Raja Inggris, Richard III tidak dimakamkan layaknya seorang penguasa. Pada 22 Agustus 1485, ia kalah dalam pertempuran Bosworth.
Tubuhnya yang sudah tak bernyawa diperlakukan dengan tidak hormat dan dikuburkan asal-asalan di gereja Biara Fransiskan, Grey Friars. Tanpa balutan kain kafan dan peti mati.
Saat gereja itu hancur, makam Richard III terlupakan. Hingga akhirnya, lebih dari 500 tahun kemudian, pada 2012 lalu, kerangkanya ditemukan di lapangan parkir dewan kota di Leicester, Inggris -- titik di mana gereja dulu berdiri.
Meski perdebatan belum berakhir, pejabat Leicester mengumumkan rencana pemakaman kembali penguasa Abad Pertengahan itu berbiaya US$ 1,5 juta atau Rp 15 miliar. Secara semestinya sebagai seorang raja.
Uang sebanyak itu termasuk biaya untuk menggelar upacara, membangun sebuah makam besar di Katedral Leichester -- yang dikelilingi jendela kaca patri baru.
"Kami berkomitmen untuk memakamkan kembali Raja Richard dengan penuh penghormatan. Tapi kami juga mendengar dengan bijak pandangan lain yang disampaikan," kata Pengetua Leicester, David Monteith dalam pernyataannya, yang dimuat situs sains, LiveScience, 18 Juli 2013.
"Kami ingin membuat ruangan yang sangat indah untuknya di katedral. Dan kami yakin, jutaan orang akan berkunjung dan memberi penghormatan."
Kontroversi
Kerangka Richard III ditemukan berkat kerjasama para arkeolog dengan University of Leicester. Analis DNA kemudian mengonfirmasi, benar, itu adalah kerangka sang raja. Setelah para ilmuwan menelusuri salah satu garis keturunan keluarga Richard III.
Kepastian juga didapat dari lengkungan tulang belakang yang identik dengan penggambaran diri raja terakhir Dinasti Plantagenet tersebut -- yang salah satunya diabadikan Shakespeare dalam salah satu karya terkenalnya.
Para ahli juga menemukan sejumlah cedera di tulang, termasuk tengkorak yang terbelah, yang diduga penyebab kematian Richard III dalam Pertempuran Bosworth, yang menandai akhir garis keturunannya dan munculnya Dinasti Tudor.
Jauh sebelum ekskavasi dimulai, Kementerian Kehakiman Inggris mengeluarkan lisensi pada pihak universitas untuk memindahkan kerangka Richard III. Dan jika benar ditemukan, pihak universitas juga berhak menentukan di mana tulang belulang itu dikuburkan kembali.
Namun, kontroversi merebak, ketika sejumlah orang yang mengaku masih kerabat dekat Richard III menginginkan ia dikubur di tempat lain.
Salah satunya, kelompok yang menamakan diri Plantagenet Alliance -- yang dibuat 15 orang yang mengaku kerabat Richard. Mereka berpendapat, jasad Richard harus dimakamkan kembali di York, di mana raja menghabiskan sepertiga masa hidupnya.
Namun, pihak universitas menepis klaim ini, dengan mengatakan, Richard yang tewas di usia 32 tahun tak punya keturunan langsung. Semua hubungan kekerabatan berasal dari anak keturunan saudara-saudaranya.
"Secara statistik, puluhan ribu individu yang hidup saat ini bisa jadi masih keturunan dengan cara itu," kata pihak University of Leicester. (Ein/Ary)
Tubuhnya yang sudah tak bernyawa diperlakukan dengan tidak hormat dan dikuburkan asal-asalan di gereja Biara Fransiskan, Grey Friars. Tanpa balutan kain kafan dan peti mati.
Saat gereja itu hancur, makam Richard III terlupakan. Hingga akhirnya, lebih dari 500 tahun kemudian, pada 2012 lalu, kerangkanya ditemukan di lapangan parkir dewan kota di Leicester, Inggris -- titik di mana gereja dulu berdiri.
Meski perdebatan belum berakhir, pejabat Leicester mengumumkan rencana pemakaman kembali penguasa Abad Pertengahan itu berbiaya US$ 1,5 juta atau Rp 15 miliar. Secara semestinya sebagai seorang raja.
Uang sebanyak itu termasuk biaya untuk menggelar upacara, membangun sebuah makam besar di Katedral Leichester -- yang dikelilingi jendela kaca patri baru.
"Kami berkomitmen untuk memakamkan kembali Raja Richard dengan penuh penghormatan. Tapi kami juga mendengar dengan bijak pandangan lain yang disampaikan," kata Pengetua Leicester, David Monteith dalam pernyataannya, yang dimuat situs sains, LiveScience, 18 Juli 2013.
"Kami ingin membuat ruangan yang sangat indah untuknya di katedral. Dan kami yakin, jutaan orang akan berkunjung dan memberi penghormatan."
Kontroversi
Kerangka Richard III ditemukan berkat kerjasama para arkeolog dengan University of Leicester. Analis DNA kemudian mengonfirmasi, benar, itu adalah kerangka sang raja. Setelah para ilmuwan menelusuri salah satu garis keturunan keluarga Richard III.
Kepastian juga didapat dari lengkungan tulang belakang yang identik dengan penggambaran diri raja terakhir Dinasti Plantagenet tersebut -- yang salah satunya diabadikan Shakespeare dalam salah satu karya terkenalnya.
Para ahli juga menemukan sejumlah cedera di tulang, termasuk tengkorak yang terbelah, yang diduga penyebab kematian Richard III dalam Pertempuran Bosworth, yang menandai akhir garis keturunannya dan munculnya Dinasti Tudor.
Jauh sebelum ekskavasi dimulai, Kementerian Kehakiman Inggris mengeluarkan lisensi pada pihak universitas untuk memindahkan kerangka Richard III. Dan jika benar ditemukan, pihak universitas juga berhak menentukan di mana tulang belulang itu dikuburkan kembali.
Namun, kontroversi merebak, ketika sejumlah orang yang mengaku masih kerabat dekat Richard III menginginkan ia dikubur di tempat lain.
Salah satunya, kelompok yang menamakan diri Plantagenet Alliance -- yang dibuat 15 orang yang mengaku kerabat Richard. Mereka berpendapat, jasad Richard harus dimakamkan kembali di York, di mana raja menghabiskan sepertiga masa hidupnya.
Namun, pihak universitas menepis klaim ini, dengan mengatakan, Richard yang tewas di usia 32 tahun tak punya keturunan langsung. Semua hubungan kekerabatan berasal dari anak keturunan saudara-saudaranya.
"Secara statistik, puluhan ribu individu yang hidup saat ini bisa jadi masih keturunan dengan cara itu," kata pihak University of Leicester. (Ein/Ary)