Ekonomi Israel Terpuruk, Ekonom: Hentikan Perang

Kapan perang akan berakhir juga menjadi tanya yang dilontarkan oleh warga Israel.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Agu 2024, 07:01 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2024, 07:01 WIB
Perekonomian Israel Terpuruk di Tengah Perang Berkepanjangan di Gaza
Orang-orang membeli buah dari pasar jalanan di Haifa, Israel, Jumat, 16 Agustus 2024. (AP Photo/Leo Correa)

Liputan6.com, Tel Aviv - Di Kota Tua Yerusalem, hampir semua toko suvenir tutup. Di pasar loak Haifa, pedagang yang sedih memoles barang dagangan mereka di jalan-jalan yang kosong. Maskapai penerbangan membatalkan penerbangan, bisnis terganggu, dan hotel-hotel mewah setengah kosong.

Hampir 11 bulan dalam perang dengan Hamas, ekonomi Israel dilaporkan sedang berjuang karena para pemimpin negara itu ngotot terus menyerang Jalur Gaza tanpa tanda-tanda akan berakhir, mengancam akan meningkat menjadi konflik yang lebih luas.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mencoba meredakan kekhawatiran dengan mengatakan gangguan ekonomi hanya sementara. Namun, perang paling berdarah dan paling merusak yang pernah ada antara Israel dan Hamas telah merugikan ribuan bisnis kecil. Beberapa ekonom terkemuka mengatakan gencatan senjata adalah cara terbaik untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut.

"Perekonomian saat ini berada dalam ketidakpastian yang besar dan ini terkait dengan situasi keamanan — berapa lama perang akan berlangsung, seberapa besar intensitasnya, dan pertanyaan apakah akan ada eskalasi lebih lanjut," kata Karnit Flug, mantan kepala Bank Sentral Israel yang sekarang menjadi wakil presiden untuk penelitian di bidang pemerintahan dan ekonomi Israel Democracy Institute, sebuah think tank di Yerusalem.

Perang telah menimbulkan dampak yang jauh lebih besar pada perekonomian Jalur Gaza yang sudah hancur, menggusur 90 persen penduduk, dan membuat sebagian besar tenaga kerja menganggur. Semua bank di wilayah tersebut tutup. Yang lebih mengerikan, menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, lebih dari 40.000 warga Palestina tewas sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober 2023.

Pertempuran di Jalur Gaza dan serangan harian dari militan Hizbullah di Lebanon juga telah mengusir puluhan ribu orang dari rumah mereka di sepanjang perbatasan utara dan selatan Israel serta menyebabkan kerusakan skala besar.

Perekonomian Israel telah pulih dari guncangan sebelumnya, termasuk perang yang lebih pendek dengan Hamas. Namun, konflik yang lebih lama ini telah menciptakan tekanan yang lebih besar, termasuk biaya pembangunan kembali, kompensasi bagi keluarga korban dan tentara cadangan, serta pengeluaran militer yang besar.

Sifat pertempuran yang berlarut-larut dan ancaman eskalasi lebih lanjut dengan Iran dan proksi Lebanonnya, Hizbullah, memiliki dampak yang sangat buruk pada pariwisata. Meskipun pariwisata bukanlah penggerak utama ekonomi Israel, namun kerusakannya merugikan ribuan pekerja dan usaha kecil.

"Hal tersulit adalah kita tidak tahu kapan perang akan berakhir," kata pemandu wisata Israel Daniel Jacob (45), yang keluarganya hidup dari tabungan. "Kita harus menyelesaikan perang sebelum akhir tahun ini. Jika butuh setengah tahun lagi, saya tidak tahu berapa lama kita akan bertahan."

Jacob kembali pada bulan April setelah enam bulan bertugas sebagai tentara cadangan dan mendapati bahwa bisnisnya telah gulung tikar. Dia terpaksa menutup perusahaan pariwisata yang telah dia kembangkan selama dua dekade. Satu-satunya pendapatannya adalah bantuan dari pemerintah, yang membayarnya setengah dari gajinya sebelum perang setiap beberapa bulan.

Meir Sabag, seorang pedagang barang antik Haifa yang tokonya kosong, mengisahkan bisnisnya lebih buruk sekarang daripada selama pandemi COVID-19. Pada hari kerja baru-baru ini, pelabuhan Haifa yang dulunya ramai, pusat utama impor-ekspor Israel tempat kapal-kapal kontainer besar sering berhenti, masih sepi.

Dengan kelompok pemberontak Houthi di Yaman yang membahayakan kapal-kapal yang melewati Terusan Suez Mesir, banyak kapal jarak jauh telah berhenti menggunakan pelabuhan Israel sebagai pusat, kata seorang pejabat pelabuhan yang berbicara dengan syarat anonim karena dia membagikan informasi internal.

Menurut pejabat yang sama, pelabuhan-pelabuhan Israel mengalami penurunan pengiriman sebesar 16 persen pada paruh pertama tahun ini, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023. Demikian seperti dilansir kantor berita AP, Rabu (27/8).

Biaya Perang

Perekonomian Israel Terpuruk di Tengah Perang Berkepanjangan di Gaza
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kerusakan ekonomi hanya bersifat sementara, namun konflik yang sedang berlangsung telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap dunia usaha. (AP Photo/Ariel Schalit)

Upaya gencatan senjata yang dipimpin Amerika Serikat (AS) diyakini mulai menemui jalan buntu. Sementara itu, Iran berjanji akan membalas pembunuhan pemimpin biro politik Hamas Ismail Haniyeh dan Hizbullah akan membalas kematian komandan seniornya Fuad Shukr, meningkatkan ancaman perang regional yang lebih luas.

Ketakutan itu telah mendorong sejumlah maskapai penerbangan besar, termasuk Delta, United, dan Lufthansa, menangguhkan penerbangan masuk dan keluar dari Israel.

Yacov Sheinin, seorang ekonom Israel dengan pengalaman puluhan tahun menjadi penasihat perdana menteri dan kementerian pemerintah Israel, mengatakan total biaya perang dapat mencapai USD 120 miliar atau 20 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) melaporkan pada hari Kamis (22/8), dari 38 negara anggotanya, ekonomi Israel mengalami perlambatan terbesar dari April hingga Juni. PDB Israel diproyeksikan tumbuh 3 persen pada tahun 2024. Bank Israel sekarang memprediksi tingkat pertumbuhan sebesar 1,5 persen — dan itu jika perang berakhir tahun ini.

Lembaga pemeringkat kredit, Fitch, menurunkan peringkat Israel dari A-plus menjadi A awal bulan ini, menyusul penurunan serupa oleh S&P dan Moody's. Penurunan peringkat tersebut dapat meningkatkan biaya pinjaman pemerintah.

"Menurut pandangan kami, konflik di Gaza dapat berlangsung hingga tahun 2025," demikian Fitch memperingatkan dalam catatan pemeringkatannya, yang mengutip kemungkinan pengeluaran militer tambahan yang signifikan, penghancuran infrastruktur, dan kerusakan yang lebih berkelanjutan pada aktivitas ekonomi dan investasi.

Tekanan terhadap Netanyahu

Perekonomian Israel Terpuruk di Tengah Perang Berkepanjangan di Gaza
Banyak lokasi ikonik, seperti Kota Tua Yerusalem, hampir sepi, dengan toko-toko cinderamata yang tutup dan hotel-hotel yang separuh kosong. (AP Photo/Leo Correa)

Dalam tanda mengkhawatirkan lainnya, Kementerian Keuangan Israel bulan ini mengatakan defisit negara selama 12 bulan terakhir telah meningkat hingga lebih dari 8 persen dari PDB, jauh melebihi rasio defisit terhadap PDB sebesar 6,6 persen yang diproyeksikan kementerian untuk tahun 2024. Pada tahun 2023, defisit anggaran Israel sekitar 4 persen dari PDB-nya.

Penurunan peringkat dan defisit telah meningkatkan tekanan pada pemerintah Israel untuk mengakhiri perang dan mengurangi defisit — sesuatu yang memerlukan keputusan yang tidak populer seperti menaikkan pajak atau memangkas pengeluaran.

Namun, Netanyahu perlu menjaga koalisinya tetap bertahan dan menteri keuangan garis kerasnya, Bezalel Smotrich, menginginkan perang terus berlanjut hingga Hamas dihancurkan.

"Masyarakat akan sulit menerimanya jika pemerintah tidak menunjukkan bahwa beratnya situasi memaksa mereka untuk menyerahkan beberapa hal yang mereka sayangi," kata Flug.

Smotrich sendiri mengaku ekonomi Israel kuat dan berjanji mengeluarkan anggaran yang bertanggung jawab yang akan terus mendukung semua kebutuhan perang, sambil mempertahankan kerangka fiskal dan mendorong mesin pertumbuhan.

Faktanya, banyak usaha kecil tutup karena pemilik dan karyawannya dipanggil untuk tugas militer cadangan. Yang lainnya berjuang di tengah perlambatan yang lebih luas.

Perusahaan informasi bisnis Israel CofaceBDI melaporkan bahwa sekitar 46.000 usaha tutup sejak dimulainya perang di Jalur Gaza — di mana 75 persen di antaranya adalah usaha kecil.

Bahkan American Colony Hotel yang ikonik di Yerusalem, tempat persinggahan populer bagi para politikus, diplomat, dan bintang film, telah memberhentikan sejumlah pekerja dan mempertimbangkan pemotongan gaji, kata Jeremy Berkovitz, yang mewakili para pemilik hotel.

"Kami pernah mempertimbangkan untuk tutup selama beberapa bulan," kata Berkovitz, "Namun, tentu saja itu berarti memecat semua staf. Itu berarti membiarkan kebun-kebun, yang telah kami kembangkan selama 120 tahun, terbengkalai."

Sheinin mengatakan cara terbaik untuk membantu ekonomi bangkit kembali adalah dengan mengakhiri perang.

"Dan jika kita keras kepala dan melanjutkan perang ini, kita tidak akan pulih."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya