Liputan6.com, Jakarta - Dalam eksplorasi luar angkasa, suhu menjadi salah satu bagian penting yang harus dipertimbangkan para astronom. Suhu ekstrem di luar angkasa mempengaruhi desain dan material yang digunakan dalam pesawat luar angkasa.
Pengetahuan tentang suhu luar angkasa juga membantu dalam pengembangan pakaian ruang angkasa yang dapat menjaga suhu tubuh dan melindungi dari radiasi. Lalu, berapa suhu di luar angkasa?
Melansir laman Space pada Selasa (01/10/2024), suhu di luar angkasa tidak dapat diukur dengan cara yang sama seperti di Bumi, karena ruang angkasa merupakan ruang hampa yang tidak memiliki atmosfer untuk menyimpan panas.
Advertisement
Baca Juga
Namun, para ilmuwan telah menemukan bahwa suhu rata-rata di luar angkasa, jauh dari bintang, berkisar sekitar -270 derajat Celsius (sekitar 3 Kelvin). Suhu ini mendekati nol mutlak, titik terendah yang bisa dicapai, di mana partikel-partikel bergerak dengan sangat lambat.
Bagi fisikawan, mengetahui suhu di ruang angkasa berarti persoalan kecepatan dan gerak. Menurut Jim Sowell, astronom di Institut Teknologi Georgia, para ilmuwan akan menggunakan istilah 'panas' untuk menentukan kecepatan semua partikel dalam volume tertentu.
Sebagian besar, atau bahkan seluruh, panas di alam semesta berasal dari bintang-bintang seperti matahari. Di dalam Matahari, tempat terjadinya fusi nuklir, suhu bisa membengkak hingga 15 juta Kelvin.
Panas yang meninggalkan matahari dan bintang-bintang lainnya melintasi ruang angkasa sebagai gelombang energi inframerah yang disebut radiasi matahari. Sinar matahari ini hanya memanaskan partikel-partikel yang dilaluinya, sehingga apa pun yang tidak terkena sinar matahari secara langsung akan tetap sejuk.
Pada malam hari, suhu permukaan planet terdekat dengan matahari, Merkurius , turun menjadi sekitar -178 derajat Celcius. Suhu permukaan Pluto mencapai sekitar -233 derajat Celcius.
Pada 2009, para ilmuwan mengukur kedalaman kawah gelap di permukaan bulan dan menemukan bahwa suhu turun menjadi sekitar -240 derajat Celcius. Di dalam galaksi dekat dan jauh, jalinan debu dan awan yang terjalin di antara bintang-bintang telah teramati pada suhu antara -263 derajat Celcius dan -253 derajat Celcius.
Sementara itu, kantong-kantong ruang angkasa yang jarang mengandung sedikit radiasi latar kosmik, sisa energi dari pembentukan alam semesta, berada pada suhu sekitar -270 derajat Celcius.
Alasan Luar Angkasa Dingin Meski Ada Matahari
Dikutip dari laman IFL Science pada Selasa (01/10/2024), matahari merupakan kumpulan gas dan api berukuran sekitar 15 juta derajat celcius pada intinya dan 5.500 derajat celcius pada permukaannya. Suhu tersebut cukup untuk menghangatkan bumi yang jaraknya 150 juta kilometer.
Namun, luar angkasa yang seharusnya lebih dekat dengan matahari ternyata tetap bersuhu rendah hingga -270 Celsius. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, seperti adanya molekul dan atmosfer.
Panas bergerak melalui kosmos sebagai radiasi, gelombang energi inframerah akan berpindah dari objek yang lebih panas ke objek yang lebih dingin. Gelombang radiasi merangsang molekul yang bersentuhan dengannya, dan menyebabkan panas.
Ketika radiasi matahari mengenai dan menghangatkan molekul-molekul di atmosfer, energinya akan diteruskan ke molekul-molekul di sekitarnya. Molekul-molekul tersebut kemudian bertabrakan dan memanaskan sekitarnya.
Perpindahan panas dari molekul ke molekul disebut konduksi, dan merupakan reaksi berantai yang menghangatkan area di luar jalur matahari. Namun, ruang angkasa adalah ruang hampa, artinya ruang pada dasarnya kosong.
Molekul gas di ruang angkasa terlalu sedikit dan berjauhan untuk saling bertabrakan satu sama lain. Meskipun matahari memanaskan luar angkasa dengan gelombang inframerah, perpindahan panas melalui konduksi tidak mungkin dilakukan.
Demikian pula, konveksi, suatu bentuk perpindahan panas yang terjadi karena adanya gravitasi. Gravitasi berperan penting dalam menyebarkan panas ke seluruh bumi, tetapi tidak terjadi di ruang angkasa dengan gravitasi nol.
(Tifani)
Advertisement