Liputan6.com, Seoul - Hwang, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, sedang menonton berita protes di Georgia pada Selasa (3/12/2024) malam ketika tiba-tiba gambar di televisi berubah—sorotan beralih ke negaranya menyusul Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol (63) mengumumkan penerapan darurat militer.
"Saya tidak bisa percaya apa yang saya lihat," kata Hwang, yang hanya ingin disebut dengan nama keluarganya, seperti dilansir BBC, Kamis (5/12).
Advertisement
Baca Juga
Top 3 Berita Hari Ini: Pesona Kate Middleton Tampil Pakai Perhiasan Ratu Elizabeth II, Gantikan Ratu Camilla yang Terjangkit Pneumonia
Menko Airlangga: Drama Darurat Militer Korea Selatan Jadi Peluang bagi Indonesia
VIDEO: Drama Darurat Militer Korea Selatan dalam Satu Malam, Presiden Dituntut Mundur
Pada Rabu (4/12) sore, dia sudah ikut serta dalam barisan pengunjuk rasa di depan Majelis Nasional, masih terkejut dengan apa yang terjadi semalam.
Advertisement
"Ini penting bagi saya untuk ada di sini menunjukkan bahwa kami menentang apa yang coba dilakukan Yoon Suk Yeol," tutur Hwang.
Kurang dari enam jam kemudian, Yoon Suk Yeol terpaksa menarik kembali pengumuman mengejutkan tersebut setelah para legislator berupaya keras untuk menggagalkannya.
Namun, kurang dari enam jam itu pula dipenuhi dengan kekacauan, protes, ketakutan, dan perlawanan. Seperti dikutip dari AP, berikut kronologi gonjang-ganjing politik di Negeri Ginseng sejak Selasa lalu:
Pukul 22.29
Dengan tubuh sedikit condong ke depan di podium, Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan melalui televisi nasional bahwa dia memutuskan untuk memberlakukan darurat militer, yang memberikan kekuasaan luas kepada pemerintahnya untuk mencegah demonstrasi anti-pemerintah, melarang partai politik, dan mengontrol media.
Dia menjelaskan bahwa langkah ini dianggap perlu "untuk mempertahankan Republik Korea (nama resmi Korea Selatan) yang bebas dari ancaman pasukan komunis Korea Utara".
Dengan kedua tangannya yang mantap di sisi podium, Yoon Suk Yeol melanjutkan dengan membacakan pernyataan yang menuduh oposisi negara bersimpati pada Korea Utara. Dia menyatakan bahwa "kekuatan anti-negara" telah mengacaukan dan menjadi penyebab utama kemunduran Korea Selatan, meskipun tidak memberikan bukti konkret untuk mendukung klaimnya.
"Langkah ini diperlukan untuk membenarkan tatanan konstitusional kebebasan kita," ujar Yoon Suk Yeol.
Pukul 23.00
Darurat militer mulai diterapkan dan kerumunan mulai berkumpul di sekitar Gedung Majelis Nasional, yang dijaga ketat oleh polisi anti-huru hara yang berusaha menahan mereka.
Seiring dengan semakin banyaknya orang yang berdatangan, jumlah pasukan keamanan juga semakin meningkat. Bus-bus polisi datang beriringan, sementara helikopter militer membawa pasukan ke lokasi.
Saat sebuah kendaraan militer lapis baja mendekat, sekelompok kecil pengunjuk rasa mengelilinginya, menahan kendaraan tersebut agar tidak bisa melanjutkan perjalanan, sambil berteriak kepada tentara yang ada di dalamnya. Polisi tiba dalam jumlah besar, berusaha menghalau pengunjuk rasa dan berlari di samping kendaraan untuk memastikan jalur tetap terbuka, sehingga kendaraan itu akhirnya dapat melanjutkan perjalanan.
Di luar Gedung Majelis Nasional, para pengunjuk rasa mengibarkan spanduk dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Darurat militer tidak sah" dan "Yoon Suk Yeol mundur!" Beberapa dari mereka mengalihkan perhatian kepada pasukan militer dan polisi, meneriakkan "Cabut (darurat militer)! Cabut!"
Sekitar pukul 23.15
Meski Presiden Korea Selatan memiliki hak untuk mengumumkan darurat militer, pemungutan suara di parlemen dapat mengakhiri keputusannya.
Menyadari hal ini, para legislator mulai berdatangan ke Gedung Majelis Nasional setelah mengetahui langkah Yoon Suk Yeol, berharap cukup banyak dari mereka yang bisa masuk ke dalam kawasan keamanan untuk mencapai kuorum dan melakukan pemungutan suara.
Pemimpin oposisi, Lee Jae Myung, yang kalah tipis dari Yoon Suk Yeol dalam Pilpres 2022, memulai siaran langsung perjalanannya.
Di dalam mobilnya, politikus dari Partai Demokrat itu mengajak warga Korea Selatan untuk berkumpul di parlemen guna membantu para anggota parlemen masuk, dengan mengatakan, "Majelis Nasional harus melakukan pemungutan suara untuk mencabut darurat militer."
"Ada kemungkinan besar militer akan dikerahkan untuk menangkap anggota parlemen," ujarnya. "Tolong datang ke Gedung Majelis Nasional. Meski sudah sangat larut, kita harus melindungi negara ini. Kami juga siap mempertaruhkan nyawa untuk melindungi demokrasi negara ini."
Di akhir siaran langsung yang hampir 23 menit, Lee Jae Myung keluar dari mobil, melompati pagar untuk masuk ke halaman, lalu menuju ke dalam Gedung Majelis Nasional.
Pukul 23.28
Militer Korea Selatan mengumumkan pengendalian media dan penghentian kegiatan politik, namun tidak mengambil langkah-langkah untuk menegakkan pernyataan tersebut.
Sekitar tengah malam, jumlah anggota parlemen yang tiba di Gedung Majelis Nasional melebihi 150 orang, memenuhi persyaratan kuorum, namun banyak dari mereka yang datang setelah polisi dan tentara tiba kesulitan untuk mengakses ruang sidang utama.
Pagi hari Rabu
Saat para anggota parlemen berusaha masuk untuk melakukan pemungutan suara, bentrokan terjadi di pintu masuk Gedung Majelis Nasional antara kerumunan orang dan tentara yang bersenjata lengkap.
Dalam salah satu konfrontasi dramatis, juru bicara Partai Demokrat, Ahn Gwi Ryeong, yang sebelumnya seorang pembawa berita televisi, merebut senapan seorang tentara yang mengenakan perlengkapan tempur lengkap, menariknya sambil berteriak, "Lepaskan!" dan "Apakah kamu tidak malu?"
Saat keduanya bergulat, sang tentara berhasil melepaskan diri dari Ahn Gwi Ryeong dan mengarahkannya senapan yang terisi peluru ke arahnya, sementara dia mundur. Ahn sempat meraih laras senapan sebelum tentara itu mundur lebih jauh dan Ahn terus berteriak, "Apakah kamu tidak malu?" pada tentara tersebut saat dia pergi.
Pukul 00.35
Ketua parlemen Woo Won Shik berhasil memasuki ruang sidang utama dan membuka sesi di mana anggota parlemen mengajukan mosi untuk mencabut darurat militer. Woo Won Shik, yang berusia 67 tahun, sebelumnya terlihat memanjat pagar untuk masuk ke Gedung Majelis Nasional.
Pukul 01.02
Anggota parlemen melakukan pemungutan suara dengan hasil 190 suara mendukung dan tidak ada yang menentang untuk mencabut darurat militer dan beberapa menit kemudian, pasukan keamanan mulai meninggalkan Gedung Majelis Nasional.
Pukul 04.20
Presiden Yoon Suk Yeol kembali ke podium untuk menyampaikan pidato nasional, memberitahukan rakyat Korea Selatan bahwa parlemen telah memutuskan untuk mengakhiri darurat militer dan dia telah memerintahkan penarikan pasukan militer yang dikerahkan.
Namun, dia mengulangi tuduhannya terhadap oposisi, dengan mengatakan dia meminta "parlemen segera menghentikan tindakan sembrono yang telah melumpuhkan fungsi negara, seperti pemakzulan berulang, manipulasi legislatif, dan manipulasi anggaran."
Sekitar pukul 04.30, darurat militer secara resmi dicabut setelah pertemuan darurat kabinet.
Sejarah dan Penerapan Darurat Militer di Korea Selatan
Bagaimanapun, Korea Selatan tidak asing dengan darurat militer dan pemerintahan militer. Seperti dikutip dari CNA, berikut gambaran singkat tentang sejarahnya.
Kapan terakhir kali darurat militer diterapkan di Korea Selatan?
Darurat militer terakhir kali diterapkan pada 27 Oktober 1979 oleh Perdana Menteri Choi Kyu Hah, yang menjabat sebagai penjabat presiden setelah pembunuhan Presiden Park Chung Hee, yang merebut kekuasaan melalui kudeta militer pada tahun 1961.
Di bawah tekanan dari kelompok pemimpin militer yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo Hwan, Choi Kyu Hah memperpanjang darurat militer hingga tahun 1980 dan melarang partai politik, yang memicu perlawanan dari kelompok pro-demokrasi. Dalam pembubaran yang brutal, ratusan orang tewas, hingga akhirnya darurat militer dicabut pada tahun 1981 setelah diadakan referendum.
Setelah itu, partai politik kembali diizinkan beroperasi, dan pada tahun 1987, berbagai hak sipil lainnya dipulihkan, membuka jalan bagi periode demokrasi yang bertahan hingga saat ini, hingga presiden saat ini mengumumkan darurat militer dalam pidato darurat nasional yang disiarkan langsung.
Kapan pertama kali darurat militer diterapkan di Korea Selatan?
Pernyataan darurat militer pertama kali dilakukan pada tahun 1948, beberapa bulan setelah pendirian resmi Korea Selatan, oleh presiden pertama Syngman Rhee, yang bekerja sama dengan pasukan Amerika Serikat (AS) untuk menanggulangi pemberontakan militer yang dipimpin komunis. Dia juga memberlakukan darurat militer pada 1952, selama Perang Korea.
Darurat militer diterapkan beberapa kali oleh berbagai rezim sepanjang tahun-tahun berikutnya, seiring negara ini melewati periode yang penuh dengan kudeta militer.
Apa itu darurat militer di Korea Selatan?
Presiden Korea Selatan memiliki wewenang untuk memberlakukan darurat militer berdasarkan konstitusi, yang dapat dilakukan dalam situasi seperti perang, konflik bersenjata, atau keadaan darurat nasional lainnya.
Korea Selatan memiliki dua jenis darurat militer, yaitu darurat militer darurat (emergency martial law) dan darurat militer keamanan (security martial law). Dalam hal ini, yang diterapkan oleh Presiden Yoon Suk Yeol adalah darurat militer darurat. Jenis darurat ini memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada pemerintah, termasuk membatasi kebebasan pers, membatasi hak untuk berkumpul, serta mengesampingkan peran pengadilan sipil, di antara langkah-langkah lainnya.
Setelah memberlakukan darurat militer, presiden diwajibkan memberitahukan Majelis Nasional. Jika Majelis Nasional meminta agar darurat militer tersebut dicabut melalui pemungutan suara mayoritas, seperti yang terjadi dalam kasus terbaru, maka presiden harus mematuhi keputusan itu.
Â
Advertisement
Pemakzulan
Yoon Suk Yeol kini menghadapi ancaman pemakzulan menyusul anggota parlemen oposisi menuduhnya melanggar tugas konstitusionalnya dan melakukan kejahatan yang mirip dengan pengkhianatan ketika dia mengumumkan darurat militer.
Lantas, bagaimana proses pemakzulan presiden Korea Selatan? Berikut penjelasannya seperti dilansir CNA.
Konstitusi mengatur bahwa parlemen dapat mengajukan usulan pemakzulan terhadap presiden atau pejabat publik tinggi lainnya jika mereka dianggap melanggar konstitusi atau hukum dalam pelaksanaan tugas resmi mereka.
Untuk memakzulkan presiden, dibutuhkan dukungan suara dari dua pertiga (sekitar 200 anggota) dari seluruh anggota parlemen. Namun, untuk memakzulkan pejabat publik lainnya (selain presiden), cukup dengan mayoritas sederhana, yaitu lebih dari setengah suara dari anggota yang hadir atau total anggota yang memberikan suara.
Mahkamah Konstitusi akan mengadakan persidangan untuk mengonfirmasi atau menolak usulan pemakzulan, dengan mendengarkan bukti dari parlemen untuk menentukan apakah presiden melanggar hukum.
Apakah oposisi punya suara yang cukup?
Saat ini, parlemen dikendalikan oleh Partai Demokrat yang merupakan oposisi utama, yang telah berjanji untuk memakzulkan Yoon Suk Yeol. Partai ini dan partai-partai oposisi kecil lainnya memiliki 192 kursi, yang kurang dari 200 yang dibutuhkan untuk memakzulkan presiden.
Beberapa anggota Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang merupakan partai yang berkuasa di bawah kepemimpinan Yoon Suk Yeol, telah secara tegas menentang pengumuman darurat militer yang dikeluarkan oleh presiden. Namun, belum jelas apakah mereka akan bergabung dengan partai oposisi untuk mendukung pemakzulan, atau berapa banyak dari mereka yang akan melakukannya jika usulan pemakzulan tersebut dibawa ke pemungutan suara di parlemen.
Yoon Suk Yeol sebelumnya juga sudah menghadapi desakan untuk pemakzulan dan penyelidikan khusus terkait skandal yang melibatkan istrinya.
Apakah pemungutan suara di parlemen sudah cukup?
Jika parlemen memberikan suara untuk memakzulkan presiden maka presiden akan dihentikan sementara dari tugas dan kewenangannya hingga persidangan pemakzulan selesai di Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, perdana menteri akan menjabat sebagai pemimpin sementara.
Mahkamah Konstitusi memiliki waktu hingga enam bulan untuk memutuskan apakah akan mengonfirmasi pemakzulan dengan suara setidaknya enam dari sembilan hakim, atau menolak usulan pemakzulan tersebut.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki enam hakim yang menjabat karena ada tiga kursi kosong. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk tetap melanjutkan pembahasan tanpa memenuhi persyaratan minimal jumlah hakim. Namun, belum jelas apakah mereka akan memproses usulan pemakzulan tanpa sembilan hakim yang lengkap.
Apa yang terjadi jika presiden dimakzulkan?
Jika presiden benar-benar diberhentikan maka pemilihan presiden baru harus diadakan dalam waktu 60 hari.
Hal yang sama juga berlaku jika Presiden Yoon Suk Yeol mengundurkan diri, yaitu perdana menteri akan mengambil alih sementara tugas presiden dan pemilihan presiden baru akan diadakan dalam waktu 60 hari.
Pada Mei 2017, pemilihan presiden diadakan setelah Mahkamah Konstitusi mengonfirmasi pemakzulan terhadap Presiden Park Geun Hye pada 9 Maret.
Park Geun Hye adalah pemimpin pertama yang terpilih secara demokratis dan dipecat dari jabatannya. Dia dituduh bekerja sama dengan seorang teman dekat dalam skema penyalahgunaan pengaruh dan kekuasaan presiden.
Parlemen memutuskan untuk memakzulkan Park Geun Hye pada Desember 2016, dengan beberapa anggota dari partai konservatifnya sendiri ikut memberikan suara mendukung pemakzulan.
Park Geun Hye adalah putri dari mantan Presiden Park Chung Hee. Setelah pemakzulan, Park Geun Hye diadili atas tuduhan kriminal dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Dia menjalani hampir lima tahun hukuman sebelum dibebaskan karena alasan medis dan akhirnya diberi pengampunan pada 2021.
Pada tahun 2004, Presiden Roh Moo Hyun juga dimakzulkan karena dianggap gagal menjaga netralitas politik yang diwajibkan bagi pejabat tinggi publik. Namun, usulan pemakzulan terhadap Roh Moo Hyun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dan Roh Moo Hyun kemudian dipulihkan untuk melanjutkan masa jabatannya selama lima tahun.
Â
Profil Yoon Suk Yeol
Mengutip The Washington Post, Yoon Suk Yeol adalah seorang pemula dalam dunia politik ketika dia berhasil terpilih menjadi presiden pada Maret 2022.
Dia menghabiskan kariernya sebagai seorang jaksa, meskipun dia baru memulai karier tersebut pada usia yang agak terlambat, yaitu 33 tahun karena dia membutuhkan sembilan kali percobaan untuk lulus ujian nasional. Dia berhasil naik jabatan hingga menjadi jaksa agung, salah satu posisi paling berkuasa di Korea Selatan dan terkenal karena perannya dalam menghukum Presiden Park Geun Hye.
Partai Kekuatan Rakyat (PPP), yang berhaluan konservatif, mengusungnya sebagai calon presiden, dengan Yoon Suk Yeol menggambarkan dirinya sebagai sosok yang gigih dalam memerangi korupsi, yang masih menjadi masalah besar di Korea Selatan.
Selama kampanye, dia berjanji akan mengambil sikap tegas terhadap Korea Utara dan memperkuat aliansi keamanan Korea Selatan dengan AS, sambil memperbaiki hubungan dengan Jepang, negara yang pernah menjadi kekuatan kolonial di Semenanjung Korea.
Presiden Korea Selatan hanya menjabat selama satu periode lima tahun, yang berarti Yoon Suk Yeol tidak akan bisa mencalonkan diri untuk pemilihan ulang.
Penuh Kontroversi
Masa kepresidenan Yoon Suk Yeol ditandai dengan langkah-langkah yang tidak populer, kemarahan pemilih akibat kenaikan harga dan skandal keluarga, yang menyebabkan rating persetujuannya merosot hingga mencatatkan angka yang sangat rendah. Sebuah jajak pendapat dari surat kabar Dong-A Ilbo menunjukkan dukungan publik terhadapnya hanya sebesar 17 persen pada bulan lalu.
Setelah terpilih, Yoon Suk Yeol membuat keputusan mendadak untuk memindahkan kantor kepresidenan dari Blue House yang bersejarah di Seoul dan kementerian pertahanan. Langkah ini menimbulkan biaya besar dan kekhawatiran soal keamanan, serta mendapat sedikit dukungan dari publik.
Pemerintahannya juga mendapat kritik karena kurangnya persiapan pasca-tragedi desak-desakan pada perayaan Halloween 2022 yang menewaskan 158 orang.
Selain itu, sektor medis menghadapi krisis tahun ini, yang ditandai dengan aksi mogok dan kekurangan tenaga medis menyusul langkah pemerintah mencoba menerapkan perubahan dalam sistem kesehatan.
Tidak cukup sampai di situ, Yoon Suk Yeol pun menghadapi skandal terkait istrinya, Kim Keon Hee, yang terekam video menerima tas tangan Christian Dior dari seorang pendeta Korea-Amerika, yang diduga diberikan sebagai imbalan atas bantuan politik. Jaksa menyelidiki kasus ini, namun memutuskan untuk tidak menuntutnya pada Oktober lalu.
Yoon Suk Yeol menikah pada usia 51 tahun, suatu hal yang tidak biasa di Korea Selatan. Dia mengatakan dirinya bertemu dengan Kim Keon Hee, seorang eksekutif bisnis yang mendirikan perusahaan pameran seni, karena ketertarikannya pada galeri seni.
"Kenangan paling bahagia saya adalah akhirnya bertemu dengan istri saya dan menikahinya di usia yang sudah cukup tua, di usia 50-an," ujarnya dalam wawancara dengan The Washington Post tahun lalu.
Advertisement