Unjuk Rasa Menolak UU Antiaborsi di Washington

Ribuan orang berunjuk rasa menolak Undang-undang Antiaborsi di Washington D.C., Amerika Serikat yang disahkan Presiden AS George Walker Bush. Sekelompok kecil demonstran mendukung UU tersebut.

oleh Liputan6 diperbarui 23 Jan 2004, 11:48 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2004, 11:48 WIB
230104bBreak-Aborsi1.jpg
Liputan6.com, Washington D.C.: Ribuan orang berunjuk rasa mendukung Undang-undang Antiaborsi yang dilegalkan Presiden AS George Walker Bush di Washington D.C., Amerika Serikat, Kamis (22/1). Para pengunjuk rasa menyatakan, aborsi akan menjadi isu penting dalam pemilihan umum Presiden AS 2004. Dan, mereka menegaskan akan cenderung memilih kandidat yang menentang aborsi.

Presiden Bush sempat memberikan pidato kepada para pengunjuk rasa lewat telepon yang disambungkan ke pengeras suara di Gedung Putih. Bush memuji aksi para aktivis antiaborsi dengan menyebutnya bertujuan mulia.

Di depan Gedung Mahkamah Agung AS, sejumlah kecil aktivis proaborsi juga menggelar aksi tandingan. Menurut mereka, warga AS patut diberi hak memilih dalam masalah aborsi. Mereka mengharapkan, para pemilih lebih memfokuskan pada isu-isu yang lebih penting, seperti isu ekonomi/>
UU Antiaborsi ini melarang sejumlah langkah medis yang dapat menghentikan kehamilan pada bulan-bulan terakhir. Kelompok-kelompok pendukung antiaborsi menganggapnya sebagai kemenangan penting. Sebaliknya berbagai organisasi perempuan dan para dokter menyatakan akan menentang UU baru ini hingga ke Mahkamah Agung AS./>
Sejak 1972, pengguguran kandungan dianggap legal di AS. Tetapi gerakan-gerakan militan antiaborsi yang menamakan diri Pro-Life tidak pernah berhenti beraksi. Undang-undang Antiaborsi ini dianggap langkah penting dalam usaha menghapus UU Hak Aborsi sepenuhnya./> /> Sebaliknya, gerakan Pro-Choice yang mendukung hak wanita menentukan pilihan sendiri ketika hamil, menganggap tanda tangan Bush sebagai ancaman serius. UU ini dianggap mengancam kesehatan wanita pada umumnya, praktik-praktik kedokteran, dan hubungan pasien dengan dokter. Juga menjadi ancaman bagi hak perempuan untuk memilih serta hak keleluasaan pribadi.(ZAQ/Uri)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya