11 Februari 1945: Pertemuan Roosevelt, Churchill dan Stalin di Konferensi Yalta

Konferensi Yalta pada 11 Februari 1945 menjadi momen penting dalam sejarah dunia. Tiga pemimpin besar Sekutu Roosevelt, Churchill, dan Stalin berunding untuk membahas pembagian Eropa.

oleh Alya Felicia Syahputri diperbarui 11 Feb 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2025, 06:00 WIB
Para pemimpin sekutu membagi Eropa di Yalta (AP/Arsip)
Para pemimpin sekutu membagi Eropa di Yalta (AP/Arsip)... Selengkapnya

Liputan6.com, Moskow - Tepat 80 tahun silam, pada 11 Februari 1945, sejarah pernah mencatat terjadi perundingan intensif selama sepekan antara tiga pemimpin di Yalta -- sebuah kota resor di tepi Laut Hitam, wilayah Uni Soviet.

Konferensi ini menjadi pertemuan kedua antara Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Perdana Menteri Uni Soviet Joseph Stalin. Sejak pertemuan pertama mereka di Teheran pada akhir 1943, perkembangan perang telah menunjukkan kemajuan signifikan.

Dikutip dari History Selasa, (11/2/2025) konferensi yang juga dikenal sebagai Konferensi Krimea ini berlangsung di istana  milik Tsar Nicholas II di pinggiran Yalta, yang kini menjadi bagian dari Ukraina merdeka.

Dengan kemenangan atas Jerman yang diperkirakan hanya tinggal tiga bulan lagi, fokus utama Churchill dan Stalin adalah membagi Eropa ke dalam zona pengaruh politik, bukan lagi membahas strategi militer. Jerman disepakati akan dibagi menjadi empat zona pendudukan yang dikelola oleh Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis. Selain itu, Jerman akan di demiliterisasi secara menyeluruh, dan para penjahat perang Nazi akan diadili.

Uni Soviet diberi wewenang untuk mengelola negara-negara Eropa yang mereka bebaskan, dengan janji akan mengadakan pemilu yang bebas. Sementara itu, Inggris dan Amerika Serikat bertugas mengawasi transisi menuju demokrasi di negara-negara seperti Italia, Austria, dan Yunani.

Konferensi ini juga menghasilkan rencana final untuk pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan konferensi piagam dijadwalkan berlangsung di San Francisco pada April 1945.

Presiden Roosevelt yang saat itu dalam kondisi fisik lemah -- hanya dua bulan sebelum wafat -- memfokuskan usahanya untuk mendapatkan dukungan Uni Soviet dalam upaya perang Amerika melawan Jepang. Proyek rahasia bom atom Amerika Serikat belum melakukan uji coba, dan serangan amfibi ke Jepang diperkirakan akan menelan ratusan ribu nyawa tentara Amerika.

Setelah dijanjikan zona pendudukan di Korea serta penguasaan Pulau Sakhalin dan wilayah sengketa lainnya antara Rusia dan Jepang, Stalin setuju untuk ikut serta dalam Perang Pasifik dalam waktu dua hingga tiga bulan setelah Jerman menyerah.

Sebagian besar hasil perjanjian Yalta dirahasiakan hingga Perang Dunia II berakhir. Beberapa poin yang diumumkan, seperti rencana Sekutu untuk Jerman dan pembentukan PBB, mendapat sambutan positif. Roosevelt kembali ke Amerika Serikat dalam keadaan kelelahan.

Saat berpidato di hadapan Kongres AS untuk melaporkan hasil konferensi, ia bahkan tidak mampu berdiri tanpa bantuan penopang. Dalam pidatonya, ia menyebut konferensi tersebut sebagai "titik balik dalam sejarah kita, dan karenanya dalam sejarah dunia." Namun, Roosevelt tidak sempat menyaksikan bagaimana "tirai besi" akhirnya membelah Eropa sesuai garis yang disepakati di Yalta. Pada April, ia pergi beristirahat ke kediamannya di Warm Springs, Georgia, dan meninggal dunia pada 12 April akibat pendarahan otak.

Pada 16 Juli 1945, Amerika Serikat berhasil menguji coba bom atom di gurun New Mexico. Pada 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, Jepang. Dua hari kemudian, sesuai dengan janjinya di Yalta, Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang. Keesokan harinya, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki, sementara pasukan Soviet melancarkan serangan besar-besaran terhadap Jepang di Manchuria. Pada 15 Agustus, kombinasi serangan bom atom Amerika dan ofensif Soviet memaksa Jepang menyerah tanpa syarat. Menjelang akhir bulan, pasukan AS mendarat di Jepang tanpa perlawanan.

Ketika seluruh isi perjanjian Yalta dipublikasikan beberapa tahun setelah perang berakhir, Roosevelt dan Churchill banyak dikritik karena dianggap terlalu banyak memberi konsesi kepada Stalin, sehingga menyerahkan Eropa Timur dan Korea Utara ke dalam pengaruh komunisme. Uni Soviet tidak pernah mengadakan pemilu bebas di Eropa Timur pascaperang, dan Korea Utara tetap terpecah tajam dari tetangganya di selatan.

Namun, Eropa Timur yang dibebaskan dan diduduki oleh Tentara Merah kemungkinan besar akan menjadi satelit Soviet, terlepas dari hasil perjanjian Yalta. Dengan keberhasilan uji coba bom atom, bantuan militer Soviet sebenarnya tidak lagi diperlukan untuk mengalahkan Jepang. Jika Uni Soviet tidak menginvasi Kekaisaran Jepang pada hari-hari terakhir Perang Dunia II, Korea Utara dan berbagai wilayah bekas jajahan Jepang yang dikuasai Soviet mungkin akan berada di bawah pengaruh Amerika Serikat.

Pada saat Konferensi Yalta, Roosevelt belum memiliki jaminan bahwa bom atom akan berhasil. Oleh karena itu, ia mengandalkan bantuan Soviet untuk menghadapi Jepang, yang diperkirakan akan menjadi pertempuran yang sangat mahal dari segi korban jiwa. Stalin, yang lebih rela mengorbankan tentaranya demi mendapatkan keuntungan teritorial, dengan senang hati memenuhi permintaan sekutunya dari Amerika. Akibatnya, pada akhir perang, pengaruh Soviet di Asia Timur meningkat secara signifikan.

Infografis Perang Ukraina Vs Rusia Masuki Tahun Ke-3 dan Klaim Tentara Tewas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Perang Ukraina Vs Rusia Masuki Tahun Ke-3 dan Klaim Tentara Tewas. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya