Brasil Minta Maaf atas Penganiayaan Imigran Jepang Pasca Perang Dunia II

Ratusan imigran Jepang dianiaya di kamp konsentrasi di Sao Paulo, Brasil.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 27 Jul 2024, 09:02 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2024, 09:02 WIB
Presiden Komisi Amnesti Enea de Stutz e Almeida menundukkan kepalanya saat meminta maaf di Brasilia, Brasil, Kamis (25/7/2024).
Presiden Komisi Amnesti Enea de Stutz e Almeida menundukkan kepalanya saat meminta maaf di Brasilia, Brasil, Kamis (25/7/2024). Pemerintah Brasil meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus penganiayaan dan penahanan imigran Jepang pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II. (Dok. Kyodo News via AP)

Liputan6.com, Brasilia - Brasil pada hari Kamis (25/7/2024) meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus penganiayaan dan penahanan imigran Jepang pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II.

"Saya ingin meminta maaf atas nama negara Brasil atas penganiayaan yang dialami nenek moyang Anda, atas semua kebiadaban, kekejaman, penyiksaan, prasangka, ketidaktahuan, xenofobia, dan rasisme," kata Enea de Stutz e Almeida, presiden Komisi Amnesti, dewan penasihat Kementerian Hak Asasi Manusia Brasil yang menganalisis permintaan amnesti dan ganti rugi kepada korban penganiayaan politik di negara tersebut, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu (27/7).

Dewan menyetujui permohonan maaf tersebut dalam sebuah sesi di Brasilia yang dihadiri oleh anggota pemerintah Brasil dan anggota terkemuka masyarakat Jepang. Bendera kedua negara dipajang di meja tempat para pembicara duduk.

Laporan Komisi Amnesti mengakui bahwa 172 imigran dikirim ke kamp konsentrasi di lepas pantai Sao Paulo, tempat mereka dianiaya dari tahun 1946 hingga 1948.

"Dokumen-dokumen tersebut secara tak terbantahkan menunjukkan adanya penganiayaan politik dan membenarkan deklarasi amnesti politik bagi komunitas Jepang dan keturunan mereka," kata pelapor komisi Vanda Davi Fernandes de Oliveira.

Permintaan ganti rugi diajukan pada tahun 2015 oleh Asosiasi Okinawa Kenjin Brasil, yang menyatakan bahwa setelah pecahnya Perang Dunia II, anggota komunitas Jepang dianiaya dan didiskriminasi.

Derita Masa Lalu

Ilustrasi Jepang.
Ilustrasi Jepang. (Dok. AFP/Toru Yamanaka)

Brasil bergabung dengan Sekutu pada tahun 1942 dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Jepang. Setelah itu, pemerintah Brasil menyita properti milik Jepang dan para imigran tidak diizinkan untuk berkumpul atau berbicara bahasa Jepang di depan umum.

Mario Jun Okuhara, yang mendokumentasikan penganiayaan dan mendukung pengaduan tersebut, mengatakan bahwa leluhurnya dipenjara, disiksa, serta dituduh sebagai mata-mata dan penyabotase.

"Mereka tidak sedang berperang; mereka berjuang untuk bertahan hidup, mencari tempat yang cerah, dan mendidik anak-anak mereka yang lahir di Brasil," tutur Okuhara pada hari Kamis.

"Imigran Jepang tidak seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan pemerintah mereka selama perang. Mereka adalah warga sipil yang bekerja di bidang pertanian dan sektor lainnya, yang terintegrasi sepenuhnya dalam masyarakat Brasil."

Pelajaran Tidak Ternilai

Ilustrasi Brasil.
Ilustrasi Brasil. (Dok. AFP)

Brasil merupakan rumah bagi komunitas Jepang terbesar di dunia di luar Jepang. Negara itu memiliki lebih dari 2,7 juta warga negara Jepang dan keturunan mereka.

Kapal pertama dari Jepang tiba di Brasil pada tahun 1908 dan imigrasi mencapai puncaknya antara Perang Dunia I dan II.

Di Tokyo, Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi memuji kontribusi komunitas Jepang terhadap Brasil dan hubungannya dengan Jepang.

"Orang-orang keturunan Jepang di Brasil telah memberikan kontribusi yang luar biasa dengan ketekunan mereka terhadap pembangunan Brasil. Kami memuji upaya mereka yang telah membawa mereka untuk memiliki tempat terhormat di Brasil dan kami sangat bangga kepada mereka," ungkap Hayashi.

Sementara itu, Okuhara menambahkan permintaan maaf pemerintah Brasil merupakan momen untuk menghormati leluhur mereka dan memberikan sedikit penghiburan emosional bagi komunitas Jepang.

"Kita tidak bisa menghapus kekejaman yang dilakukan terhadap orang tua dan kakek nenek kita, tetapi kita bisa belajar dari kejadian menyedihkan ini dan mencegahnya terjadi lagi kepada siapa pun, terlepas dari asal usul atau etnis mereka," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya