas paling mematikan dalam sejarah ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang diklaim menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan 251 lainnya disandera.

Menurut otoritas Kesehatan Jalur Gaza, lebih dari 37.340 orang tewas dibunuh Israel sejak itu.

Pembubaran kabinet perang dinilai berdampak terhadap perang di Jalur Gaza, yakni hanya semakin menjauhkan Netanyahu dari politikus berhaluan sentris, yang lebih terbuka terhadap gencatan senjata dengan Hamas.

Netanyahu sekarang akan bergantung pada anggota kabinet keamanannya, yang beberapa di antaranya menentang perjanjian gencatan senjata dan menyuarakan dukungan untuk menduduki kembali Jalur Gaza.

"Ini berarti bahwa dia (Netanyahu) akan membuat semua keputusan sendiri atau dengan orang-orang yang dia percayai dan tidak menentangnya," kata ketua departemen ilmu politik di Hebrew University of Jerusalem Gideon Rahat, seperti dilansir kantor berita AP. "Dan ketertarikannya adalah melakukan perang atrisi yang lambat."

 

 


Kritikan bagi IDF

Operasi Darat Israel di Jalur Gaza
Pasukan darat Israel memasuki Gaza pada akhir Oktober dan dengan cepat mengepung Kota Gaza, pemukiman utama di utara. (AP Photo/Victor R. Caivano)

Sementara itu, dilaporkan terdapat tanda-tanda ketegangan lebih lanjut di pemerintahan Israel dalam beberapa hari terakhir, di mana Netanyahu dan para menteri sayap kanannya mengkritik keputusan IDF untuk memberlakukan jeda taktis aktivitas militer di siang hari di dekat Kota Rafah di Gaza Selatan demi memungkinkan lebih banyak pengiriman bantuan kemanusiaan.

Jeda bertujuan agar truk-truk dapat mengumpulkan bantuan dari penyeberangan perbatasan Kerem Shalom yang dikuasai Israel dan kemudian melakukan perjalanan dengan aman untuk mencapai jalan utama utara-selatan di dalam Jalur Gaza. Pasokan bantuan telah tertahan di titik penyeberangan sejak Israel memulai operasi di Rafah bulan lalu.

Ben-Gvir mengecam kebijakan tersebut sebagai hal yang bodoh, sementara media Israel mengutip pernyataan Netanyahu, "Negara yang punya tentara, bukan tentara yang punya negara."

IDF menggarisbawahi pihaknya melaksanakan perintah para pemimpin politik untuk memastikan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza.

Pernyataan yang sama juga menyebutkan jeda tidak berarti pertempuran di Gaza Selatan akan berhenti, sehingga menciptakan kebingungan mengenai apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.


Pertempuran Berlanjut di Rafah

Didesak Israel, 80.000 Pengungsi Palestina Tinggalkan Rafah
Badan PBB yang membantu pengungsi Palestina mengatakan pada 9 Mei 2024 sekitar 80.000 orang meninggalkan Rafah dalam tiga hari sejak Israel mengintensifkan operasi militer di kota Gaza selatan. (Foto: AFP)

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang merupakan organisasi kemanusiaan terbesar di Jalur Gaza, melaporkan bahwa pertempuran terus berlanjut di Rafah dan tempat lain di wilayah selatan pada hari Senin dan secara operasional belum ada yang berubah.

IDF sendiri mengakui bahwa pasukannya melanjutkan operasi berbasis intelijen yang ditargetkan di wilayah Rafah. IDF menambahkan mereka telah menemukan senjata, menyerang bangunan yang dilengkapi dengan bahan peledak, dan melenyapkan beberapa teroris di wilayah Tel al-Sultan.

UNRWA memperkirakan bahwa 65.000 orang masih berlindung di Rafah – kurang dari 5 persen dari 1,4 juta orang yang mengungsi di sana sebelum IDF memulai apa yang digambarkannya sebagai operasi terbatas untuk membasmi Hamas dan membongkar infrastruktur yang digunakan oleh kelompok bersenjata Palestina.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya