Kepala Desa di Tibet Ditemukan Tewas dengan Luka Bakar, Diduga Jadi Korban Penyiksaan

Gonpo Namgyal yang dikenal memperjuangkan pelestarian bahasa Tibet, meninggal tiga hari setelah dibebaskan pada tanggal 15 Desember 2024.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 19 Jan 2025, 19:05 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2025, 10:34 WIB
Ilustrasi Tibet (AFP/Johannes Eisele)
Ilustrasi Tibet (AFP/Johannes Eisele)... Selengkapnya

Liputan6.com, Tibet - Seorang kepala desa Tibet yang ditahan sejak bulan Mei 2024 karena memperjuangkan pelestarian bahasa Tibet, meninggal tiga hari setelah dibebaskan pada tanggal 15 Desember 2024.

Ia tewas dengan luka bakar dan ditemukan adanya bekas penyiksaan di tubuhnya selama upacara kremasi.

Dikutip dari laman Radio Free Asia, Jumat (17/1/2025) diduga ia dianiaya dalam tahanan polisi.

Gonpo Namgyal, pemimpin Desa Ponkor di daerah Dharlag, provinsi Qinghai ditangkap bersama kepala biara Shangtoe Monastery dan lebih dari 20 orang Tibet lainnya karena terlibat dalam kegiatan untuk mempromosikan pelestarian bahasa dan budaya Tibet, kata dua sumber yang berbicara dengan syarat anonim karena masalah keselamatan.

"Luka bakar listrik dan bekas penyiksaan pada Gonpo Namgyal menunjukkan bahwa ia menderita penganiayaan berat dan penyiksaan berulang dalam tujuh bulan terakhir di bawah kepolisian prefektur Golog," kata sumber pertama, mengacu pada Prefektur Otonomi Tibet Golog, tempat daerah tersebut berada.

Penangkapan dan penahanan Namgyal dan yang lainnya terjadi di tengah meningkatnya upaya pemerintah China untuk membatasi penggunaan bahasa Tibet dan memperluas penggunaan bahasa Mandarin di kalangan warga Tibet.

Kelompok hak asasi manusia dan warga Tibet mengatakan, mereka khawatir tindakan tersebut akan mengakibatkan pemusnahan bahasa, budaya, dan identitas Tibet.

Dugaan kesewenang-wenangan China dalam menghapus warisan budaya dan spiritual umat Buddha Tibet dinilai telah menimbulkan korban jiwa.

Kecaman Internasional Ditolak

Insiden itu terjadi pada saat Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan internasional lainnya telah menyatakan keprihatinan tentang memburuknya kondisi hak asasi manusia warga Tibet, Mongolia, Uighur, dan minoritas lainnya di Tiongkok.

Namun, Beijing yang menyebut Tibet sebagai Xizang, menepis kekhawatiran tersebut, menganggapnya sebagai "campur tangan" dalam urusan internal Tiongkok.

"Urusan Xizang adalah urusan internal China yang tidak menoleransi campur tangan dari kekuatan eksternal mana pun. Xizang saat ini menikmati stabilitas dan harmoni sosial, dengan kinerja ekonomi yang baik dan kesejahteraan rakyat yang terlindungi dengan baik," kata Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari laman Japan Forward.

Namun, insiden penyiksaan dan kematian Gonpo Namgyal baru-baru ini dianggap telah tak terkendali untuk menghilangkan hak-hak budaya dan hak-hak fundamental lainnya dari kaum minoritas.

Kampanye Bahasa Mandarin

Pemandangan Memikat dari Qamdo di Tibet
Foto dari udara pada 14 Juni 2020 memperlihatkan aliran Sungai Gaqu yang melewati area relokasi di Kota Chido di Wilayah Dengqen di Qamdo, Daerah Otonom Tibet, China. (Xinhua/Tian Jinwen)... Selengkapnya

Pada tahun 2021, Tiongkok meluncurkan kampanye untuk menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional wilayah tersebut.

China menetapkan target 85% warganya menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa utama pada tahun 2025. Bersamaan dengan ini, Beijing telah mengadvokasi untuk menjadikan bahasa Mandarin hampir universal pada tahun 2035, termasuk orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan dan etnis minoritas.

Asimilasi dengan Segala Cara

Di balik langkah ini adalah ketidakamanan budaya Tiongkok. China membenarkan langkah-langkah ini dengan mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut akan membantu menjaga persatuan Tiongkok, menghentikan separatisme etnis, dan memastikan keamanan nasional.

Pada September 2020, ketika Tiongkok dan seluruh belahan dunia bergulat dengan pandemi COVID-19, Xi Jinping menghadiri simposium pusat ketujuh tentang Tibet.

Acara tersebut dianggap sebagai pertemuan tingkat tertinggi Tiongkok tentang Tibet. Di sana, ia mengusulkan tiga tujuan untuk asimilasi lengkap orang Tibet ke dalam kehidupan umum Tiongkok.

Tujuan pertama mencakup penguatan pendidikan politik dan ideologis di sekolah-sekolah Tibet dengan mengganti teks-teks keagamaan dengan buku peraturan PKT.

Kedua, Xi dilaporkan telah menekankan penguatan pertahanan perbatasan dan keamanan perbatasan di Tibet. Terakhir, tujuan ketiga mencakup penggantian aksara Tibet dengan aksara Tiongkok.

 

Dampak pada Anak-anak Tibet

Puncak Atap Dunia di Tibet
Foto pada 30 November 2020 menunjukkan pemandangan di Wilayah Rutog, Prefektur Ngari, Daerah Otonom Tibet, China. Ngari, yang dijuluki sebagai "puncak atap dunia" dengan ketinggian rata-rata 4.500 meter di atas permukaan laut, dikenal dengan pemandangannya yang menakjubkan. (Xinhua/Zhan Yan)... Selengkapnya

Sebagai hasil dari usulan-usulan ini, Tiongkok memisahkan sekitar satu juta anak Tibet dari keluarga mereka. Tiongkok dilaporkan menempatkan mereka di sekolah-sekolah asrama yang dikelola negara Tiongkok.

Sebuah media Amerika Serikat mengutip laporan PBB tahun 2023, yang selanjutnya menyatakan bahwa anak-anak Tibet dari daerah pedesaan ditempatkan di sekolah-sekolah asrama.

Di sekolah-sekolah tersebut, pelajaran "dilaksanakan hanya dalam bahasa Mandarin dengan sedikit referensi tentang sejarah, agama, dan tentu saja bukan pemimpin spiritual yang diasingkan, Dalai Lama."

Atas nama menjaga perdamaian dan stabilitas jangka panjang, biara-biara di wilayah Tibet menjadi sasaran pemantauan.

Infografis Geger Pembunuhan Berantai Tersangka Wowon Cs. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Geger Pembunuhan Berantai Tersangka Wowon Cs. (Liputan6.com/Trieyasni)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya